Oleh: Depri Ajopan
Ia yang pasrah tapi takrela, mengucek-ucek mata yang sedih, lalu terjatuh. Untug ia cepat disambut seseorang, kalau tidak kepalanya pasti terbentur ke tembok sebelum jatuh ke lantai. Begitu sadar, pelan-pelan ia bangkit lagi memaksakan dirinya kuat. Pikirannya tertumbuk kepada masa yang sudah berlalu, bersama suaminya ketika berbulan madu mengunjungi sebuah kota. Mereka menginap di sebuah hotel, dekat dari pantai. Airmatanya terus bercucuran tiada henti membasahi pipi yang sembab mengingat kenangan yang sudah lenyap. Ia yang merasakan keperihan tidak mertonta-ronta seperti orang kebanyakan di kampungnya ketika dapat musibah berat berupa kematian kekasih yang dicintai. Apalagi sampai mencakar-cakar wajah dengan kukunya yang lentik sampai bergaris. Setelah melihat suaminya digotong dalam keranda, dan akan diberangkatkan ke kampung halaman yang jauh, tiba-tiba ia berubah sikap. Ia terlihat tak tenang seperti orang panik. Ia sampaikan kepada orang-orang itu, agar mayat suaminya dimakamkan di dekat rumahnya saja. Permintaannya ditolak mentah-mentah. Sebelumnya ia tak tahu, suaminya pernah berpesan kepada seseorang yang dikenlnya, masih bagian dari saudara Indra, almarhum suaminya itu. Jika kelak ia mati, ia berharap dikebumikan di kampung halamannya, berjarak lima jam perjalanan naik mobil dari kampung halaman istrinya yang masih sesenggukan. Pesan singkat itu dijadikan wasiat oleh mereka, tapi dilawan oleh istrinya.
“Sejak kapan ia berwasiat?” Tanyanya pada orang itu, setelah ia memaksa dirinya agar bisa tenang, sambil menggigit bibir. Air matanya masih bercucuran.
“Sekitar dua tahun yang lalu, awal-awal suamimu sakit, Wardah,” jawab orang itu tanpa menatap wajah Wardah yang basah. Sepertinya orang itu takpeduli dengan kesedihan Wardah yang mendalam. Ia hanya bisa pasrah, memandang ke halaman dengan tatapan kosong walaupun hatinya berontak. Ia paksakan dirinya jadi perempuan kuat ketika seluruh tubuhnya terasa lemas. Ia benar-benar rapuh hari itu. Tak terbayangkan olehnya apa yang terjadi nanti di perjalanan ketika ia ikut mengantarkan jenazah suaminya. Pernikahannya yang masih berumur muda, tiba-tiba berakhir dengan menyakitkan. Mungkin setelah ini ia remuk, lalu jatuh sakit dan berbaring lesu di atas kasur bertahun-tahun sampai ajal menjemput. Ia membayangkan kembali kisah cinta yang pelik di antara mereka sebelum masuk ke jenjang pernikahan. Bagaimana sulitnya mereka dapat restu dari kedua orang tua masing-masing yang menjadi hantu gentayangan dalam cinta itu. Mereka melewati lorong-lorong sempit, dan sering jatuh terpental untuk menyongsong hari esok. Ia mengusap wajahnya yang basah. Kemudian memegang perutnya yang sudah hamil sambil melangkah membawa pikiran gelap ke dalam mobil ambulance yang siap melaju kencang mengantar mayat suaminya sampai tujuan. Ia membayangkan ketika anaknya lahir tanpa sosok ayah. Bagimana nanti ia membesarkan anak itu sendirian dalam kesepian yang menyiksa. Pikirannya pun terguncang sepanjang perjalanan. Ia rasa ia tak akan sanggup menikah dengan lelaki mana pun dalam jangka dua atau tiga tahun ini, bahkan sampai ia mati dan bertemu kembali di surga dengan suami tercinta. Ia sudah punya impian yang jauh dengan suaminya semasih ia hidup. Sekarang ia yang digenggam rasa sakit, hidupnya yang rusak jadi puing-puing berserakan sulit direnovasi. Ia yang berjuang sendirian nanti pasti akan tersendat-sendat untuk mengejar masa depan yang cerah setelah kepergian almarhum suaminya.
- Iklan -
* * *
Wardah baru bercerita pada seorang ustaz setelah mayat suaminya dikebumikan. “Apakah wasiat seperti itu harus ditunaikan Pak Ustaz?”
“Tentu saja, wajib hukumnya itu.”
“Walaupun memberatkan untuk saya?” Sedikit ia terlihat emosi.
“Memberatkan bagaimana maksudmu Wardah?” Perempuan itu menarik napas, mecoba menenangkan pikirannya yang bergemuruh.
“Saya kan istrinya, Pak Ustaz,” suaranya sedikit mulai tenang. Ia memakskan hatinya dingin.
“Terus, apa hubungannya dengan wasiat itu?” Pak Ustaz menggunakan pikirannya, tapi belum menemukan jawaban.
“Apa benar ustaz tidak mengerti maksud saya?” Uastaz itu menggelengkan kepala, tanpa menjawab tidak. Wardah yang mengerti isarat pak ustaz itu menjelaskannya. Ia bilang dengan nada kesedihan.
“Kalau ia dimakamkan di sinikan tentu jauh dari kampung saya ustaz. Bagaimana kalau sewaktu-waktu saya merindukannya, sementara saya masih di kampung halaman?” Ustaz itu masih dalam kebingungan. Dan wardah tahu itu. Ia mencoba menerangkan lebih jelas lagi dengan suara yang tinggi.
“Kalau saya kengen sama suami saya, bagaimana saya menziarahinya ke sini. Tidak mungkinkan saya bolak balik terus. Apa tidak sebaiknya beliau dimakamkan di kampung saya, tidak usah diindahkan wasiatnya karena terjadi mudarat pada saya. Lagian ini permintaan saya, sebagai istrinya. Apa kalian tega melihat saya yang jauh tinggal di sana memendam rindu berkepanjangan pada suami saya nanti. Menurut hemat saya sebagai orang awam, sebaiknya alamarhum suami saya dikuburkan di kampung halaman saya saja.”
“Oh, tidak bisa begitu. Hukum Tuhan tidak bisa dirubah manusia. Menunaikan wasiat seperti itu, hukumnya wajib Wardah. Jangan kau sampai melanggar aturan Tuhan, kerana terlalu cinta pada suamimu itu. Biarkanlah ia tenang di alam sana menunggumu. Jangan lakukan hal-hal bodoh yang bisa membuat ia tersiksa di sana.”
“Berarti Islam itu tidak ada toleransi dong pak ustaz kalau begitu?” Tiba-tiba Wardah menyerang. Tanpa ada sedikitpun perasaan takut dalam hatinya yang bercampur emosi. Ia melontarkan argumen-argumen yang lebih membabi buta.
“Kalau memang wasiat itu wajib diindahkan tanpa ada kecuali, bagaimana kalau seseorang berwasiat membunuh orang lain sebelum kematiannya? Apakah kalian mengindahkan wasiat buruk itu juga, dengan dalih wajib hukumnya?” Tatapan perempuan itu semakin tajam, matanya merah. Detakan jantungnya yang berdegup semakin kencang. Rasa segan dan rasa takutnya sudah hilang ditelan rasa sakit yang tumbuh dalam hati. Apalagi rasa malunya. Entah terbang ke mana? Kemudian ia berkicau lebih lantang lagi.
“Kalian hanya mengikuti adat, yang diturunkan nenek moyang kalian, yang kadang berbenturan dengan ajaran agama. Kalian juga tidak tahu, rasa sakit yang saya rasakan sekarang. Jika kalian mengatakan itu ajaran agama, aku takpercaya. Itu hanya akal-akalan kalian, mengkait-kaitkannya dengan menyebut ayat-ayat, dan mengutip perkataan ulama dari beberapa kitab. Apa iya, wasiat seperti itu wajib juga dilaksanakan, walaupun terjadi mudarat,” tangannya bergerak-gerak, telunjuknya ikut bermain. Ia sudah siap bertarung dengan siapapun yang hadir di situ. Ia ingin semua orang-orang yang ikut campur lenyap dari pandangannya.
“Saya yakin wasiat seperti itu, adalah hukum yang kalian buat-buat sendiri, dan saya siap melawannya,” ia hentakkan kakinya ke lantai.
“Kau ini ngomong apa Wardah?” Pak ustaz dapat memaklumi perempuan itu, dan memahami rasa sakitnya yang ditinggal mati suami ketika umur pernikahan mereka masih relatif muda. Akhirnya ia meraba-raba dadanya, menenangkan hati yang hampir meledak-ledak melampiaskan keinginannya untuk berdebat. Ia memilih mengalah untuk menang, dari pada menang untuk kalah. Ia mencoba memberikan nasihat baik-baik dengan jiwa yang tenang pada perempuan itu. Bukannya membuat Wardah terdiam. Ia semakin berontak merong-rong ustaz itu.
“Apakah Islam tidak bisa bertoleransi untukku perempuan yang terluka, agar suamiku dikebumikan di kampung halamanku. Aku ingin secepatnya kuburan suamiku digali lagi, ia dimakamkan di kampung halamanku. Di depan rumahku ada tanah kosong,” Wardah seperti memaksa, wajahnya seperti kesurupan setan. Pak ustaz mencoba menenangkan kembali dengan berbagai jurus, menyebut beberapa firman dan hadis sebagai dalil yang bisa dijadikan bahan hujjah. Namun Wardah tetap berontak melawan pendapat-pendapat itu. Akhirnya pak ustaz yang kewalahan menghadapi Wardah, meninggalkan perempuan itu dalam keadaan sedih bercampur marah.
* * *
Di rumah yang baru tertimpa musibah itu ayat-ayat suci dilantunkan, menyerupai suara taon yang berdengung. Pahalanya diserahkan pada almarhum yang baru saja meninggal. Sebagai penutup diiringi doa-doa keselamatan untuk kaum muslimin, terkhusus untuk almarhum yang sudah berada dalam kubur. Sebelum orang-orang bangkit dari tempat duduknya, dan ahli musibah menyalami tamu-tamu yang datang secara bergilir, tiba-tiba Wardah berdiri dengan jiwa yang goyah.
“Aku ingin kubur suamiku segera di bongkar secepatnya, dan aku membawa mayatnya ke kampung halamanku,” ia menatap sekeliling pada orang-orang yang kaget, tapi ia takpeduli pada siapapun, termasuk mertuanya yang sudah mencoba menenangkannya.
“Kalau memang benar ia berwasiat setelah mati dikebumikan di sini, dan wasiat itu wajib diindahkan seperti yang kalian sebutkan. Semua yang hadir di sini dengarkan baik-baik. Setelah saya mati nanti, saya berwasiat kubur suamiku dibongkar. Tulang belulangnya letak dalam kuburku, tepat di sampingku,” ia menyinggung seseorang, dan menatapnya lekat-lekat. Orang itu keluar tergopoh-gopoh, tak mau cari rebut.
* * *
Perempuan itu pulang naik bus membawa duka bersama ibunya. Sepanjang perjalanan ia merasakan kesedihan yang membara. Ia berhayal dalam bus itu, teringat kenangan indah bersama suaminya yang tiba-tiba lenyap direnggut Tuhan. Ingin rasanya ia marah pada Tuhan. Protes habis-habisan, kenapa Tuhan memperlakukan ia sekejam itu. Sesampai di rumah ia tersungkur, minta ampun seribu kali menyesali perbuatannya. Pagi-pagi sekali, sepulang dari masjid, ia membuka pintu lebar-lebar, berharap suaminya melewati pintu itu seperti biasa, sewaktu suaminya masih hidup. Berbulan-bulan ia melakukan perbuatan gila yang sia-sia.
“Sudah, kau tidak usah berbuat yang aneh-aneh,” tetangganya yang tahu mencoba menenangkan hati perempuan itu yang masih remuk ketika hari masih gelap. Ia sering menangis sendirian di tengah malam yang sepi. Sesekali meronta-ronta di atas kasur seperti anak kecil. Dan ia suka mengurung diri dalam kamar yang membuat ibunya hawatir.
* * *
Hari itu ia berduaan dengan tetangganya Sinta dalam kamar. Ia coba menghibur perempuan yang telah hilang gairah hidupnya itu. Ia merasa kebahagiaannya telah dirampas oleh Tuhan.
“Kau harus tabahkan hatimu Wardah, percayalah ada hikmah di balik itu semua,” Sinta mengelus-elus rambut Wardah seperti perempuan kecil. Wardah yang lemas dan masih bersandar di tembok meluruskan kaki, tiba-tiba sengaja menjatuhkan sekujur tubuhnya yang tersiksa ke atas kasur, mengusap wajahnya yang basah sambil berdoa.
“Ya Tuhan, pertemukanlah aku segera dengan suamiku,” bibirnya terus komat-kamit mengucapkan kata-kata yang sama berulang-ulang, sampai ia tertidur pulas beberapa jam.
“Wardah, Wardah, bangun. Kamu belum shalat,” Sinta menggoyang-goyang tubuh perempuan itu. Wardah belum juga bergeser dari tempat tidurnya.
“Wardah bangun, bangun Wardah,” ia menarik-narik kaki perempuan itu, Wardah tetap tak bergerak duduk, Sinta pun cemas.
Depri Ajopan, lahir di Desa Lubuk Gobing, Sumatera Barat, 7 Desember 1989. Lulus program S1 Universitas Negeri Padang Prodi Sastra Indonesia. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional serta di media daring. Ia bergiat sebagai anggota Komunitas Suku Seni Riau dan mengajar di Pesantren Basma Darul Ilmi Wassa’dah, Kepenuhan Barat Mulya, Rokan Hulu, Riau.



