Oleh Hamidulloh Ibda*
Kemarin, pada Selasa malam 10 Juni 2025, sebelum rapat persiapan Sosialisasi MOPDIK Ma’arif NU Jateng, Ketua LP. Ma’arif NU PWNU Jateng Fakhruddin Karmani curhat dengan saya. “Wah, sedina iki ping pitu, Pak, aku buka acara. Tambah bengi iki ngko. Dadi genep ping wolu. Isine kok Yang Terhomat dan Mohon Izin.” Aku pun menjawab “Hehehehe. Ora kehabisan bahan to, Pak?”
Singkat cerita, obrolan berpindah ke makan bergizi gratis yang belum habis-habis untuk dibahas.
Dalam setiap pidato atau sambutan resmi yang disampaikan oleh pimpinan organisasi masyarakat (Ormas) termasuk LP. Ma’arif NU atau NU, dua frasa sering kali menjadi pembuka yang tak terpisahkan, “Yang Terhormat” dan “Mohon Izin” atau Nyuwun Sewu. Sebenarnya topik ini sudah saya tulis di Maarifnujateng.or.id pada 6 April 2021 silam berjudul “Stilistika Mohon Izin“. Namun karena saya geli, akhirnya saya tulis lagi dengan pendekatan berbeda.
- Iklan -
Ya, Yang Terhomat dan Mohon Izin hakikatnya lebih dari sekadar formalitas, penggunaan frasa ini menyimpan kekayaan makna dan fungsi stilistika yang menarik untuk dibedah. Dalam setiap perhelatan resmi, sambutan pimpinan organisasi masyarakat (Ormas) menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian acara. Sambutan ini tak hanya berisi informasi atau ajakan, melainkan juga menampilkan bagaimana pemimpin menempatkan diri, membangun hubungan dengan audiens, dan menjaga etika komunikasi.
Dua frasa yang sangat sering muncul dan nyaris menjadi konvensi dalam pembukaan sambutan adalah “Yang Terhormat” dan “Mohon Izin”. Dua frasa tersebut perlu kita kaji dalam bingkai stilistika, yakni ilmu yang mempelajari gaya bahasa, dengan mengacu pada teori-teori utama dari tokoh seperti Roman Jakobson, Geoffrey Leech, Gorys Keraf, dan kanca liyane.
Stilistika: Antara Bentuk dan Makna
Secara etimologis, stilistika berasal dari kata style yang berarti gaya. Stilistika sebagai cabang ilmu linguistik dan sastra membedah bagaimana pilihan kata, struktur kalimat, dan ekspresi tertentu digunakan untuk membentuk makna tertentu dalam komunikasi (Nurgiyantoro, 2018). Sebagai cabang ilmu linguistik, stilistika mengkaji gaya atau cara seseorang menggunakan bahasa dalam komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Fokusnya adalah pada pilihan kata (diksi), struktur kalimat (sintaksis), dan penggunaan retorika yang memberikan efek tertentu pada audiens.
Salah satu tokoh sentral dalam perkembangan stilistika adalah Roman Jakobson. Roman Jakobson (1960), seorang linguis strukturalis, mengembangkan model komunikasi yang mencakup enam fungsi bahasa: referensial, emotif, konatif, fatis, metalingual, dan puitik. Dalam konteks pidato resmi, penggunaan frasa seperti “Yang Terhormat” dan “Mohon Izin” dapat dilihat dari fungsi konatif (yang ditujukan kepada pendengar) dan fatis (yang menciptakan atau menjaga hubungan sosial).
Jakobson (1960) berpendapat, dengan model fungsi bahasanya, bahasa tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan informasi (fungsi referensial) tetapi juga memiliki fungsi-fungsi lain, seperti fungsi fatis (untuk menjaga komunikasi), fungsi emotif (mengungkapkan perasaan pembicara), dan fungsi konatif (mempengaruhi pendengar). Jakobson juga mengemukakan pentingnya pola paralelisme dan pengulangan dalam menciptakan efek estetis dan persuasif dalam bahasa.
Selain Jakobson, Michael Riffaterre juga memberikan kontribusi signifikan dalam stilistika melalui konsep “unggulan stilistik” (stylistic device), yaitu elemen-elemen bahasa yang menonjol dan menarik perhatian pembaca atau pendengar karena penyimpangan dari norma atau frekuensinya yang tidak biasa. Dalam konteks pidato, frasa-frasa klise justru bisa menjadi unggulan karena ekspektasi audiens terhadapnya.
Yang Terhormat: Gaya Bahasa Sapaan Formal
Frasa “Yang Terhormat” menjadi bentuk sapaan honorifik yang sering digunakan untuk menyapa pejabat, tokoh agama, tokoh masyarakat, atau audiens penting lainnya dalam konteks formal. Gorys Keraf (1984) dalam diksi dan gaya bahasa menyebut bentuk seperti ini sebagai gaya resmi atau formal, di mana pilihan kata sangat memperhatikan hirarki sosial, posisi, dan etika komunikasi.
Dalam praktiknya, frasa ini berfungsi untuk beragam. Saya merangkum ada tiga poin inti. Pertama, membangun hierarki komunikasi, menempatkan pihak yang disapa pada posisi terhormat dalam struktur sosial dan komunikasi. Kedua, menjaga kesantunan, yaitu bentuk penghormatan verbal yang melekat pada budaya Timur, termasuk Indonesia, khususnya ya di Semarang, dan Temanggung. Dua wilayah yang sering saya huni dan jadikan tempat nggolek upa. Ketiga, membentuk suasana khidmat, menghadirkan nuansa resmi dan sakral dalam sebuah perhelatan.
Menurut Geoffrey Leech (1983), dalam teori prinsip kesantunan (politeness principle), frasa ini berkaitan erat dengan maxim of approbation (pujian) dan maxim of modesty (rendah hati). Dengan menyebut “Yang Terhormat”, pembicara memosisikan diri secara etis di hadapan pendengar, memperlihatkan kerendahan hati yang konstruktif.
Frasa “Yang Terhormat” atau “Yang Kami Hormati” merupalan contoh klasik dari pilihan diksi yang bersifat formal dan hierarkis. Dari sudut pandang stilistika menurut beberapa pakar memang memiliki banyak fungsi selain yang saya ketik di atas. Pertama, menurut Jakobson, ini berfungsi fatis dan konatif. Penggunaan “Yang Terhormat” memiliki fungsi fatis, yaitu untuk membuka dan menjaga saluran komunikasi dengan audiens. Ini sinyal bahwa pembicara siap berinteraksi. Secara konatif, frasa ini berupaya membangun koneksi positif dengan hadirin, menunjukkan rasa hormat dan penghargaan. Ini adalah upaya persuasif awal untuk menarik simpati dan perhatian.
Kedua, menurut David Émile Durkheim (1858-1917) pada analisis sosial bahasa, ungkapan ini dalam pidato seperti yang disampikan Kang Fakhruddin Karmani, menjadi ritual komunikasi dan konvensi. Dalam konteks sosiolinguistik, frasa ini merupakan bagian dari ritual komunikasi yang telah mengakar dalam budaya Indonesia, khususnya dalam ranah pidato resmi. Emile Durkheim, seorang sosiolog, menekankan pentingnya ritual dalam membangun kohesi sosial. Dalam pidato, penggunaan frasa ini adalah ritual yang memperkuat norma kesopanan dan hierarki sosial, menunjukkan bahwa pembicara menghargai struktur dan tatanan yang ada.
Ketiga, fungsi sebagai penanda status dan legitimasi. Dengan menyebutkan “Yang Terhormat” diikuti oleh jabatan atau nama seseorang, pimpinan LP. Ma’arif NU Jateng atau Ketua PCNU misalnya, secara tidak langsung mengakui dan menegaskan status serta legitimasi individu-individu yang disebutkan. Hal ini adalah bentuk penghargaan publik yang secara stilistika menciptakan atmosfer formal dan serius. Pemilihan kata “terhormat” sendiri mengindikasikan adanya kualitas moral atau sosial yang tinggi pada individu tersebut, meskipun secara kontekstual ini lebih pada bentuk kesantunan.
Mohon Izin: Simbol Etika Komunikasi Nusantara
Izin, Mohon Izin, Izin, Bapak, dan lainnya sering saya jumpai di luar konteks sambutan, melainkan di pesan WA, atau saat bercakap-cakap. Frasa “Mohon Izin” atau bentuk singkatnya “Izin”, merupakan contoh penggunaan bahasa dengan fungsi fatis dan emotif. Dalam budaya komunikasi Indonesia yang sangat menjunjung tinggi unggah-ungguh (tata krama), permohonan izin merupakan prosedur etis sebelum seseorang mulai berbicara, melangkah, atau mengambil tindakan.
Dalam perspektif stilistika, ini dapat dikaji sebagai banyak aspek. Pertama, gaya tutur rendah hati (self-effacing style) yang menunjukkan bahwa pembicara menyadari posisinya dalam konteks sosial dan budaya. Tenan porak jane? Hehehe
Kedua, sinyal permulaan komunikasi seperti fungsi fatis dalam model Jakobson, frasa ini membuka jalur komunikasi dengan membentuk hubungan interpersonal terlebih dahulu. Ketiga, penanda kesantunan linguistik. Meminjam istilah Leech, ini terkait dengan maxim of tact dan maxim of agreement.
Dalam konteks Ormas umum, apalagi yang berbasis keagamaan seperti Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah, frasa ini juga menunjukkan internalisasi nilai-nilai keislaman seperti tawadhu’ (rendah hati) dan adab.
Singkatnya, bagi saya frasa “Mohon Izin” (atau “Izin”) adalah fenomena stilistika yang lebih kompleks. Sepintas, frasa ini menyiratkan kerendahan hati dan permohonan, namun analisis lebih dalam mengungkap fungsinya sebagai strategi komunikasi yang cerdas. Apa buktinya?
Pertama, menurut Brown & Levinson (1987) dalam bukunya Politeness: Some Universals in Language Usage, hal ini ini merupakan prinsip kesantunan. Teori Prinsip Kesantunan yang dikembangkan oleh Penelope Brown dan Stephen C. Levinson sangat relevan di sini. Mereka mengemukakan bahwa dalam setiap interaksi, individu berusaha menjaga “muka” (face), baik muka positif (keinginan untuk disukai dan dihargai) maupun muka negatif (keinginan untuk tidak diganggu atau diintervensi). “Mohon Izin” adalah strategi penyelamat muka negatif pembicara, menunjukkan bahwa ia tidak ingin mengganggu audiens atau “mengambil alih” panggung tanpa persetujuan. Hal ini juga bisa menjadi penyelamat muka audiens, memberi mereka ruang untuk merasa dihormati.
Kedua, otoritas terselubung. Apa maksude? Kata “mohon” dan “izin” menyiratkan permohonan, dalam konteks pidato pimpinan Ormas, frasa ini justru sering berfungsi sebagai bentuk otoritas terselubung. Pimpinan tidak benar-benar meminta izin untuk berbicara; ia meminta izin dalam kerangka konvensi yang sudah disepakati bahwa ia memang akan berbicara. Ini adalah pernyataan retoris yang menunjukkan penguasaan panggung dan kesiapan untuk berbicara, bukan keraguan. Ini menciptakan ekspektasi bahwa apa yang akan disampaikan adalah penting dan relevan.
Kedua, berfungsi fatis menurut Jakobson dan penjaga ritme. Maksudnya, “Yang Terhormat”, “Mohon Izin” juga berfungsi fatis, yaitu mengindikasikan bahwa pembicara siap memulai substansi pidatonya. Frasa ini juga bertindak sebagai penjaga ritme dalam narasi pidato, memberikan jeda singkat sebelum masuk ke inti pembahasan, sekaligus memberi kesempatan audiens untuk mempersiapkan diri menyimak.
Ketiga, simbol kepatuhan kolektif. Dalam konteks Ormas, di mana ada struktur dan hierarki, “Mohon Izin” juga bisa diinterpretasikan sebagai simbol kepatuhan terhadap norma kolektif dan rasa kebersamaan. Pimpinan, meski memiliki otoritas, tetap menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari sistem dan menghormati tata krama yang berlaku.
Terus Piye?
Penggunaan frasa “Yang Terhormat” dan “Mohon Izin” dalam sambutan pimpinan Ma’arif NU dan NU bukan sekadar basa-basi, melainkan manifestasi stilistika yang kaya makna. Dari perspektif Roman Jakobson, keduanya berfungsi fatis dan konatif, membangun dan menjaga komunikasi sekaligus memengaruhi audiens. Menggunakan teori prinsip kesantunan Brown dan Levinson, “Mohon Izin” adalah “strategi penyelamat muka yang cerdas”, sementara secara sosiolinguistik, keduanya menegaskan hierarki dan norma kesopanan yang mengakar dalam budaya Indonesia.
Frasa-frasa ini adalah bukti bagaimana pilihan kata, sekecil apa pun, dapat membentuk persepsi, membangun hubungan, dan bahkan mengokohkan struktur sosial dalam komunikasi formal. Memahami stilistika membantu kita mengapresiasi kedalaman dan kecerdikan di balik setiap ucapan.
“Yang Terhormat” dan “Mohon Izin” bukanlah sekadar frasa pembuka, melainkan simbol linguistik dari tata nilai, struktur sosial, dan etika komunikasi dalam budaya Indonesia. Dalam kajian stilistika, keduanya mencerminkan gaya bahasa formal, penuh hormat, dan berakar kuat pada budaya kolektivistik. Pemahaman ini penting bagi para pimpinan ormas agar tidak sekadar mengucapkannya sebagai rutinitas, tetapi juga menyadari makna kultural dan retoris yang terkandung di dalamnya.
Yah, akhirnya, saya di akhir tulisan ini Mohon Izin jika ada yang salah kepada semua pembaca Yang Terhormat. Hehehe
Dari tulisan ini, saya bisa menyimpulkan Yang Terhomat dan Mohon Izin menjadi bumbu penyedap dalam sebuah sambutan, pidato, atau orasi. Minimal, kalau santri pernah belajar Ta’limul Muta’allim Tariq Al-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin az-Zarnuji al-Hanafi atau Adabul Alim wal Muta’allim karya KH. Hasyim Asy’ari kudune paham etika dalam berpidato. Meski dua kitab itu tidak spesifik dalam konteks pidato, namun setidaknya menjadikan kita belajar stilistika.
Masalahnya, setelah membaca tulisan saya ini, awakmu gelem apa ora? Nek ora gelem ya pancen sikak!
Apakah ada pendapat lain, Bro?
*Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., pengajar Bahasa Indonesia Fakultas Tarbiyah dan Keguruan INISNU Temanggung, Lulusan S3 Pendidikan Dasar Konsentrasi Pendidikan Bahasa Indonesia UNY.