Oleh S. Prasetyo Utomo
ORANG kecil seringkali menjadi sasaran penindasan tokoh-tokoh yang bergerak memburu popularitas. Orang kecil menjadi sumber olok-olok, cemooh, dan sasaran hinaan. Terlontar sarkasme terhadap orang kecil untuk kepentingan hegemoni atas nama agama, ideologi, dan kekuasaan. Orang kecil juga menjadi obsesi bagi orang-orang untuk melakukan pembelaan atas nama ketertindasan, dan melakukan konfrontasi ideologi terhadap tokoh-tokoh yang menindas.
Pembelaan terhadap orang kecil yang tertindas muncul dari para penyair. Mereka mencipta puisi yang berobsesi pada penderitaan orang kecil yang terhina. Muncullah satire yang berkembang dalam puisi para penyair, sebagai rasa empati dan konfrontasi terhadap kaum penindas. Mereka menggunakan bahasa sindiran untuk menyingkap kedok kebusukan hegemoni kekuasaan yang memanfaatkan orang kecil sebagai objek penindasan.
Sungguh menarik membaca karya para penyair yang menciptakan empati terhadap orang kecil yang tertindas, seperti Mustofa Bisri dalam puisi “Orang Kecil Orang Besar”. Dari Madura, D. Zawawi Imran mencipta puisi “Malam Sehabis Upacara” untuk menyingkap empati terhadap orang kecil. Begitu juga dengan Joko Pinurbo, mencipta puisi “Di Bawah Kibaran Sarung” untuk membela nasib orang kecil.
- Iklan -
***
SATIRE dan kritik tajam menggugat menjadi bagian paling dominan dalam puisi Mustofa Bisri. Dalam puisi “Orang Besar Orang Kecil”, tampak benar bahwa Gus Mus menciptakan paradoks nasib orang kecil yang dihadapkan dengan kehormatan orang besar, dan selubung dominasi kekuasaan yang menindasnya: “Ayah dan ibu berganti-ganti menasihati/ “Ingat, jangan sampai jadi orang kecil/ Orang kecil jika ikhlas diperas/ Jika diam ditikam/ Jika protes dikentes/ Jika usil dibedil”// “Orang kecil jika hidup dipersoalkan/ Jika mati tak dipersoalkan”//. Gus Mus menyampaikan kesadaran bahwa rakyat kecil selalu diperas, ditikam, dipukul, bahkan ditembak mati. Orang kecil menjadi beban kekuasaan ketika masih hidup.
Empati atas nama orang kecil ditulis D. Zawawi Imran dalam puisi “Malam Sehabis Upacara”. Dengan bahasa bernas dan terpilih, ia melancarkan empati terhadap kusir gerobak yang menjalani kerja keras, meneruskan kerja leluhur. Akan tetapi, raksasa kapitalisme telah merampas kesempatan kerja mereka. Kebebasan yang dibuka kekuasaan dengan mendatangkan kaum kapitalis, telah menyengsarakan kehidupan kusir gerobak yang bekerja secara tradisional. Larik-larik berikut ini melukiskan kritik penyair akan peran orang kecil di hadapan kebebasan pasar dan raksasa kapitalisme: “selamat malam, kusir gerobak/izinkan aku mencium sapimu!/lantaran telanjur kudengar/gumam letihmu di dasar ngarai// dengarkanlah!/ napas janin-janin mencari lembah perawan/ untuk melanjutkan kerja nenek moyangnya/(membuat jembatan/ dari satu benua ke satu pulau)/ dan raksasa itu harus mengaku / betapa kejam kebebasan//.
Orang kecil memperoleh kebahagiaannya dengan cara menerima nasib dan mengolok-olok keterbatasan fasilitas mereka. Kegetiran jiwa yang paling pedih telah menyebabkan mereka menerima kemiskinan itu, menciptakan kebiasaan, nilai, dan fantasi untuk mengolok-olok hidup nestapa. Dalam puisi Joko Pinurbo “Di Bawah Kibaran Sarung” satire kemiskinan itu dideskripsikan: “Di bawah kibaran sarung anak-anak berangkat tidur/ di haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur/ yang baka. Tidur yang dijaga dan disambangi/seorang lelaki kurus dengan punggung melengkung/ mata yang dalam dan cekung/ ”Hidup orang miskin!” pekiknya/ sambil membentangkan sarung// …// Di bawah kibaran sarung/ rumah adalah kampung/ Kampung kecil di mana kau/ bisa ngintip yang serba gaib:/ kisah senja, celoteh cinta/ sungai coklat, dada langsat/ parade susu, susu cantik/ dan pantat nungging/ yang kausebut nasib/. Penyair menggunakan kata-kata satire untuk menyatakan kemiskinan dengan segala kedok kebahagiaan semu dalam kepapaan.
***
APAKAH daya tarik puisi-puisi tentang orang kecil dalam menghadapi hegemoni kekuasaan? Para penyair telah mengemas puisi-puisi satire yang secara tajam meledek nasib orang-orang kecil, penderitaan hidup, dan katarsis yang membuka tabir kelam kehidupan mereka. Dalam pandangan para penyair, satire terhadap perjuangan hidup orang kecil diwarnai (1) kecemasan menghadapi kemiskinan, (2) ketakberdayaan membebaskan diri dari trah kaum miskin, dan (3) upaya menerima kemiskinan dengan segala parodi yang melingkupinya.
Dengan puisi satire, para penyair berusaha mengembalikan kesadaran dan nalar dalam menghargai orang-orang kecil yang diperlakukan sebagai komoditas politik, demi kekuasaan. Para penyair mencipta satire untuk melancarkan konfrontasi ideologi agar terbebas dari hegemoni kekuasaan. Mereka memberi kesadaran pembaca akan kekuasaan komoditi terhadap orang kecil.
Penyair memiliki kecerdasan untuk mencari diksi yang bernas dan bahasa satire yang membangkitkan renungan pembaca. Penyair sadar benar untuk menyampaikan pesan-pesan yang ingin dikomunikasikan pada pembaca. Mereka membuka kesadaran akan kebusukan-kebusukan pemegang hegemoni kekuasaan di balik kedok sarkasme terhadap orang kecil. Melalui bahasa satire, mereka mengembalikan martabat orang kecil dengan puisi yang memikat dibaca masyarakat setelah teruji pergeseran waktu.
***
*) S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.