Oleh Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum
Bulan Rajab dalam kalender penanggalan Islam memiliki peristiwa penting yaitu Isra’ Mi’raj, dimana Rasulullah Muhammad SAW melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, hingga ke Sidratul Muntaha. Melalui peristiwa itulah Rasulullah mendapatkan perintah shalat lima waktu dari Allah SWT.
Bagi masyarakat muslim Indonesia, peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut disambut dengan suka cita, seperti hari-hari besar Islam lainnya. Kehadirannya pun dirayakan dengan berbagai tradisi budaya dan kearifan lokal yang ada di tiap daerah di Indonesia.
Seperti halnya masyarakat Jawa yang masih kokoh dalam memegang budaya leluhur juga mempunyai tradisi unik dalam memperingati Isra’ Mi’raj di bulan Rajab yang dikenal dengan istilah tradisi Rejeban atau Mi’radan.
- Iklan -
Tradisi ini merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang sudah berlangsung lama dan dianggap sakral oleh masyarakat, khususnya di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Perayaannya pun kerap diselenggarakan dalam bentuk upacara adat yang khas budaya Jawa, yang tentunya sarat makna dan nilai filosofis.
Rejeban dan Mistik Kejawen
Mayoritas masyarakat Jawa dalam tradisi kesehariannya tidak bisa luput dari praktik Kejawen. Pada masyarakat Jawa modern sekalipun, pemahaman tentang makna adat Kejawen tetap tersimpan sebagai sesuatu yang sakral selama mereka masih memakai simbol-simbol adat yang tercermin dalam upacara ritual yang masih sering diadakan (Tambunan, 2022:23).
Islam Kejawen atau Agama Jawi menurut Koentjaraningrat merupakan suatu keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Buddha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam (Koentjaraningrat, 1984:316). Dalam hal ini, kehidupan spiritual Jawa atau Kejawen jelas banyak berkenalan dengan mistik atau bersifat mistis. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan Endraswara (2018:3) “Religiusitas Jawa tak lain adalah mistik kejawen. Mistik kejawen adalah saka guru (empat tiang penyangga) kehidupan kejawen.”
Namun mistik kejawen bukanlah hal-hal negatif yang berbau klenik atau perdukunan seperti yang sering diasumsikan oleh sebagian masyarakat. Mistik kejawen sejatinya merupakan cara yang ditempuh masyarakat Jawa untuk mendekatkan diri dan bermanunggal dengan Tuhan. Purwadi dalam buku Tasawuf Muslim Jawa (2004:2) menyatakan “Mistik Kejawen adalah tata cara panembah orang Jawa dalam rangka untuk mencapai kesempurnaan hidup sejati melalui laku spiritual. Puncak dari laku spiritual itu adalah tercapainya manunggaling kawula Gusti.”
Oleh karena itu, hubungan antara manusia dengan Tuhannya dalam konsep Kejawen erat substansinya dengan dunia kebatinan seperti halnya dalam mistik tasawuf, yaitu berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sehingga tasawuf sebenarnya jembatan yang bisa mempertemukan antara nilai-nilai Islam dengan Kejawen. Karenanya, sulit bagi seorang Muslim menerima tradisi Kejawen kalau dirinya anti tasawuf (Harini, 2019:70).
Tradisi Rejeban yang kerap dilakukan masyarakat Jawa pada bulan Rajab, merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Balutan tradisi lokal dengan rangkaian kegiatan keagamaan yang bersifat sakral, tentunya memiliki makna yang dalam bagi masyarakat Jawa seperti dalam kutipan berikut, ”Wulan Rejeb itu, suatu bulan di mana ada suatu kemanfaatan-kemanfaatan kalau buat muslim. Pelajaran buat diri sendiri sebelum menunaikan Ramadhan. Rejeb itu rasionalisasinya untuk persiapan. Ini ‘sunnah’ dan ini dilebur di tradisi budaya kita. Tapi untuk kalangan orang-orang radikalisme, atau transnasional ini haram, ndak boleh dilakukan. Tapi orang-orang yang sufistik, tasawuf ini dianjurkan. Bulan Rejeb salah satu bentuk bulan-bulan yang orang muslim bilang adalah bulan-bulan dimana Allah memberi sebuah keikatan dalam doa” (dikutip dari Eko, dkk., 2020:208).
Dengan mengisi bulan Rajab yang penuh keberkahan dengan berbagai laku spiritual, masyarakat Jawa percaya bahwa maka mereka akan mengalami sebuah puncak pengalaman religius yang disebut manunggaling karso kawulo lan karsa Gusti.
Manifestasi Mistik Kejawen dalam Tradisi Rejeban
Manisfestasi mistik kejawen dalam tradisi Rejeban diwujudkan dalam berbagai aktivitas, seperti berikut ini. Pertama, waktu pelaksanaan. Tradisi Rejeban dilangsungkan pada bulan Rajab namun disesuaikan dengan sistem penanggalan Jawa. Seperti misalnya masyarakat di desa Jatimulyo, Kabupaten Kulon Progo, tradisi upacara Rejeban dilaksanakan pada bulan Rajab pada hari Selasa Kliwon atau Jum’at Kliwon. Malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon bagi masyarakat Jawa merupakan waktu yang dianggap sakral atau keramat. Malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon diyakini sebagai waktu dimana energi spiritual meningkat (sukabumiupdate.com, 5/6/2023). Oleh karena itu, ritual atau upacara tertentu dapat dilakukan.
Namun ada juga tradisi Rejeban yang dilaksanakan pada hari Jumat Wage atau Jumat Legi di awal bulan Rajab, seperti halnya di Desa Ngrawan, Kecamatan Getasan, Jawa Tengah. Dalam hal ini malam Jumat Legi dianggap sebagai malam yang sakral untuk menyampaikan doa kepada Allah dan berkirim doa kepada arwah sanak famili atau leluhurnya serta sebagai cara berdoa agar masyarakat menjadi lebih dekat dengan Tuhannya (Zulkarnain, 2013).
Kedua, tradisi nyadran di makam leluhur di bulan Rajab. Istilah nyadran berasal dari kata sadran dari bahasa Jawa yang berarti ziarah atau nyekar, sedangkan dalam bahasa Kawi dari kata sraddha yang artinya upacara peringatan hari kematian seseorang (El Jauquene, 2020:87). Tradisi nyadran di makam leluhur yang rutin dilakukan setiap bulan Rajab penanggalan Jawa ditujukan untuk menghormati, memuliakan serta mendoakan arwah pepunden (leluhur) mereka. Masyarakat Kejawen percaya bahwa doa yang didengar Tuhan merupakan berkah dari para leluhur. Di samping itu, nyadran juga menjadi simbol pengingat bahwa semua manusia akan mati.
Ketiga, ritual bersih makam (besik atau resik makam) para leluhur. Dalam hal ini filosofi bersih makam tidak hanya tentang kebersihan lingkungan, namun juga mencakup kebersihan hati. Kebersihan hati inilah yang menurut esensi tasawuf diistilahkan dengan tazkiyah an-nafs (Amin, 2012:84). Hati yang bersih akan menjadi sebuah keniscayaan bagi seorang hamba dalam menapaki jalan menuju Allah.
Keempat, sesaji atau sesajen. Upacara Rejeban juga dilengkapi dengan sesaji atau sesajen. Bagi penganut Kejawen, sesaji atau sesajen merupakan tindakan simbolik sebagai perantara antara manusia dan Tuhan. Hal ini seperti yang dinyatakan Sutrisno (2022:97) bahwa sesajen mempunyai fungsi sebagai suatu perantara antara manusia dan Tuhan. Dengan pasang sesaji masyarakat percaya bahwa akan terhindar dari segala gangguan, rintangan maupun bencana (budaya.jogjaprov.go.id, 1/4/2012).
Dengan mengetahui persentuhan nilai-nilai Kejawen dalam tradisi Rejeban, semoga akan semakin membuka pikiran kita tentang hakikat keselarasan dan kesejatian hidup yang hendak diraih oleh penganut Kejawen. Dan di tengah arus modernisasi seperti saat ini, sudah semestinya tradisi Rejeban harus dilestarikan sebagai wujud nguri-uri budaya leluhur yang penuh nilai-nilai adiluhung.
-Akademisi, Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya