OlehHamidulloh Ibda
Bagaiman kalau nyadran dilaksanakan di sekolah dan madrasah? Ya, tidak masalah. Apa masalahnya? Itu kan sekadar alat, tempat, bukan tujuan utama. Begitu!
Ya, nyadran memang lazimnya di masjid, musala, kuburan (makam) atau tempat pemakaman umum (TPU). Namun, tidak ada masalah kita mengenalkan tradisi bagus ini kepada murid-murid kita. Nyadran adalah tradisi yang telah lama menjadi bagian dari budaya masyarakat Jawa dalam menyambut bulan suci Ramadan. Tradisi ini merupakan hasil akulturasi antara ajaran Islam dan nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. Biasanya, nyadran dilakukan di masjid, musala, rumah warga, atau makam leluhur sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah meninggal serta sebagai sarana doa bersama agar mendapatkan keberkahan dalam menjalani ibadah Ramadan.
Sebagai orang yang peduli pada tradisi, saya sendiri sudah banyak menulis soal nyadran, seperti Penguatan Tasawuf Sosial Lewat Nyadrani (2018), Nyadran dan Penguatan Nasionalisme (2018), Nyadran Jelang Ramadan, Bukan Kemusyrikan (2018), dan Penguatan Nilai-Nilai Sufisme dalam Nyadran sebagai Khazanah Islam Nusantara (2018).
- Iklan -
Dalam perkembangannya, nyadran mulai merambah ke lingkungan pendidikan, seperti sekolah dan madrasah, sebagai bagian dari pendidikan karakter berbasis budaya dan spiritual. Realitasnya, belum banyak nyadran dilakukan di lembaga pendidikan khususnya sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi. Jika di pesantren tampaknya banyak dan sudah biasa, apalagi pesantren yang kompleknya berdekatan dengan kuburan para muassis dan tentu sudah pasti keluarga ndalem juga turut melestarikan tradisi nyadran di pesantren. Jadi biasa saja kalau di pesantren. Begitu!
Fenomena nyadran di sekolah dan madrasah merupakan suatu inovasi yang menarik. Tradisi ini tidak hanya sebatas ritual keagamaan, tetapi juga memiliki nilai edukatif yang tinggi. Sekolah dan madrasah menjadi tempat yang strategis untuk melestarikan nyadran karena lingkungan pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan spiritualitas peserta didik. Inisnu Temanggung, AKPER Alkautsar, TK/PAUD ELPIST, dan MI ELPIST Temanggung adalah beberapa lembaga pendidikan, pada Jumat (21/2/2025) mengadakan kegiatan nyadran, menandakan bahwa tradisi ini mulai diadaptasi dalam dunia pendidikan formal.
Di sekolah dan madrasah, nyadran dapat dikemas dalam berbagai bentuk kegiatan, seperti doa bersama, pembacaan ayat suci Al-Qur’an, tahlil, serta ceramah keagamaan yang mengingatkan pentingnya menghormati leluhur dan meningkatkan ketakwaan menjelang Ramadan. Selain itu, kegiatan ini sering kali dilengkapi dengan kerja bakti membersihkan lingkungan sekolah atau makam sebagai bentuk kepedulian terhadap kebersihan dan warisan budaya. Dengan demikian, nyadran tidak hanya menjadi sarana ibadah, tetapi juga media pembelajaran sosial bagi para siswa.
Ragam Tradisi Menyambut Ramadan
Yang paling populer di Jawa Tengah ada nyadran, dugeran khas Semarang, dandangan khas kudus, dan lainnya. Kalau di tempat saya di daerah Dukuhseti, Pati ada namanya “megengan” yaitu doa bersama menyambut Ramadan di musala/masjid. Substansinya hampir sama dengan nyadran, ada doa bersama, tahlilan, dan tasyakuran.
Nyadran adalah tradisi ziarah kubur yang dilakukan sebelum Ramadan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Biasanya, masyarakat akan membersihkan makam keluarga, menaburkan bunga, serta menggelar doa bersama, tahlil, dan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Tradisi ini mencerminkan ajaran Islam tentang pentingnya mengingat kematian dan mendoakan keluarga yang telah tiada. Seiring perkembangan zaman, nyadran kini juga dilakukan di lingkungan pendidikan seperti sekolah dan madrasah sebagai bagian dari pendidikan karakter berbasis budaya dan spiritual.
Selain itu, dugeran merupakan tradisi memukul bedug secara bertalu-talu menjelang Ramadan. Suara bedug yang menggema di masjid atau musala menjadi tanda bahwa bulan suci akan segera tiba. Tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai penanda waktu, tetapi juga menjadi sarana berkumpulnya masyarakat dalam suasana penuh suka cita. Di beberapa daerah, dugeran dilakukan dengan arak-arakan keliling kampung sambil membawa bedug kecil, obor, atau alat musik tradisional lainnya.
Dandangan merupakan tradisi khas Kudus, Jawa Tengah, yang menandai pengumuman awal Ramadan oleh Sunan Kudus. Hingga kini, tradisi ini diwujudkan dalam bentuk pasar rakyat yang diadakan menjelang bulan puasa. Berbagai pedagang menjajakan dagangannya, mulai dari makanan khas, pakaian, hingga perlengkapan ibadah. Suasana meriah ini menjadi ajang silaturahmi sekaligus persiapan memasuki bulan suci.
Ketiga tradisi ini menjadi bukti bahwa Islam dan budaya Jawa dapat berjalan berdampingan dalam harmoni. Nyadran, dugeran, dan dandangan bukan sekadar ritual tahunan, tetapi juga memiliki nilai sosial dan spiritual yang mempererat kebersamaan masyarakat dalam menyambut Ramadan dengan penuh berkah dan kegembiraan.
Hikmah Nyadran bagi Murid
Salah satu manfaat besar dari pelaksanaan nyadran di sekolah dan madrasah adalah memperkuat hubungan antara murid atau peserta didik, guru, dan masyarakat sekitar. Kegiatan ini menjadi ajang silaturahmi yang mempererat kebersamaan serta menanamkan nilai gotong royong dan kepedulian sosial. Lebih dari sekadar ritual, nyadran di lingkungan pendidikan berperan dalam membangun kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga tradisi dan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan modern.
Meski masih jarang ditemukan, nyadran di sekolah dan madrasah menunjukkan bahwa tradisi dapat berkembang seiring dengan perubahan zaman. Dengan adanya upaya dari berbagai lembaga pendidikan untuk mengadopsi tradisi ini, nyadran diharapkan tidak hanya bertahan tetapi juga semakin memperkaya khazanah pendidikan berbasis budaya dan agama di Indonesia. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya memperoleh pendidikan akademik, tetapi juga dibekali dengan pemahaman nilai-nilai luhur yang menjadi bagian dari identitas mereka sebagai masyarakat yang berakar pada tradisi dan keimanan.
Saat nyadran di kampus kemarin, substansi nyadran menurut Pengasuh Pondok Pesantren Ridho Allah Kaloran KH. Achmad Syafi Yahya mengatakan bahwa dari literatur yang dibaca, nyadran dan atau sadranan adalah murni tradisi Jawa. Sebelum agama Hindu masuk, agama Buddha masuk, bahkan sebelum Islam masuk yang dibawa oleh para ulama dari Gujarat, dan Timur Tengah, nyadran sejak dulu sudah ada dan asli Jawa.
Ada dua poin penting dalam nyadran, menurut Gus Yahya, yaitu birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua) dan sedekah. Sebab, birrul walidain menjadi kewajiban setiap muslim dan diperintankah Allah di dalam Al-Qur’an surah Al-Isrā’ ayat 23-24 yang memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Dua hal inilah yang mengalahkan kehebatan para nabi, yaitu birrul walidain dan loman atau dermawan dalam sedekah yang itu menjadi inti dari nyadran.
Praktik Baik
Nyadran, sebuah tradisi masyarakat Jawa yang kaya akan nilai-nilai luhur, biasanya dilakukan di masjid, musala, rumah warga, atau makam. Namun, ada yang berbeda di Temanggung. Empat lembaga pendidikan, yaitu Inisnu Temanggung, AKPER Alkautsar, TK/PAUD ELPIST, dan MI ELPIST Temanggung baru-baru ini menggelar nyadran di lingkungan sekolah dan madrasah mereka.
Tradisi nyadran di sekolah dan madrasah ini tentu saja bukan tanpa alasan. Selain untuk menyambut bulan Ramadan, kegiatan ini juga bertujuan untuk mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai luhur tradisi nyadran kepada para siswa sejak dini.
Rata-rata, mereka ingin mengenalkan tradisi nyadran kepada anak-anak sejak dini. Selain itu, kami juga ingin menanamkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi ini, seperti nilai kebersamaan, gotong royong, dan kepedulian terhadap sesama. Nyadran di sekolah dan madrasah ini diisi dengan berbagai kegiatan. Mulai dari doa bersama, tahlil, hingga makan bersama. Para siswa terlihat antusias mengikuti setiap rangkaian acara. Mereka juga terlihat senang bisa berkumpul bersama teman-temannya untuk melestarikan tradisi yang sudah turun-temurun ini.
Kegiatan nyadran di sekolah dan madrasah ini tentu saja mendapat sambutan positif dari berbagai pihak. Masyarakat sekitar sekolah dan madrasah pun turut mendukung kegiatan ini. Mereka berharap, tradisi nyadran ini bisa terus dilestarikan dan menjadi bagian dari budaya pendidikan di Indonesia.
Nyadran di sekolah dan madrasah adalah contoh nyata bagaimana tradisi dan budaya bisa berjalan beriringan dengan pendidikan. Keduanya saling melengkapi dan memperkaya satu sama lain. Dengan mengenalkan tradisi nyadran kepada siswa sejak dini, kita berharap mereka akan tumbuh menjadi generasi yang tidak hanya cerdas, tapi juga memiliki karakter yang kuat dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa. Nggono nggak?
-Penulis adalah dosen, dan Wakil Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu) Temanggung.