Oleh S. Prasetyo Utomo
TRANSENDENSI menjadi bagian obsesi penyair. Transendensi merupakan salah satu pijakan daya cipta, yang mengalirkan puisi hadir ke hadapan pembaca mutakhir. Sebagian besar puisi Abdul Hadi W.M. menyingkap tabir transendensi yang menyelubungi kultur kehidupan sehari-hari ke dalam puisi-puisi bernas dengan kekuatan kontemplasi. Transendensi dipertaruhkan sebagai penjelajahan ekspresi daya cipta penyair yang meninggal 19 Januari 2024 ini. Obsesi penyair pada dunia transendensi terasa sangat kental dalam puisi “Doa dalam Sajak”, “Doa I”, dan “Sajak-sajak Kelahiran”.
Makna transendensi adalah kesadaran ketuhanan atau kesadaran vertikal manusia, bukan secara agama semata, tetapi secara makna apa saja yang melampaui akal kemanusiaan. Ini merujuk pada cara pandang keilahian, untuk memaknai diri manusia dan kultur kehidupan di sekitar penyair. Dengan berpijak pada kultur kehidupan, Abdul Hadi W.M mengukuhkan pencarian obsesi penciptaan puisinya. Bagi saya, puisi “Doa dalam Sajak” berobsesi pada mitos dan realitas sosio-religi yang dialami penyair. Napas sufisme yang kental diekspresikan penyair dalam puisi “Doa I” dan “Sajak-sajak Kelahiran”. Ketiga puisi ini menjadi penawar pergolakan batin penyair untuk membebaskan diri dari belenggu napsu duniawi, melesat ke jalan sufi.
Saya takjub pada kesadaran transendensi yang menyusup sebagai motif puisi-puisi Abdul Hadi W.M. Ia mengendapkan pengalaman-pengalaman keilahian untuk melihat konteks kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat.
- Iklan -
***
SAYA tertarik pada kekuatan transendensi dan pembebasan mitos yang membelenggu kehidupan manusia. Dalam puisi “Doa dalam Sajak”, pada mulanya penyair menyingkap transendensi yang melingkupi atmosfer kehidupan para nelayan dan kaum santri. Akan tetapi, metafora yang diciptakannya telah terhampar dalam puisi ini, menyingkap mitos-mitos kaum sufi, kekuasaan raja, dan nabi saat menjalani perintah Sang Pencipta: Aku/ Senandungkan Firdausi dengan Seribu Satu Malam/ Di atas perahu dan seorang darwis/ Yang bercerita tentang Sinai yang permai/ Tapi sekarang hari melambung/ Dan anak-anak pantai akan kembali, gadis-gadis memainkan gambus buat Muharam//. Kekuatan transendensi itu pada akhirnya dimanfaatkan penyair untuk melakukan perenungan akan jejak-jejak peristiwa saat nabi mengabdikan seluruh hidupnya untuk menjalani ketentuan Sang Khalik. Dalam puisi ini penyair menyingkap hakikat hidup yang mesti menghadapi transendensi di jalan takdir sebagai makhluk.
Kesadaran transendensi mengalirkan larik-larik puisi untuk mencapai kesadaran akan kehadiran Sang Pencipta dalam kehidupan keseharian manusia. Dalam puisi “Doa I” kesadaran transendensi menyingkap keagungan Sang Pencipta, yang menyatu dalam siklus kehidupan manusia, seirama dengan pengalaman-pengalaman inderawi seperti keadaan perut yang lapar dan kenyang. Sang Pencipta larut dalam seluruh perilaku manusia. Manusia menjalani kehidupannya karena “kekuatan” transenden yang menggerakkannya: Kalau ada tangan yang mengulurkan kenyang dari perut nasi/ hingga enyah lapar ini. Kaulah tangan itu/ Kalau ada kenyang yang meliputi nasi hingga tergerak tangan/ ini membukanya. Kaulah kenyang itu/ Kalau ada nasi yang menghidupkan kembali jiwa lapar hingga/ bangkit kekuatan tangan ini. Kaulah nasi itu/.
Transendensi yang menjaga kasih sayang antarsesama manusia dan kesadaran akan alam semesta yang mendukung keagungan romansa cinta itu dapat dipahami dalam puisi “Sajak-sajak Kelahiran”. Puisi panjang ini menyingkap kisah-kisah nabi dan sufi yang menyertai pencarian cinta secara transenden. . Penyair menyingkap kedalaman pengalaman batin manusia untuk hidup di tengah masyarakat, alam semesta, ritual, dan bahkan konfrontasi senjata dengan musuh yang dihadapinya: Cinta menjadikan tongkat Musa pedang/ Yang menakutkan Firaun dan bala tentaranya/ Baranya membuat merdu lagu seruling Rumi/ Hingga hati Darwish thawaf mengelilingi ka’bah-Nya// Dibakar api Cinta Madinah/ Berkobar dan dilimpahi kesejahteraan/ Karena cinta Nabi hijrah meninggalkan Mekkah/ Dan merebutnya kembali dalam kemenangan//.
***
DALAM puisi-puisi yang lain, Abdul Hadi W. M. menyingkap kesadaran transendensi yang memasuki ruang sosial, alam, dan kekuasaan. Ia memiliki napas panjang penciptaan puisi dan tak pernah kekeringan imajinasi untuk mengekspresikan ide dari atmosfer transendensi, konfrontasi kekuasaan, pencarian identitas bangsa, dan harmoni alam yang melingkupinya. Terdapat beberapa puisi yang memikat dalam ekspresi metafora untuk menyingkap tabir transendensi, konfrontasi hegemoni kekuasaan dan harmoni alam. Membaca puisi-puisinya, saya memperoleh kesadaran bahwa transendensi Abdul Hadi W.M, menyusup ke dalam konfrontasi hegemoni kekuasaan, mitos, dan napsu hedonis manusia mutakhir. Ia telah menciptakan obsesi katarsisnya terhadap transendensi yang menyentuh kesadaran kebudayaan. Banyak obsesi puisinya bermula dari pergolakan batin yang dikemas dalam suasana transenden.
Abdul Hadi W.M. mencapai “identitas sastra” dengan cara mempresentasikan ciri-ciri kebahasaan dan ciri-ciri literer yang dikembangkannya. Ia mempertaruhkan proses kreatif yang lebih intens: jati diri penciptaan teks sastra. Yang mengasyikkan, penyair berobsesi pada konflik jiwa manusia dalam pergulatan sosial-budaya dengan ekspresi metafora-metafora yang memperkaya kontemplasi.
Sebagai penyair, Abdul Hadi W.M. telah menemukan “identitas sastra” yang berpijak pada atmosfer kehidupan masyarakat transkultural. Ia memiliki keberanian untuk membentangkan kearifan dan perenungan mengenai pergolakan spiritual. Puisi-puisinya mencapai tataran simbol dan metafora untuk menyingkap makna-makna yang lebih kompleks melalui “pergumulan penafsiran”.
Saya melihat Abdul Hadi W.M. melakukan pencarian kreativitas dengan eksplorasi kesadaran, kebeningan kalbu, dan kejernihan batin sebagai seorang sufi. Ia berketetapan hati menyingkap transendensi di balik hasrat melakukan pembebasan terhadap konfrontasi persoalan hidup manusia dengan imaji, metafora, kejernihan jiwa, dan kesalehan profetik.
***
*) S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.