oleh Abdul Wachid B.S.
Pendahuluan: Imaji sebagai Titik Berangkat
Dalam dunia pendidikan, penguatan literasi kerap diasosiasikan dengan kemampuan membaca dan menulis teks verbal. Namun, perkembangan dunia visual hari ini—dari lukisan hingga meme, dari foto jurnalistik hingga film pendek—telah membuka jalan baru dalam pedagogi literasi. Menulis dari gambar bukanlah sekadar kegiatan deskriptif, melainkan pintu masuk menuju pengembangan imajinasi naratif yang kaya, kontekstual, dan lintasindera. Dalam konteks pembelajaran bahasa dan sastra, media visual dapat menjadi stimulus kreatif yang ampuh untuk melatih kepekaan estetis, daya tangkap simbolik, dan keterampilan berbahasa siswa secara simultan.
- Iklan -
Gambar sebagai Teks Naratif
Media visual seperti ilustrasi, lukisan, atau foto jurnalistik tidak hanya merekam realitas, tetapi juga menyimpan potensi naratif yang dalam. Setiap gambar membawa konteks, konflik, suasana, dan kadang bahkan tokoh. Guru dapat memperkenalkan pada siswa bahwa gambar juga adalah “teks” yang dapat dibaca, ditafsirkan, dan dialihwahanakan menjadi tulisan. Misalnya, sebuah lukisan karya Basuki Abdullah atau Affandi dapat mengundang interpretasi naratif yang berbeda-beda, tergantung pada imajinasi dan latar pengalaman siswa. Demikian pula foto jurnalistik dari bencana atau peristiwa sosial memiliki nilai naratif dan emosional yang kuat.
Dalam proses ini, guru tidak menuntut siswa menebak “makna yang benar” dari gambar, melainkan mendorong eksplorasi narasi yang mungkin lahir dari gambar itu. Ini sekaligus membentuk budaya berpikir divergen dan memberi ruang pada imajinasi individual.
Dari Gambar ke Cerita: Strategi Alih Wahana Visual ke Verbal
Beberapa pendekatan pedagogis dapat diterapkan untuk mengalihkan gambar ke tulisan. Pertama, pendekatan ekspresif-imajinatif, di mana siswa diminta menulis narasi fiksi berdasarkan suasana, tokoh, atau konflik yang mereka tafsir dari gambar. Kedua, pendekatan reflektif-analitis, yaitu dengan meminta siswa menulis esai naratif atau otobiografis yang terpantik dari gambar tertentu. Misalnya, melihat foto masa kecil bisa menjadi pemantik kisah tentang keluarga atau perubahan diri.
Ketiga, pendekatan poetik-asosiatif, yang mendorong siswa menulis puisi dari citra visual. Misalnya, lukisan Claude Monet bisa menjadi inspirasi puisi alam; sedangkan ilustrasi realis seperti karya-karya Norman Rockwell dapat menjadi sumber puisi sosial atau ironi budaya.
Kunci dari pendekatan-pendekatan ini adalah transposisi indrawi: bagaimana visual ditransformasi menjadi verbal, bagaimana keheningan gambar diterjemahkan menjadi bunyi narasi.
Latihan-Latihan Kreatif Berbasis Visual
Dalam praktik pembelajaran, guru dapat mengembangkan berbagai latihan kreatif. Salah satunya adalah silent picture storytelling, di mana siswa diberi gambar tanpa keterangan dan diminta membuat narasi berdasar interpretasi mereka sendiri. Latihan ini dapat dilakukan secara individu maupun berkelompok untuk mengembangkan kerja sama kreatif.
Latihan lain adalah sekuens gambar acak, yakni menyusun beberapa gambar yang tidak saling berkaitan menjadi satu cerita utuh. Ini melatih logika naratif dan keterampilan menyusun plot. Guru juga dapat menggunakan frame tunggal dari film, lalu meminta siswa menuliskan kejadian sebelum dan sesudah adegan itu. Ini bukan saja meningkatkan pemahaman naratif, tetapi juga mengasah sensitivitas dramatik.
Latihan lanjutan yang tak kalah menarik adalah gambar diam, suara hati, di mana siswa diminta menuliskan monolog batin tokoh dalam gambar. Ini memperdalam aspek psikologis dalam menulis dan membantu siswa memahami perspektif lain. Guru juga bisa menyisipkan aktivitas before-after writing, yaitu siswa menulis narasi awal sebelum melihat gambar, lalu membandingkan dan merevisi narasinya setelah melihat gambar. Ini mendorong kesadaran akan pengaruh visual terhadap tafsir makna.
Menulis dari Adegan Film: Antara Diam dan Dinamika
Film sebagai bentuk visual bergerak menawarkan tantangan yang berbeda. Untuk menghindari sekadar menceritakan ulang alur film, guru bisa mengambil satu adegan yang kaya visual dan membekukan momen itu dalam imajinasi siswa. Misalnya, adegan dari film “Laskar Pelangi” saat Ikal dan Lintang memandangi laut dapat menjadi titik berangkat untuk menulis puisi atau refleksi personal tentang impian dan batas geografis.
Dengan strategi ini, siswa belajar mengisolasi makna dari dinamika, lalu mengartikulasikannya kembali ke dalam bahasa tulis. Ini menjadi latihan penting dalam mengasah kepekaan detail dan melatih kemampuan menyaring impresi. Bahkan, pendekatan ini dapat diperluas dengan menambahkan suara latar atau musik instrumental untuk memperkuat suasana saat menulis, sehingga pelajar tidak hanya mengolah visual, tetapi juga nuansa bunyi dan ritme emosi.
Studi Kasus: Praktik di Kelas Bahasa Indonesia
Salah satu contoh nyata diterapkannya pendekatan ini adalah pada kelas Bahasa Indonesia di tingkat SMA di Banyumas. Guru memperlihatkan gambar seorang anak kecil yang duduk sendirian di halte bus saat hujan. Siswa diminta menuliskan kisah yang mungkin terjadi pada anak tersebut. Hasilnya beragam: ada yang menulis kisah kehilangan, ada yang membuat cerita detektif, dan ada pula yang menggambarkan realitas kemiskinan dan harapan.
Dalam sesi ini, guru tidak memberi skor berdasarkan “kebenaran isi”, melainkan pada orisinalitas dan kelengkapan naratif. Siswa yang biasanya pasif menjadi lebih aktif dan berani mengungkapkan suara batin mereka. Gambar menjadi titik temu antara dunia batin dan dunia sosial siswa. Seorang siswa bahkan menulis narasi imajinatif dari perspektif genangan air di trotoar, memperlihatkan betapa teknik ini membuka ruang naratif yang tak biasa.
Literasi Multimodal dan Kepekaan Simbolik
Menulis dari gambar juga berkontribusi pada pengembangan literasi multimodal. Dalam Kurikulum Merdeka yang menekankan pada diferensiasi dan kreativitas, pendekatan ini sangat relevan. Siswa tidak hanya belajar tentang struktur naratif, tetapi juga tentang bagaimana simbol visual bekerja. Gambar dapat menyimpan makna metaforis, ironi, atau bahkan satire. Guru bisa mengajak siswa membaca simbol-simbol itu: misalnya, mengapa seorang tokoh dalam gambar duduk membelakangi cahaya? Mengapa latar berwarna gelap, atau ada burung hitam di langit?
Pertanyaan-pertanyaan ini membantu siswa mengembangkan kepekaan simbolik, yang pada gilirannya memperdalam tulisan mereka. Penulis yang baik bukan hanya menguasai bahasa, tetapi juga peka terhadap simbol dan imajinasi kultural. Di sinilah pentingnya membangun kesadaran naratif, bahwa setiap gambar menyimpan dunia yang menunggu untuk diceritakan.
Implikasi Pedagogis: Guru sebagai Fasilitator Imajinasi
Guru dalam hal ini berperan bukan sebagai pengoreksi makna, tetapi sebagai fasilitator imajinasi. Ia mengelola ruang kelas sebagai laboratorium ekspresi, bukan ruang ujian semata. Dengan membiarkan siswa mengekspresikan tafsir personal terhadap gambar, guru juga memberi kepercayaan bahwa setiap narasi adalah sah dan bermakna. Ini penting dalam membentuk kepercayaan diri berbahasa dan kemampuan mengolah emosi.
Lebih jauh, pendekatan ini sejalan dengan arah kurikulum yang menekankan pada pembelajaran kontekstual, berbasis pengalaman, dan diferensiasi minat. Ketika siswa diberi kebebasan menulis dari gambar, mereka sejatinya belajar menyusun makna dunia melalui sudut pandang mereka sendiri—dan ini adalah bentuk kemerdekaan belajar yang sejati.
Guru yang terbuka terhadap media visual tidak hanya memperluas pendekatan pembelajaran, tetapi juga membangun jembatan antara literasi lama dan baru. Di era digital yang dipenuhi gambar, kemampuan menulis dari visual adalah keterampilan penting abad 21.
Penutup: Menemukan Narasi dalam Diam
Menulis dari gambar adalah praktik literasi yang menggabungkan kepekaan visual, imajinasi naratif, dan keterampilan verbal. Ia menjembatani dunia diam dan dunia bunyi, dunia tampak dan dunia kata. Dalam konteks pendidikan bahasa dan sastra, praktik ini memperluas horizon belajar dan memberi ruang bagi ekspresi pelajar yang beragam.
Ketika siswa belajar menulis dari gambar, mereka bukan hanya belajar tentang teknik menulis, tetapi juga belajar bagaimana melihat dunia dengan mata yang lebih peka dan jiwa yang lebih reflektif. Gambar pun tidak lagi sekadar objek untuk ditonton, melainkan jendela untuk masuk ke dunia batin—dan dari sanalah, narasi yang bermakna bisa lahir. Guru, dalam hal ini, bukan hanya pengajar, tetapi penjaga nyala imajinasi.***
-Penulis adalah seorang penyair, Guru Besar dan Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto.



