Oleh Gunoto Saparie
Selalu ada yang samar dalam sejarah. Juga dalam sastra. Kita menyebutnya “sastra Jawa Pertengahan”, “sastra Jawa Baru”, “sastra Jawa Modern”. Nama-nama yang terasa hendak menata perjalanan panjang itu agar kelihatan rapi. Padahal, dalam kenyataannya, perjalanan itu berliku, penuh silang pengaruh, dan sering tidak taat pada batas-batas tahun yang kita buat.
Kita membaca bahwa “sastra Jawa Antara”, sebuah istilah yang jarang dipakai di luar ruang akademik, dimulai sejak Demak berdiri. Sejak itu Islam masuk ke naskah-naskah, ke serat, ke babad. Tetapi, apakah benar Islam hanya sekadar “masuk”? Atau, justru, ia juga berubah ketika berjumpa dengan Jawa?
Ada sebuah cerita: seorang wali di tanah pesisir menyampaikan ajaran tauhid dengan kidung. Di tengah irama gamelan, nama Allah disebut dengan cara yang lembut, menyelusup, tidak menggempur. Seorang petani yang datang ke sekaten mungkin tak pernah tahu ia sedang mendengar dakwah. Ia hanya tahu ada pesta, ada bunyi, ada keramaian. Dari situ, Islam menyusup pelan, bukan hanya sebagai ajaran, tetapi sebagai pengalaman estetik.
- Iklan -
Sastra, dengan cara lain, adalah jejak dari penyusupan itu. Kita menemukan Serat Kidungan Purwajati dan Serat Wulang Dalem Warni-Warni. Mereka tidak menuliskan “doktrin” agama sebagaimana kitab fikih. Mereka justru menulis tentang tubuh manusia sebagai cermin para nabi, tentang raja yang seharusnya meneladan pada konsep kekuasaan Islam, tentang dunia yang penuh simbol.
Islam di tangan para pujangga Jawa menjadi sesuatu yang berbeda. Ia lebih simbolik daripada legalistik, lebih mistik daripada rasional. Itulah mengapa, menurut Abdul Jamil, pesisir lebih legalistik, sedangkan pedalaman lebih mistik. Yang satu berbicara hukum, yang lain berbicara rasa.
Tetapi bukankah di situ pula letak kekuatan tradisi Jawa? Ia tak pernah menolak yang baru. Ia membiarkan yang baru menetap, bercampur, bahkan mengubah dirinya sendiri. Hindu-Buddha pernah datang, meninggalkan candi, mantra, dan cerita wayang. Islam datang, menambahkan wirid, suluk, primbon. Belanda datang, membawa huruf Latin, menerbitkan buku, dan di situ pula lahirlah novel Jawa pertama.
Kita melihat sebuah pola: sejarah Jawa adalah sejarah akulturasi. Sinkretisme, kata orang. Tetapi sinkretisme, di sini, bukan sekadar pencampuran acak. Ia lebih mirip sebuah taman yang luas, tempat berbagai pohon tumbuh bersama, saling menaungi, saling membatasi, saling melengkapi.
Sastra Jawa klasik, dengan mistik dan simbolnya, adalah bagian dari taman itu. Dalam teks-teksnya, manunggaling kawula Gusti bukan sekadar gagasan religius. Ia juga adalah metafor tentang kerinduan manusia Jawa pada kesatuan, pada ketenteraman. Pada sesuatu yang, di tengah sejarah yang kacau, mungkin tak pernah sungguh-sungguh dicapai.
Tetapi, lihatlah, sastra Jawa juga tidak bebas dari kuasa. Pada masa Paku Buwana IV, misalnya, Islam di Surakarta disebut lebih “berorientasi kepada pemerintah”. Artinya, tafsir agama ikut diatur dari keraton, selaras dengan kepentingan politik. Sastra pun, meskipun mistik, juga berada dalam orbit kuasa itu. Di balik tembang dan serat, ada upaya menjaga legitimasi.
Apakah dengan begitu sastra kehilangan otonominya? Mungkin. Tetapi di sisi lain, justru di situlah terlihat ironi: karya sastra bisa sekaligus menjadi alat kuasa dan jalan perlawanan. Ia bisa dipakai untuk merumuskan tatanan, sekaligus menyembunyikan kegelisahan. Babad bercerita tentang raja, tetapi di sela-selanya ia juga mengisyaratkan bahwa kuasa itu rapuh, bisa runtuh kapan saja.
Kita ingat catatan sejarah: tahun 1700-an, Belanda sejatinya sudah berkuasa di Nusantara. Raja Jawa hanya memerintah tanpa kedaulatan. Namun, dari situ pula lahir karya-karya sastra Jawa yang kuat, yang masih kita baca hingga kini. Sebuah paradoks: kekuasaan terampas, tetapi sastra justru subur.
Mungkin, karena sastra Jawa bukan sekadar milik keraton. Ia lahir dari pesantren, dari para wali, dari orang-orang pinggiran yang menuliskan primbon. Ia hidup di antara rakyat, beredar sebagai manuskrip, dibacakan di langgar, di tengah hajatan. Sastra bukan hanya teks, ia juga ritual sosial.
Maka kita melihat: sastra Jawa bukanlah “literatur” dalam pengertian modern, buku yang dibaca sendiri, diam-diam, dalam kamar sunyi. Ia adalah bacaan yang hidup di ruang kolektif. Ia diperdengarkan, diresapi, ditafsirkan bersama. Dari situlah mungkin lahir kelenturan yang membuatnya sanggup menyerap begitu banyak pengaruh.
Sampai hari ini, transformasi itu masih bisa kita lihat. Orang Jawa masih mengenal primbon, masih percaya pada hari baik dan buruk, tetapi pada saat yang sama membaca Qur’an. Di keraton masih ada Sekaten, musik gamelan yang dimaksudkan untuk dakwah, tetapi sudah menjadi festival budaya. Realitas Islam-Jawa, kata Muslich, tetap berlangsung meski ada perdebatan.
Apakah itu berarti Islam di Jawa “kurang murni”? Atau, sebaliknya, justru lebih kaya? Pertanyaan itu sering muncul, dari masa ke masa. Tetapi mungkin pertanyaan itu salah alamat. Sebab “murni” sendiri adalah sebuah ilusi. Tak ada agama yang hadir tanpa bersentuhan dengan budaya. Tak ada teks yang turun ke bumi tanpa melalui bahasa manusia, dengan segala keterbatasannya.
Sastra Jawa klasik justru mengingatkan kita pada hal itu: pada akhirnya, agama selalu dihidupi dalam konteks. Islam di Hijaz berbeda dengan Islam di Jawa. Islam di Jawa berbeda dengan Islam di India. Tetapi semua mengarah pada yang sama. Seperti air yang dituangkan ke dalam gelas, botol, kendi—wujudnya mengikuti wadah, tetapi hakikatnya tetap air.
Namun, di sisi lain, akulturasi ini juga menyimpan risiko. Ia bisa melahirkan kebingungan identitas. Orang Jawa bisa terombang-ambing antara “Islam” dan “Kejawen”. Bisa lahir perdebatan panjang: mana yang harus diikuti, mana yang harus ditinggalkan. Sebagian memilih legalistik, sebagian tetap mistik. Sebagian kembali ke Qur’an dan hadis, sebagian bertahan pada tradisi leluhur.
Barangkali itulah sebabnya kita membaca transformasi dalam dua wajah: eksplisit dan implisit. Eksplisit: pada kata dan kalimat yang menyebut nama nabi, ayat, hadis. Implisit: pada makna yang dipelintir, ditafsir ulang, disesuaikan dengan roso. Di situ terlihat kreativitas, tetapi juga kegamangan.
Pada akhirnya, sastra Jawa klasik adalah kesaksian tentang bagaimana orang Jawa menghadapi yang asing. Ia tidak menolak, tidak pula menelan bulat-bulat. Ia mengunyah, mencampur, mengolah, hingga menjadi dirinya sendiri.
Mungkin itu sebabnya ia tetap relevan. Di tengah globalisasi, di tengah arus budaya yang deras, kita bisa belajar dari kelenturan itu. Bahwa identitas tidak harus kaku. Bahwa menerima yang baru tidak berarti kehilangan yang lama. Bahwa keutuhan bisa lahir justru dari keberanian untuk berubah.
Dan mungkin, di situlah arti terdalam dari manunggaling kawula Gusti. Ia bukan sekadar mistik, bukan sekadar menyatu dengan Yang Ilahi. Ia adalah kerinduan pada kesatuan dalam keberagaman, pada ketenteraman dalam kerumitan sejarah.
Sejarah sastra Jawa, dengan segala peralihannya, adalah ingatan tentang itu. Tentang manusia yang selalu hidup di antara yang lama dan yang baru, antara teks dan kuasa, antara agama dan budaya. Ingatan bahwa hidup, seperti sastra, selalu dalam proses transformasi.
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah.



