Oleh Hamidulloh Ibda
Menempuh jalan panjang dan penuh dedikasi hingga mencapai gelar doktor bukan hanya sebuah pencapaian pribadi, melainkan sebuah penyerahan diri pada amanah kolektif. Begitu juga kata promotor saya, bahwa doktor itu memiliki “tanggung jawab keilmuan.” Gelar ini melekat tidak hanya di ruang akademik, tetapi juga di ruang sosial, budaya, dan pendidikan. Sebab, menuntut pemiliknya hadir sebagai agen perubahan, bukan sekadar pengajar yang menyampaikan ilmu.
Seorang doktor harus menjadi provokator dalam arti positif: mengguncang kenyamanan berpikir, menyalakan api pemikiran baru, dan menggerakkan orang lain untuk bertindak. Dalam konteks pendidikan, inilah tanggung jawab intelektual dan moral yang tidak bisa ditawar. Ya, karena sebelum jadi doktor, saya itu sudah sering menjadi narasumber pelatihan, workshop, seminar, dari tingkat lokal hingga internasional. Apalagi, setelah lulus jadi doktor sejak 16 Februari 2024 silam, banyak undangan yang membuat saya kadang mumet.
Menyandang gelar doktor adalah permulaan dari tanggung jawab yang lebih besar. Ia lebih dari sekadar tanda pencapaian pendidikan tertinggi; ia adalah otoritas ilmiah yang dituntut untuk memberi arah, memantik kesadaran, dan menggugah komunitas untuk bergerak maju. Doktor ditakdirkan untuk menjadi provokator: pembangkit, penggerak, dan penyulut api perubahandengan landasan ilmu yang mendalam.
- Iklan -
Provokasi Konstruktif
Peran doktor sebagai provokator sejatinya berakar pada kebutuhan manusia untuk terus merefleksi diri dan berkembang. Hal ini sangat selaras dengan teori pembelajaran transformatif (transformative learning) yang dikemukakan oleh Jack Mezirow dalam karyanya Transformative Learning: Theory to Practice (1997). Teori ini menekankan bahwa pembelajaran sejati terjadi ketika individu mengalami “disorienting dilemma” sebuah keguncangan atau krisis kognitif yang kuat yang memaksa mereka untuk merefleksi ulang asumsi-asumsi, kerangka berpikir, dan praktik lama yang selama ini mereka yakini.
Itulah esensi dari provokasi positif di ruang pendidikan: menghadirkan kegelisahan konstruktif. Ketika saya berbicara di MTs Negeri 2 Kota Semarang pada Selasa 23 September 2025, tentang pengelolaan pembelajaran berbasis AI, provokasi tidak berhenti pada ajakan menggunakan perangkat canggih. Saya melangkah lebih jauh: mengguncang keyakinan bahwa literasi hanya sebatas baca-tulis, dan memaksa guru menyadari bahwa mereka harus memperkuat multiliterasi siswa, mencakup literasi digital, numerasi, sains, dan berpikir kritis. Tujuannya adalah mendorong guru keluar dari zona nyaman ceramah dan hafalan menuju pembelajaran mendalam yang bermakna. Tanpa kegelisahan ini, perubahan tidak akan pernah lahir.
Selain memantik refleksi internal, doktor juga bertanggung jawab menggerakkan adopsi praktik baru secara kolektif. Di sini, peran provokator berfungsi sebagai Agen Perubahan dalam kerangka teori difusi inovasi (diffusion of innovations) oleh Everett Rogers dalam bukunya Diffusion Of Innovations (1983). Rogers menjelaskan bagaimana ide, praktik, atau produk baru menyebar dalam sistem sosial. Seorang doktor, dengan otoritas ilmiahnya, berfungsi sebagai pemimpin opini (opinion leader) dan agen perubahan (change agent). Tugasnya adalah menggerakkan para guru untuk bertransformasi dari kelompok mayoritas akhir (late majority) yang resisten menjadi pengadopsi dini (early adopters) atau bahkan inovator itu sendiri.
Misalnya, saat mendampingi guru SDN Petompon 02 Semarang pada Selasa (23/9/2025) menyusun perangkat ajar pembelajaran mendalam. Bagi sebagian guru, RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) masih dianggap dokumen administratif belaka, sebuah praktik lama yang nyaman. Di situlah provokasi terjadi: hadir untuk menggoda mereka melihat RPP bukan sebagai tumpukan kertas, melainkan peta jalan pembelajaran yang hidup dan menempatkan siswa sebagai subjek. Ini adalah upaya difusi inovasi kurikulum dan metodologi.
Hal serupa terlihat saat berdiskusi dengan guru MI di Kranggan tentang koding dan kecerdasan artifisial. Pertanyaan, “Kalau Singapura, India, dan Korea sudah menanamkan koding sejak dini, apakah kita akan terus menunggu?” adalah provokasi yang dirancang untuk mengatasi hambatan adopsi (barriers to adoption). Dengan memperkenalkan AI Competency Framework for Teachers, seorang doktor menunjukkan keuntungan relatif (relative advantage) dari inovasi tersebut, meyakinkan guru bahwa AI bukanlah monster yang menakutkan, melainkan mitra strategis yang harus segera diadopsi.
Ilmu Harus Hidup dan Berdampak
Menjadi doktor bukanlah akhir dari urusan akademik, melainkan baru memulai tanggung jawab sosial-intelektual yang besar. Doktor dituntut hadir sebagai penggerak, penantang, sekaligus penyulut api perubahan. Menjadi provokator dalam arti positif yaitu menciptakan disorienting dilemma dan bertindak sebagai change agent yang memfasilitasi difusi inovasi, adalah cara untuk memastikan bahwa ilmu pengetahuan tidak berhenti di menara gading. Sebaliknya, ilmu harus hidup, berdampak, dan menyalakan perubahan di dunia nyata.
Gelar doktor tidak bisa hanya dibaca sebagai simbol kehebatan pribadi. Ia harus ditafsirkan sebagai sebuah mandat untuk menyalakan obor pengetahuan di tengah masyarakat. Ketika seorang doktor berani mengusik kenyamanan lama dan membuka cakrawala baru, saat itulah ilmu pengetahuan menemukan maknanya yang sejati. Provokasi positif yang dihadirkan bukanlah untuk menjatuhkan, melainkan untuk membangun kesadaran kolektif bahwa perubahan adalah keniscayaan.
Pada akhirnya, doktor adalah peziarah intelektual yang tidak boleh berhenti berjalan. Setiap gagasan, tulisan, dan gerakan harus menjadi energi yang menular, menyuburkan ekosistem pendidikan, serta melahirkan generasi yang lebih adaptif dan visioner. Dengan cara itu, keberadaan doktor tidak hanya terasa di ruang seminar atau jurnal ilmiah, tetapi juga di ruang kelas, komunitas, bahkan ruang publik tempat masyarakat menanti inspirasi. Inilah hakikat menjadi provokator intelektual: menghidupkan ilmu dan menjadikannya nyala yang terus menyinari. Ada pendapat lain?
*Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., Dosen dan Wakil Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu) Temanggung.



