Tanggapan atas Pernyataan Menteri Agama dari Sudut Pandang Guru Madrasah
Oleh: Evie Yunianti
Beberapa waktu lalu, publik dibuat heboh dengan pernyataan Menteri Agama, Prof. Dr. Nasaruddin Umar dalam sebuah sambutan. Beliau menyebut, “Kalau mau cari uang, jangan jadi guru.” Sekilas kalimat ini terdengar menyinggung banyak guru yang setiap hari berjuang mendidik generasi bangsa. Namun, jika disimak lebih jernih, maksud Menag sebenarnya bukan merendahkan profesi guru, melainkan menekankan bahwa orientasi utama seorang guru adalah pengabdian dan amal. Ucapan itu juga segera diklarifikasi dan beliau meminta maaf kepada publik.
Kontroversi ini menjadi momentum yang baik bagi kita untuk kembali merenungkan: bagaimana Islam memandang profesi guru? Apakah salah jika guru berharap sejahtera? Dan bagaimana seharusnya kita memahami relasi antara rezeki dan pengabdian?
- Iklan -
Guru dalam Perspektif Islam
Dalam tradisi Islam, guru atau pendidik memiliki kedudukan yang sangat mulia. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambil ilmu itu, ia telah mendapatkan bagian yang banyak.” (HR. Tirmidzi).
Guru adalah bagian dari pewaris para nabi, karena mereka mengajarkan ilmu, akhlak, dan keteladanan. Bahkan, pekerjaan seorang guru dapat menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir.
Dalam HR. Muslim, Nabi SAW juga bersabda:
“Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Ilmu yang bermanfaat adalah salah satu warisan paling berharga, dan guru menjadi jalan utama tersebarnya manfaat itu. Maka, profesi guru sejatinya tidak hanya pekerjaan, tetapi juga ladang amal jariyah.
Al-Qur’an pun menegaskan keutamaan orang berilmu:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11).
Ayat ini memberi gambaran bahwa guru bukan sekadar pekerja, tetapi bagian dari orang-orang yang dimuliakan Allah.
Antara Rezeki dan Profesi
Meski guru dimuliakan, sering muncul pertanyaan: apakah menjadi guru berarti harus pasrah dalam keterbatasan ekonomi?
Al-Qur’an mengingatkan:
“Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6).
Artinya, rezeki tidak ditentukan oleh profesi semata, melainkan oleh Allah. Guru yang ikhlas dan sabar, sama seperti pedagang yang ulet atau petani yang tekun, sama-sama sedang menjemput rezeki sesuai takaran Allah.
Dalam Islam, bekerja adalah ibadah. Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad).
Guru jelas termasuk di dalamnya. Bahkan, manfaat seorang guru dapat bertahan jauh lebih lama daripada profesi lain, karena murid-muridnya akan terus mengamalkan ilmu yang diajarkan.
Dengan demikian, rezeki guru bukan hanya berupa gaji, tetapi juga keberkahan ilmu, doa para murid, serta pahala amal jariyah.
Meluruskan Pernyataan Menag
Kalimat “kalau mau kaya jangan jadi guru” memang terdengar kasar di telinga. Namun, jika ditarik ke maksud positif, kalimat itu bisa dipahami sebagai ajakan agar guru menata orientasi. Bahwa profesi ini bukan sekadar pekerjaan mencari nafkah, melainkan juga panggilan jiwa.
Namun demikian, kita juga harus menegaskan bahwa Islam tidak pernah melarang guru hidup sejahtera. Justru sebaliknya, Islam menekankan agar setiap muslim menjaga kehormatan dengan penghasilan yang layak. Rasulullah SAW sendiri berdoa agar umatnya terhindar dari kefakiran yang mendekatkan kepada kekufuran.
Karena itu, tugas negara adalah memastikan guru memperoleh penghargaan dan kesejahteraan yang layak. Tunjangan profesi, pengangkatan guru honorer menjadi PPPK, dan peningkatan akses pendidikan profesi guru adalah langkah-langkah nyata yang perlu terus diperkuat.
Guru: Antara Kaya Materi dan Kaya Hati
Jika “kaya” dipahami hanya sebatas materi atau harta, maka banyak profesi lain yang lebih cepat menghasilkan. Tetapi jika “kaya” dimaknai sebagai luasnya manfaat dan besarnya pahala, guru adalah profesi yang sangat kaya. Kaya amal jariyah, kaya doa murid, kaya keberkahan hidup.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis bahwa guru sejati adalah orang yang menunaikan tugas kenabian, yaitu menyelamatkan manusia dari kebodohan dan membimbing ke jalan Allah. Maka, betapa agungnya profesi ini jika dijalani dengan ikhlas.
Penutup
Dari kaca mata seorang guru madrasah seperti saya, Pernyataan Menag yang sempat kontroversial seharusnya tidak membuat semangat para guru patah. Justru inilah saatnya kita meneguhkan kembali niat: menjadi guru adalah jihad ilmu, pengabdian, dan amal jariyah.
Kita tentu berharap negara terus memperhatikan kesejahteraan guru. Namun, di balik segala keterbatasan, seorang guru tetap memiliki “kekayaan” yang tidak ternilai: ilmu yang terus hidup dalam diri murid-muridnya.
Dengan demikian, guru bukan hanya pekerja biasa, tetapi penjaga peradaban. Dan ketika wafat, saya yakin pahala tetap mengalir melalui ilmu yang telah diajarkan.
“Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang melakukannya.” (HR. Muslim).
Semoga para guru senantiasa diberi kekuatan, kelapangan rezeki, dan keberkahan dalam setiap ilmu yang diajarkan.



