Oleh Usman Mafrukhin
Saya kira segala sesuatu yang dikomentari oleh yang tidak berkecimpung dan tahu seluk beluk di dalamnya bisa dipastikan akan memunculkan sebuah pendapat atau narasi yang sangat justru merugikan, karena tidak menggunakan sudut pandang yang memang benar mengetahui sejatinya di dalam. Dewasa ini dunia luar memandang dunia pesantren dengan kacamata yang sempit, mereka melihat kedisiplinan sebagai bentuk penindasan, penghormatan sebagai feodalisme, dan pengabdian sebagai perbudakan, segala hal yang berkaitan dengan pondok pesantren sangat ramai dibicarakan dan menuai kritik dari segala arah mulai dari isu perbudakan feodalisme, kuli bangunan, dan sebagainya.
Padahal, kami sebagai santri semua itu bukan bentuk tunduk tanpa makna, melainkan latihan jiwa untuk menata hati dan akhlak dan jika feodalisme berarti mengkultuskan manusia, maka pesantren justru menentangnya, kami tidak memuja kiai sebagai penguasa tapi menghormatinya sebagai perantara ilmu dan pembentuk karakter.
Dalam beberapa waktu terakhir, muncul pandangan yang menilai bahwa budaya ketaatan santri terhadap kiai di pesantren merupakan bentuk feodalisme. Pandangan ini sering lahir dari sudut pandang luar pesantren yang memahami relasi sosial hanya melalui kacamata politik kekuasaan. Padahal, dalam tradisi pesantren, ketaatan bukanlah bentuk ketundukan struktural, melainkan ekspresi adab dan penghormatan terhadap sumber ilmu.
- Iklan -
Feodalisme berakar pada sistem sosial yang menempatkan manusia berdasarkan derajat keturunan dan kekuasaan. Dalam sistem ini, yang rendah harus tunduk kepada yang tinggi karena status sosial, bukan karena keutamaan moral. Sementara itu, dalam dunia pesantren, relasi kiai dan santri dibangun atas dasar keilmuan dan spiritualitas.
Kiai dihormati bukan karena ia “berkuasa”, tetapi karena ia menjadi perantara ilmu dan teladan akhlak. Santri taat bukan karena takut, tetapi karena cinta kepada ilmu dan pengajarnya. Secara logika Ketika kita memutar fakta bahwa seseorang yang tidak ada unsur hubungan kelimuan dan spiritualitas akan tetapi dia menginginkan jabatan atau kekuasaan pasti akan juga tunduk kepada orang orang yang sudah berada diatas.
Ketaatan dalam pesantren pun tidak menutup ruang berpikir kritis. Santri diajarkan untuk berdiskusi, bertanya, dan mengkaji ulang ajaran dalam koridor adab. Adab ini menjadi fondasi agar kebebasan berpikir tidak berubah menjadi kesombongan intelektual. Dengan adab, ilmu tidak hanya dipahami secara rasional, tetapi juga dihayati secara moral. Inilah yang membedakan pesantren dari sistem feodal: otoritas di pesantren bersumber dari keilmuan dan keteladanan, bukan dari posisi sosial atau kekayaan.
Kesalahpahaman publik tentang “taat” dan “feodal” sering muncul karena perbedaan bahasa budaya.
Masyarakat modern sering menilai ketaatan sebagai simbol ketertinggalan atau ketidakbebasan, padahal dalam konteks pesantren, taat adalah jalan pembentukan karakter. Justru dari pesantrenlah lahir banyak tokoh pembaharu, pemikir Islam progresif, dan pejuang keadilan sosial — bukti bahwa adab tidak menumpulkan daya kritis.
Pesantren, dengan segala tradisi dan dinamismenya, adalah laboratorium moral bangsa. Ia mengajarkan bagaimana menghormati tanpa menuhankan, bagaimana taat tanpa kehilangan nalar, dan bagaimana menjaga tradisi tanpa menolak perubahan. Maka, ketika publik menuduh pesantren feodal, sejatinya mereka sedang salah membaca bahasa adab. Sebab dalam pesantren, ketaatan bukan belenggu, melainkan jalan menuju kemerdekaan jiwa.
Belum lama ini pesantren sedang mengalami ujian dan cobaan lewat runtuhnya salah satu pondok di sidoarjo, ini menjadi luka bagi seluruh pesantren di indonesia, ditambah kemarin ada sebuah tayangan dari televisi yang menyudutkan pondok pesantren. Hal ini sudah kelewat batas dan tidak bisa untuk dibiarkan karena sudah menjelekan nama baik para kiyai dan masayikh ternama.
Bagi kalangan santri tidak terima dan siap memboikot stasiun televisi yang menayangkan segala sesuatu yang itu tidak benar di pondok pesantren. Muncul sebuah tagar #boikottrans7 adalah bukti bahwa kami kalangan santri tidak akan diam ketika simbol pondok pesantren dan juga masayikh kita direndahkan oleh orang-orang yang tidak mengerti sejatinya pondok pesantren.
-Usman Mafrukhin, Santri PP Sunan Plumbon Krajan Tembarak Temanggung



