Oleh Hamidulloh Ibda
Saya pertama kali juga bertanya dan langsung googling. Janjane Geng Solo dan Termul itu apa sih? Ternyata, Geng Solo dan Termul itu tertuju pada orang yang sama. Tapi, dari kalangan remaja, sampai orang tua kini ketika menyindir bahkan merendahkan juga memilih dua diksi ini. “O…. masuk Geng Solo to awakmu,” “O…. Dasar Termul…. dan lainnya.
Fenomena bahasa politik di Indonesia selalu menghadirkan dinamika baru. Dua istilah yang mencuri perhatian publik adalah “Geng Solo” dan “Termul” (Ternak Mulyono). Keduanya lahir dari percakapan publik, media, hingga forum-forum daring, dan dengan cepat menjadi bagian dari kosakata politik populer. Dari sudut pandang linguistik, metafora, komunikasi, dan edukasi, istilah-istilah ini menyimpan makna lebih dalam ketimbang sekadar lelucon.
Seperti dikemukakan Fairclough (2013) dalam Critical Discourse Analysis, bahasa politik adalah arena pertarungan makna dan ideologi, sehingga setiap istilah membawa beban representasi dan framing tertentu. Saya mencoba menganalisis Geng Solo dan Termul dari kacamata bahasa, metafora, komunikasi politik, dan edukasi bahasa sesuai domain keilmuan yang saya tekuni.
- Iklan -
Bahasa sebagai Identitas dan Penanda Sosial
Istilah “Geng Solo” awalnya digunakan untuk menyebut kelompok polisi dan perwira militer yang kariernya melesat seiring kedekatan dengan Joko Widodo sejak masa beliau menjabat sebagai wali kota Surakarta. Penggunaan kata “geng” memberikan nuansa identitas kelompok yang eksklusif, kompak, namun sarat konotasi negatif dan informal.
Sebaliknya, “Termul” hadir lebih sebagai istilah populer yang dilontarkan warganet untuk menyindir para pengikut Jokowi, dengan metafora “ternak” yang menyiratkan ikatan patronase, kesetiaan, sekaligus ketergantungan. Hal ini selaras dengan pandangan Keraf (2007) dalam Diksi dan Gaya Bahasa bahwa pilihan kata selalu memuat efek ideologis dalam membentuk citra kelompok.
Kehadiran istilah-istilah ini menegaskan fungsi bahasa sebagai penanda sosial yang membedakan “kami” dan “mereka.” Sebutan “Geng Solo” menandai sebuah jaringan kekuasaan yang dianggap eksklusif dan berakar dari latar geografis, sedangkan “Termul” menempatkan pengikut dalam posisi subordinat yang dikonstruksi secara metaforis.
Dalam kajian sosiolinguistik, bahasa semacam ini berfungsi sebagai simbol identitas, di mana makna yang dilekatkan tidak hanya bersifat deskriptif, melainkan juga evaluatif. Masyarakat pengguna istilah tersebut mengonstruksi realitas politik melalui label yang sederhana tetapi sarat makna.
Selain sebagai identitas, kedua istilah ini juga memainkan fungsi retoris. Metafora “geng” membawa imajinasi publik pada kelompok dengan solidaritas kuat, tetapi juga mengandung unsur eksklusivitas dan konotasi kriminalitas. Sementara metafora “ternak” digunakan sebagai bentuk sindiran keras yang mengurangi martabat individu menjadi sekadar objek kolektif. Majas tersebut menunjukkan bahwa pilihan bahasa dalam wacana politik tidak pernah netral, melainkan sarat dengan kepentingan dan strategi framing untuk memengaruhi persepsi khalayak.
Dari perspektif pendidikan bahasa, istilah “Geng Solo” dan “Termul” dapat dijadikan contoh konkret bagaimana bahasa bekerja dalam masyarakat untuk menyampaikan kritik dan resistensi. Guru atau pendidik bahasa bisa memanfaatkannya untuk mengajarkan peran metafora, disfemisme, maupun bahasa kritik dalam praktik komunikasi sehari-hari. Dengan demikian, wacana populer semacam ini bukan hanya bahan obrolan di media sosial, melainkan juga sumber belajar yang memperkaya kesadaran kritis siswa terhadap fungsi bahasa dalam membentuk realitas sosial-politik.
Metafora dalam Wacana Politik
Metafora “geng” dan “ternak” memperlihatkan bagaimana masyarakat mengonstruksi relasi kekuasaan melalui simbol bahasa. “Geng” menyamakan jaringan kekuasaan dengan kelompok pertemanan jalanan yang solid dan saling melindungi, sementara “ternak” menyiratkan relasi hierarkis antara penggembala dan pengikut tanpa pilihan. Lakoff dan Johnson (2003) dalam Metaphors We Live By menjelaskan bahwa metafora membentuk cara kita memahami realitas, bukan sekadar ornamen bahasa. Dengan demikian, istilah-istilah ini adalah bentuk simplifikasi kompleksitas politik ke dalam simbol-simbol yang mudah dipahami publik.
Penggunaan metafora ini tidak hanya bersifat linguistik, tetapi juga ideologis. Dengan menyebut sebuah jaringan kekuasaan sebagai “geng,” masyarakat memberi penekanan pada citra informal, eksklusif, bahkan bernuansa kriminal. Sementara itu, metafora “ternak” menekankan kurangnya kemandirian individu dalam sebuah relasi kuasa, seolah-olah pengikut hanya digiring tanpa suara. Hal ini memperlihatkan bagaimana bahasa bisa digunakan untuk mendiskreditkan atau melemahkan posisi lawan politik melalui asosiasi simbolik.
Dari sisi pragmatik, metafora tersebut juga berfungsi sebagai strategi komunikasi politik. Kata-kata yang bersifat metaforis lebih mudah menempel dalam ingatan publik karena menghadirkan gambaran konkret yang dekat dengan pengalaman sehari-hari. Ketika masyarakat mendengar istilah “geng,” mereka segera membayangkan kelompok jalanan yang kompak, sedangkan kata “ternak” langsung menghadirkan bayangan hewan yang digembalakan. Efek retoris inilah yang membuat metafora menjadi instrumen efektif dalam membentuk opini publik.
Lebih jauh, metafora dalam wacana politik dapat dijadikan sarana edukasi kritis. Dengan menganalisis bagaimana istilah “Geng Solo” dan “Termul” dipakai, pelajar bahasa dapat memahami bahwa kata-kata bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga instrumen kekuasaan yang membentuk cara pandang. Hal ini memperkaya kesadaran bahwa bahasa memiliki peran penting dalam mengonstruksi realitas sosial, sehingga masyarakat perlu lebih kritis dalam menerima dan menggunakan istilah politik yang lahir dari interaksi publik.
Komunikasi, Humor, dan Budaya Pop
Istilah “Termul” populer lewat komunitas daring seperti “Konoha”—sebuah metafora lain yang menghubungkan percakapan politik dengan dunia fiksi Naruto. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana wacana politik di era digital tidak hanya berdiri sendiri, melainkan bercampur dengan unsur budaya populer. Kehadiran rujukan ke dunia fiksi menjadikan bahasa politik lebih cair, segar, dan mudah diterima kalangan muda yang akrab dengan dunia hiburan. Dalam konteks ini, politik tidak lagi dibicarakan hanya dengan istilah formal, melainkan dengan gaya yang menghibur dan komunikatif.
Humor berperan penting dalam menghubungkan bahasa politik dengan publik. Melalui meme, parodi, dan plesetan, isu-isu serius dikemas menjadi lebih ringan tanpa kehilangan muatan kritik. Menurut Meyer (2000) dalam Humor as a Double-Edged Sword, humor dalam komunikasi politik dapat menjadi pedang bermata dua: di satu sisi memperkuat kritik, di sisi lain menurunkan resistensi audiens terhadap pesan yang disampaikan. Hal ini membuat humor menjadi instrumen retoris yang efektif, terutama dalam ruang publik digital yang penuh dengan interaksi cepat dan spontan.
Dari perspektif sosiolinguistik, penggunaan istilah “Termul” memperlihatkan adanya kreativitas kolektif masyarakat dalam membingkai realitas politik. Akronim yang dibentuk dengan gaya satir ini memudahkan penyebaran pesan karena singkat, mudah diingat, dan memiliki daya tarik humor. Fenomena ini sejalan dengan pandangan Fairclough (2013) dalam Critical Discourse Analysis yang menekankan bahwa wacana bukan hanya sekadar cerminan realitas, tetapi juga praktik sosial yang membentuk cara pandang masyarakat. Dengan demikian, “Termul” adalah bukti bahwa wacana politik digital sarat dengan proses produksi makna yang kreatif sekaligus kritis.
Lebih jauh, humor dan budaya pop dalam komunikasi politik memperlihatkan terjadinya pergeseran cara publik mendiskusikan kekuasaan. Alih-alih melalui debat akademis yang kaku, masyarakat menggunakan bahasa populer yang lebih inklusif dan resonan. Dalam pandangan Kuipers (2006) dalam Good Humor, Bad Taste: A Sociology of the Joke, humor memungkinkan terbentuknya solidaritas sosial sekaligus garis pemisah identitas. Maka, istilah seperti “Termul” bukan hanya lelucon, melainkan strategi komunikasi yang memproduksi kritik, identitas, dan solidaritas dalam satu kemasan linguistik.
Edukasi Politik melalui Bahasa
Meskipun lahir dari ruang satir, istilah seperti “Geng Solo” dan “Termul” tetap mengandung nilai edukatif yang signifikan. Bahasa dalam konteks ini berfungsi sebagai alat untuk memahami relasi kekuasaan, di mana publik diajak melihat bagaimana kata-kata mampu membentuk opini, meneguhkan identitas, bahkan menciptakan stigma. Leech (2014) dalam Principles of Pragmatics menekankan bahwa bahasa tidak hanya menyampaikan makna, tetapi juga memiliki fungsi sosial berupa kritik, sindiran, atau provokasi. Dengan demikian, kosakata politik populer ini berperan dalam proses pembelajaran politik masyarakat.
Lebih jauh, edukasi politik melalui bahasa tidak selalu hadir dalam bentuk yang formal. Perbincangan daring, meme, hingga humor politik sering kali menjadi sarana alternatif yang efektif untuk meningkatkan kesadaran publik. Fairclough (1993) dalam Discourse and Social Change menyatakan bahwa wacana adalah praktik sosial yang memengaruhi bagaimana masyarakat memahami kekuasaan. Artinya, istilah yang muncul dari percakapan publik dapat menjadi wahana kritis untuk melihat dinamika politik secara lebih tajam, meskipun dibungkus dalam bahasa ringan.
Selain itu, penggunaan istilah bernuansa satir seperti “Termul” memperlihatkan bagaimana kritik dapat disampaikan tanpa harus menggunakan bahasa yang kaku atau akademis. Dalam pandangan Habermas (1984) melalui The Theory of Communicative Action, komunikasi yang terbuka memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam diskursus publik. Istilah-istilah populer ini, meski sederhana, mampu membuka ruang partisipasi politik yang lebih luas karena mudah dipahami dan dikaitkan dengan pengalaman sehari-hari.
Akhirnya, fenomena bahasa politik ini menunjukkan bahwa edukasi politik tidak melulu bergantung pada ruang kelas atau ceramah formal, tetapi juga tumbuh dalam interaksi budaya digital. Van Dijk (1998) dalam Ideology: A Multidisciplinary Approach menegaskan bahwa bahasa adalah medium utama untuk menyebarkan ideologi dan membentuk kesadaran kolektif. Oleh karena itu, istilah “Geng Solo” dan “Termul” dapat dipandang sebagai contoh nyata bagaimana bahasa populer menjadi instrumen edukasi politik, meski berangkat dari humor dan satire.
Fenomena bahasa politik seperti “Geng Solo” dan “Termul” menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga sarana konstruksi sosial yang merekam relasi kekuasaan, identitas, dan kritik publik. Melalui metafora, humor, dan budaya pop, istilah-istilah ini membingkai dinamika politik dalam simbol yang sederhana, namun kaya makna. Publik pun belajar melihat bagaimana kata-kata dapat membentuk opini, menyampaikan kritik, sekaligus membuka ruang partisipasi politik yang lebih inklusif.
Bahasa politik yang lahir dari ruang digital dan percakapan informal memiliki nilai edukatif yang penting. Ia membantu masyarakat memahami kompleksitas kekuasaan melalui cara yang lebih dekat dengan keseharian, terutama bagi generasi muda. Istilah seperti “Geng Solo” dan “Termul” menjadi bukti bahwa humor, satire, dan kreativitas linguistik dapat berfungsi sebagai instrumen edukasi politik, kritik sosial, sekaligus refleksi budaya dalam demokrasi Indonesia kontemporer.
Dengan demikian, “Geng Solo” dan “Termul” bukan sekadar jargon politik, melainkan artefak linguistik yang mencerminkan kreativitas bahasa masyarakat, cara berpikir metaforis, serta dinamika komunikasi politik digital. Keduanya menunjukkan bagaimana humor menjadi instrumen kritik dan bagaimana bahasa berfungsi sebagai cermin realitas sosial. Sejalan dengan teori wacana kritis Fairclough (1995), istilah-istilah ini dapat dipahami sebagai bagian dari praktik bahasa yang membentuk kesadaran politik dan memperlihatkan relasi kuasa dalam masyarakat kontemporer Indonesia. Begitu!
Ada pendapat lain?
-Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia MI/SD di Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung.



