Oleh: Khairul Anwar
Beberapa tahun lalu, saya menjadi ketua panitia kegiatan Sekolah Jurnalistik di organisasi yang saya cintai. Saya meyakini, dari kegiatan ini kelak akan lahir para jurnalis handal dari kalangan NU. Kegiatan ini merupakan bentuk ikhtiar untuk merawat kaderisasi di dunia jurnalis, lebih luas lagi, di bidang tulis menulis. Kurang lebih 30-an orang menjadi peserta pada waktu itu.
Pasca kegiatan tersebut, sebagai follow up atau tindak lanjut, peserta kami arahkan untuk membuat tiga berita, sebagaimana ilmu yang sudah mereka pelajari, guna syarat mendapatkan sertifikat. Alhamdulillah, dari 30-an peserta, kalau ingatan tak khilaf, separuhnya berhasil melewatkan “ujian” tersebut dengan baik. Dalam artian, mereka mau dan mampu membuat tiga berita yang sudah dipersyaratkan. Peserta lain hanya membikin satu dan dua, bahkan ada yang pasif.
Saya dan tim waktu itu menekankan agar kegiatan Sekolah Jurnalistik tidak hanya ceremonial dan basi basi tanpa ada tindak lanjut yang berarti. Dari 30-an peserta, terjaring sekitar 15 yang kemudian aktif mengirimkan artikel berita, press release kegiatan organisasi, ke kami. Kami membuatkan website organisasi untuk menampung artikel-artikel mereka. Saya menjadi redaktur, salah satu tugasnya mengedit tulisan-tulisan tersebut agar bisa dibaca dan mudah dipahami, tentu saja sesuai dengan ketentuan 5W+1H.
- Iklan -
Tidak hanya berita, kami juga menerima artikel opini maupun sejarah, dari kader-kader NU yang lain. Sampai akhir periode, setidaknya ada sekitar 150-an artikel baik berita maupun opini, yang berhasil terbit di media organisasi yang kami kelola. Sayangnya, hal ini tak berlanjut di kepengurusan berikutnya. Bahkan, website yang sudah dibangun dengan susah payah, hilang, karena tidak diurus untuk perpanjangan. Sehingga ratusan artikel pun ikut lenyap. Tanpa jejak. Singkat kata, kaderisasi penulis di periode tersebut, tidak ada.
Dari kejadian tersebut, tentu saja tidak sejalan dengan kaidah NU “Al-muhafadhotu ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah”. Ini adalah sebuah ungkapan dalam bahasa Arab yang menjadi prinsip penting dalam tradisi NU. Frasa ini berarti “memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Dunia menulis, adalah hal baik, yang semestinya perlu dirawat dan dilanjutkan, sebagaimana ulama-ulama kita terdahulu juga gemar menulis dan istiqomah menebar manfaat.
Saya tidak terlalu tahu hal apa yang membuat kaderisasi penulis muda NU mati di periode tersebut. Namun, karena pernah mengalami, saya mengerti dan paham, memang tidak mudah untuk mengelola sebuah media, apalagi menjaring kader-kader untuk terlibat aktif menulis. Sangat tidak mudah. Harus mengeluarkan energi yang besar dalam merawat kader supaya terus aktif menulis.
Menyuruh kader menulis satu hingga dua tulisan mungkin tidak butuh energi yang besar, tapi merawat konsistensi itu lebih lama lagi, itulah yang sulit. Sebab, di era digital, menurut pandangan saya, anak muda terlebih Gen Z tidak menyukai menulis, lebih suka meluangkan waktu mereka untuk beraktivitas di bidang videografi, fotografi, dan hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan tulis menulis. Tentu ada banyak faktor, baik internal maupun eksternal, mengapa tak banyak anak muda suka menulis. Namun, tidak akan saya bahas disini.
Ikhtiar Merawat Kader untuk Menulis
Yang terpenting bagi kita, selaku aktivis organisasi, baik di IPNU, IPPNU, PMII, GP Ansor, dan organisasi lainnya, adalah ikhtiar untuk senantiasa merawat kaderisasi penulis NU ini tetap jalan. Tidak mandeg. Harus tumbuh dan berkembang. Memang, tidak semua kader bisa kita paksakan untuk menulis. Masing-masing punya bakat, minat, ciri khas, dan kemampuan yang tak bisa kita seragamkan. Namun, saya sangat yakin, ada sedikit kader yang gemar menulis, dan bahkan punya bakat di bidang tersebut.
Hal inilah yang perlu kita rawat. Salah satunya dengan mengadakan kegiatan pelatihan menulis atau semacamnya. Tidak hanya itu saja, pasca pelatihan juga harus diiringi dengan tindak lanjut yang TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif). Perlu ada pendampingan-pendampingan baik secara struktural maupun ikatan personal. Untuk mewujudkan itu, perlu ada minimal satu orang di sebuah organisasi yang gemar menulis dan punya komitmen tinggi di dunia literasi. Jika tidak ada, maka akan sangat sulit untuk membangun tradisi menulis di sebuah organisasi.
Harus ada yang ngoprak-ngoprak, serta yang mau meluangkan waktunya, untuk mengelola media, dan mengajak kader-kader lain ikut menulis. Maksud saya, ketika kita menyerukan para kader untuk nulis, maka kita sendiri terlebih dulu harus komitmen menulis. Harus menanamkan pada diri sendiri akan cinta pada dunia literasi.
Akan sangat percuma kita mengadakan pelatihan-pelatihan menulis kalau tidak ada tindak lanjutnya. Hanya buang-buang anggaran, waktu, dan tenaga, serta pikiran. Esensi dari kegiatan pelatihan menulis adalah terbentuknya kader-kader yang mau aktif dan berkembang, serta di masa depan ia bisa turut serta mengajari kader-kader juniornya.
Di tangan para kader muda lah, masa depan NU akan digenggam. Jika saat ini kita tidak bergerak, ogah menulis bahkan malas berpikir, hanya sibuk main hape dan rebahan tanpa ada hal positif yang dilakukan, mau dibawa kemana masa depan NU. Apa kita tidak malu sama para aktivis dan ulama NU yang telah mendahului kita. Mereka tidak hanya memikirkan diri sendiri, tapi juga kehidupannya senantiasa memberikan arti luas, salah satunya lewat tulisan.
Belajar dari Tokoh NU
NU memiliki banyak tokoh penulis yang berkontribusi pada berbagai bidang, termasuk keagamaan, sosial, dan politik. Sebut saja Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU, yang juga seorang penulis produktif. Karyanya mencakup kitab-kitab agama dan pemikiran keislaman yang menjadi dasar bagi ajaran NU. Lalu ada pula KH Abdul Wahid Hasyim, tokoh NU yang juga dikenal sebagai Menteri Agama RI. Bapaknya Gus Dur ini adalah seorang penulis dan pemikir yang pemikirannya mempengaruhi perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.
Generasi berikutnya, ada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur dikenal sebagai pemikir dan penulis yang karyanya mencakup berbagai isu sosial, politik, dan keagamaan. Gaya penulisannya yang khas membuatnya menjadi tokoh yang berpengaruh. Karyanya tersebar di berbagai media cetak skala nasional pada kurun waktu 70-an hingga 90-an. Tak kalah dengan Gus Dur, ada Mahbub Djunaidi sang pendiri PMII. Mahbub seorang penulis yang dikenal karena gayanya yang khas, satir, dan ungkapan hatinya yang tulus dalam menulis.
Meskipun mereka kebanyakan sudah wafat, namun karya mereka tetaplah abadi. Gus Dur, misalnya, warisan intelektualnya masih relevan dan menjadi rujukan para tokoh agama hingga kalangan akademisi. Usia Gus Dur di dunia tidak lebih dari 69 tahun, namun tulisan-tulisannya yang pernah diterbitkan di media, masih bisa kita nikmati sampai detik ini. Artinya, secara jasad usianya hanya di angka 69, namun secara pemikiran usianya melebihi dari itu.
Tak lama setelah generasi mereka berakhir, kita mengenal banyak tokoh NU yang juga pegiat literasi dan aktif menulis, baik di facebook, instagram, maupun di media online. Seperti Gus Ulil Abshar Abdalla, KH. Husein Muhammad, Savic Ali, Alissa Wahid, KH. Faqihudin Abdul Kodir, Kalis Mardiasih, Nadirsyah Hosen, Hamzah Sahal, dan yang lainnya. Masing-masing dari mereka punya ciri khas atas tulisannya, serta mengangkat topik-topik tertentu, semisal Kalis Mardiasih yang konsen di tema-tema gender, perempuan, dan anak.
Karya mereka dapat ditelusuri baik berupa buku, maupun digital. Di era yang serba online seperti sekarang, menulis di platform digital memang sangat penting untuk dilakukan, lebih-lebih oleh kita yang sudah kadung dianggap masyarakat sebagai kaum terdidik. Mari kita coba. Jangan takut dan jangan sampai kita kehilangan arah.
Menulis bukanlah bakat. Bagi saya, hal itu bisa dipelajari secara konsisten. Tidak ada kata terlambat untuk belajar dan berjuang, selagi kita ada kemauan yang kuat. Di lain sisi, organisasi memang perlu menyediakan follow up pasca kegiatan workshop menulis, tapi dari sisi individu juga harus ada kemauan meluangkan waktu dan pikiran untuk belajar menulis. Seperti belajar lewat kelas-kelas online, berkumpul dengan penulis berpengalaman, bertanya kepada senior, dan sebagainya.
Menulis merupakan tentang bagaimana kita mau belajar. Belajar mencari ide atau topik, belajar merangkai kata demi kata, belajar menyusun kalimat dan paragraf, belajar menuangkan gagasan, dan lain sebagainya. Semangat belajar itu yang kemudian membuat saya termotivasi untuk konsisten menulis, meski belum konsisten banget, dan juga meski banyak sekali rintangannya.
Pertanyaannya kini, kita yang mengaku sebagai aktivis, pelajar, pemuda, apakah kelak akan mengikuti jejak-jejak mereka sebagai seorang penulis? Yang mau menulis dari hati dan berkontribusi di dunia intelektual kaum muslim Indonesia. Mari kita renungkan bersama. Jika para ulama meninggalkan alam semesta ini dengan warisan berupa kitab kuning, atau karya tulis yang lain, kita yang ilmunya sangat dangkal ini, mau mewariskan apa?
-Ketua PAC ISNU Tirto, dan Dosen di Staikap Pekalongan



