Oleh Hamidulloh Ibda
Halah, ngko nek bosen ya mandek dewe to. Ungkapan orang Jawa sering kita dengarkan, bahkan kita sendiri mengucapkan. Teknologi batin orang Jawa ini menurut saya sangat kuat dalam merespon bosan atau kebosanan. Respon itu muncul karena faktor pengalaman, mereka tahu bahwa sesuatu kalau bosan pasti akan ditinggalkan, meski saat ini sedang demam-demamnya, suka-sukanya, hobi-hobinya.
Saya menyebut, manusia adalah makhluk mudah bosan. Ya, bukan tanpa asalan, apalagi sekadar asumsi. Manusia pada dasarnya memiliki sifat “mudah bosan”. Entah pada makanan, minuman, baju, parfum, alat elektronik, bahkan lagu. Senang pada lagu, disetal-setel seminggu ya bosen dewe. Lawuh mangan sate, dua hari ya wes bosen. Apa maneh untune wes mengalami erosi enamel. Hahaha
Bosan, rasa bosan, bosen, bored, tired, boring, weary, stodgy, blase, boredom, fatrah, futur, atau sebutan lain hakikatnya pengalaman universal yang seringkali dianggap sepele, namun memiliki akar psikologis yang mendalam. Kebosanan bukanlah sekadar “tidak ada yang dilakukan”, melainkan kondisi mental yang kompleks dengan berbagai teori. Oalah, jebul bosan itu memiliki disiplin ilmu sendiri yang harus dibahas, dan bagian dari kehidupan manusia yang kompleks.
- Iklan -
Bosan adalah perasaan tidak tertarik, jenuh, atau kehilangan minat terhadap suatu aktivitas atau situasi yang sedang dijalani. Bosan biasanya terjadi ketika seseorang merasa bahwa sesuatu yang dilakukan itu monoton, tidak menantang, atau tidak memenuhi kebutuhan emosional dan intelektualnya (Ferdian, 2022). Perasaan ini dapat membuat seseorang merasa gelisah, tidak nyaman, atau ingin mencari sesuatu yang lebih menarik atau menyenangkan (Yanuar & Wijayanti, 2025).
Lebih mendalam, Goodstein (2005) dalam bukunya Experience Without Qualities: Boredom and Modernity menyebut bahwa kebosanan menjadi ciri abadi dari kondisi manusia. Kebosanan terkait dengan cara mengalami waktu dan memikirkan eksistensi manusia yang dapat dikenali sebagai modern. Kebosanan juga menjadi erat dengan pengalaman waktu dan masalah makna.
Bagi saya, bosan itu manusiawi. Dedera oleh setiap insan. Tak pandang bulu, warna kulit, rambut dan agama. Namun jika dibiarkan, akan berbahaya dan berpotensi menjadi ennui. Menurut Kuhn (2017), ennui merupakan perasaan bosan yang mendalam dan lesu, seringkali disertai dengan rasa lelah dan kurangnya minat pada banyak hal. Ini jika dibarkan ndrawasi, Bro!
Dalam pandangan psikologi, kebosanan sering kali dikaitkan dengan ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dan kapasitas kognitif seseorang, atau kurangnya stimulasi yang bermakna. Hal ini bisa dipandang sebagai sinyal internal yang memberitahu kita bahwa sesuatu perlu diubah.
Teori-Teori Kebosanan
Belajar tentang teori bosan-kebosanan bagi saya penting. Mengapa? Ya, karena kita adalah manusia yang pasti didera kebosanan hampir tiap waktu. Kerja, bosan. Makan, bosan. Minum, bosan. Main HP, bosan. Bahkan, saat ibadah juga mengalami kebosanan. Lalu, apa saja teori utama menjelaskan fenomena kebosanan.
Pertama, existential boredom, yaitu teori kebosanan sebagai kondisi keterpisahan eksistensial. Filsuf eksistensialis seperti Søren Kierkegaard dan Martin Heidegger banyak membahas tentang ennui (kebosanan mendalam) sebagai bagian intrinsik dari kondisi manusia. Dalam psikologi, konsep ini sering diintegrasikan dari perspektif filosofis.
Søren Kierkegaard (1813-1855) dan Martin Heidegger (1889-1976) telah membahas konsep kebosanan sebagai bagian dari kondisi manusia. Dari perspektif teori eksistensial, manusia mudah bosan karena kurangnya makna atau tujuan dalam hidup. Hal ini sering dikaitkan dengan “perasaan hampa” atau “ketiadaan.”
Dalam buku Either/Or: A Fragment of Life (1992), terutama bagian “The Rotation of Crops,” Søren Kierkegaard membahas bagaimana manusia berusaha menghindari kebosanan melalui berbagai cara, namun kebosanan eksistensial tetap menghantui. Sedangkan Martin Heidegger dalam buku “ The Fundamental Concepts of Metaphysics: World, Finitude, Solitude” (1995), membahas tentang berbagai bentuk kebosanan, termasuk “kebosanan mendalam” yang mencengkeram.
Kedua tokoh ini menyebut kebosanan tidak hanya muncul dari kurangnya stimulasi, tetapi juga dari perasaan ketiadaan makna, tujuan, atau keterasingan dari keberadaan itu sendiri. Ini adalah kebosanan yang lebih dalam, sering dikaitkan dengan krisis eksistensial. Individu yang mengalami kebosanan eksistensial mungkin merasa hampa meskipun memiliki banyak hal, karena mereka kehilangan rasa makna atau tujuan hidup.
Søren Kierkegaard menganggap kebosanan sebagai akar dari segala kejahatan manusia. Medeni wong. Bagi dia, kebosanan bukanlah sekadar tidak ada yang dilakukan, tetapi sebuah kondisi spiritual yang mendalam, di mana individu kehilangan makna dan tujuan hidup. Orang mencoba mengisi kekosongan ini dengan variasi yang tak berujung, tetapi ini hanyalah solusi sementara yang pada akhirnya akan gagal dan mengarah pada keputusasaan.
Kedua, teori gairah optimal (optimal arousal theory). Dari perspektif teori gairah optimal, Donald Hebb (1904-1985), Daniel Berlyne (1924-1976), dan Hans Eysenck (1916-1997) menyebut manusia memiliki kebutuhan optimal akan stimulasi atau gairah. Kebosanan terjadi ketika tingkat stimulasi di lingkungan terlalu rendah bahkan tidak ada, sehingga manusia merasa kurang terstimulasi dan mencari cara untuk meningkatkan gairahnya. Bisa jadi, Anda bosan dengan pasanganmu karena dirimu atau dirinya kurang bergairah. Haha. Solusinya adalah menaikkan gairah, bisa melalui berfilsyahwat, eh berfilsafat ding!
Sebenarnya, teori ini menyatakan bahwa setiap individu memiliki tingkat gairah (arousal) atau stimulasi optimal yang ingin mereka pertahankan. Ketika tingkat stimulasi terlalu rendah (kurang tantangan, monoton) atau terlalu tinggi (terlalu banyak informasi, stres berlebihan), kita akan merasa tidak nyaman, dan salah satu bentuk ketidaknyamanan dari stimulasi rendah adalah kebosanan.
Teori ini, dapat dijadikan rujukan untuk diterapkan pada kebosanan. Artinya, orang menjadi bosan ketika mereka tidak menerima cukup stimulasi yang menarik atau menantang. Mereka mencari cara untuk meningkatkan gairah mereka, baik dengan mencari aktivitas baru atau beralih fokus.
Ketiga, teori kebosanan sebagai kegagalan pengaturan atensi (attentional control theory of boredom). Salah satu tokoh utama yang banyak meneliti dan mengembangkan teori ini adalah John D. Eastwood dan rekan-rekannya. Dalam artikel “The Unengaged Mind: Defining, Measuring, and Understanding the Nature of Boredom” (2012) karya John D. Eastwood, dkk., menjelaskan bahwa kebosanan timbul ketika seseorang gagal secara efektif mengarahkan atau mempertahankan perhatiannya pada aktivitas yang sedang dilakukan, atau ketika mereka tidak dapat menemukan makna atau keterlibatan dalam tugas tersebut. Ini bukan hanya tentang kurangnya stimulasi eksternal, tetapi tentang ketidakmampuan internal untuk terlibat.
Dari perspektif teori ini, orang yang mudah bosan mungkin memiliki kesulitan dalam mengatur perhatian mereka, seringkali “melayang” pikirannya, atau sulit menemukan tujuan internal dalam suatu kegiatan.
Keempat, teori disposisi kebosanan (boredom proneness). Richard F. Farmer dan Norman D. Sundberg adalah pionir dalam mengembangkan skala pengukuran kecenderungan kebosanan (boredom proneness scale). Dalam artikel “Boredom Proneness: The Development and Correlates of A New Scale” (2010)” mengemukakan bahwa ada perbedaan individual dalam kecenderungan seseorang untuk mengalami kebosanan. Beberapa orang secara inheren lebih “mudah bosan” daripada yang lain karena karakteristik kepribadian tertentu.
Toeri ini menjelaskan mengapa dalam situasi yang sama, ada orang yang merasa bosan dan ada yang tidak. Faktor-faktor seperti kurangnya self-awareness, kesulitan dalam pengaturan diri, atau kebutuhan tinggi akan stimulasi eksternal dapat berkontribusi pada kecenderungan mudah bosan. Orang yang mudah bosan dapat dipahami melalui lensa berbagai teori ini.
Seringkali, bukan hanya satu faktor yang bekerja, tetapi kombinasi dari kebutuhan stimulasi yang tidak terpenuhi, kesulitan dalam mengatur perhatian, dan bahkan pencarian makna eksistensial yang belum terjawab. Memahami akar psikologis ini penting untuk mengatasi kebosanan secara efektif, baik pada tingkat individu maupun sosial.
(bersambung)
-Hamidulloh Ibda, penulis adalah penikmat filsafat sore, dan penulis yang kadang juga bosan menulis namun terus berusaha menulis.



