Oleh Hamidulloh Ibda
Saya melihat status WhatsApp Prof Syamsul Ma’arif tentang 399 Calon Dokter yang ingin bunuh diri. Dalam hati saya “edan. Iki wong berpendidikan tinggi, kuliah mahal-mahal malah depresi pengen mati”.
Setelah itu, saya mencoba googling dan hasil benar. Dari berita di Detik.com 16 April 2024, disebutkan bahwa sebanyak 22,4 persen peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) mengalami tekanan mental berat hingga menunjukkan gejala depresi. Dari jumlah tersebut, sekitar 3,3 persen atau 399 orang menyatakan keinginan untuk menyakiti diri atau mengakhiri hidup.
Informasi ini disampaikan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia berdasarkan hasil skrining kesehatan jiwa yang dilakukan di 28 rumah sakit vertikal. Kegiatan skrining ini bertujuan untuk mendeteksi serta menangani gangguan kesehatan mental di kalangan peserta pendidikan dokter spesialis. Sebanyak 12.121 peserta dari seluruh rumah sakit mengikuti skrining ini, menggunakan instrumen kuesioner Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9). Dari hasil evaluasi tersebut, ditemukan bahwa lebih dari seperlima peserta menunjukkan tanda-tanda depresi.
- Iklan -
Artikel Deonisia Arlinta di Kompas pada 15 April 2024 juga menyebut dari skrining terhadap 12.121 mahasiswa PPDS di 28 rumah sakit milik Kemenkes pada Maret 2024, sebanyak 22,4 persen mahasiswa mengalami gejala depresi. Sebanyak 3,3 persen atau 399 orang di antaranya mengalami gejala depresi berat. Mereka mengaku lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri.
Ubi Tres Medici, Duo Athei
Sebenarnya, ini fenomena lama jika ditelisik. Sebab, ada adagium Ubi Tres Medici, Duo Athei atau “di mana ada tiga dokter, di sana ada dua orang ateis”. Fatwa ini terkenal karena pernah disebut oleh dokter Inggris Thomas Browne (1642) dalam buku Religio Medici (1964). Pepatah ini merupakan sebuah kritikan atau pandangan sinis yang populer di Eropa pada Abad Pertengahan dan awal Era Modern terhadap profesi dokter.
Saya memaknai, beberapa aspek dari pameo tersebut. Pertama, kritik terhadap materialisme dan rasionalisme medis. Pada masa itu, ilmu kedokteran mulai berkembang dengan pendekatan yang lebih rasional dan berdasarkan pada pemahaman fisik tubuh manusia. Hal ini dianggap oleh sebagian orang, terutama dari kalangan agamawan, dapat mendorong para dokter untuk lebih percaya pada penjelasan ilmiah dan materialistik daripada penjelasan agama atau spiritual mengenai penyakit dan kesehatan. Mereka dianggap terlalu fokus pada aspek fisik dan mengabaikan aspek spiritual atau keilahian dalam kehidupan.
Kedua, kecurigaan terhadap pendidikan dan pengetahuan medis. Pendidikan kedokteran pada masa itu seringkali melibatkan studi tentang filsafat alam dan pemikiran-pemikiran klasik yang mungkin dianggap sekuler atau bahkan bertentangan dengan doktrin agama. Pengetahuan mendalam tentang tubuh manusia dan proses alamiah dapat membuat sebagian orang curiga bahwa para dokter menjadi terlalu percaya pada akal dan ilmu pengetahuan mereka sendiri, sehingga mengurangi keyakinan mereka terhadap Tuhan.
Ketiga, stereotip sosial. Pepatah ini juga bisa jadi hanyalah sebuah stereotip sosial yang berkembang di masyarakat. Mungkin ada beberapa dokter yang ateis, dan hal ini kemudian digeneralisasikan kepada seluruh profesi.
Keempat, pembelaan diri dari kalangan dokter. Beberapa tokoh medis pada masa itu, seperti Sir Thomas Browne dalam karyanya Religio Medici, merasa perlu untuk membantah stereotip ini dan menunjukkan bahwa seseorang dapat menjadi seorang dokter yang berpengetahuan sekaligus memiliki keyakinan agama yang kuat.
Kelima, pengalaman empiris versus keyakinan agama. Profesi dokter berhadapan langsung dengan realitas penyakit, penderitaan, dan kematian. Pengalaman empiris ini terkadang dapat menimbulkan pertanyaan atau keraguan terhadap penjelasan agama mengenai asal-usul dan makna dari fenomena-fenomena tersebut.
Padahal, saat ini sebut saja di Kota Semarang telah lahir banyak Program Studi Kedokteran. Ini tanda-tanda kebaikan tapi juga tantangan. Oleh karena itu, singkatnya “Ubi tres medici, duo athei” mencerminkan sebuah pandangan skeptis terhadap potensi sekularisasi atau ateisme di kalangan dokter yang dianggap muncul akibat dari pendidikan, praktik, dan fokus ilmu kedokteran pada aspek fisik dan rasional. Pepatah ini menjadi semacam peringatan atau kritikan terhadap kemungkinan hilangnya keimanan seiring dengan bertambahnya pengetahuan medis.
Dari dasar ini, ya wajar, mereka (399 calon dokter) sampai mau bunuh diri. Gampangane ya, Ketika intelektualitas dibangun tanpa spiritualitas, ketika kemampuan medis dikejar tanpa fondasi maknawi, dan ketika kehidupan berpusat pada ambisi duniawi tanpa sandaran Ilahi, maka depresi bukan hanya mungkin, tapi menjadi keniscayaan.
Ini bukan soal mereka pintar atau tidak. Mereka jelas cerdas, terbukti bisa masuk dan menjalani PPDS. Tapi sayangnya, dalam banyak kasus, kecerdasan itu tak disertai kecerdasan spiritual dan emosional. Padahal, Nabi Muhammad SAW sudah memberi peringatan: “Ketahuilah, bahwa dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Iman dan Ihsan: Obat Depresi
Fenomena ini harus direspons dengan pendekatan yang komprehensif: tidak hanya medis, tapi juga spiritual. Pertama, institusi pendidikan kedokteran perlu menyadari bahwa mahasiswa bukan sekadar mesin akademik. Mereka adalah manusia utuh yang butuh ruang batiniah untuk menyeimbangkan tekanan hidup. Oleh karena itu, kampus kedokteran perlu membuka ruang konseling spiritual, pembinaan iman, dan komunitas keagamaan yang sehat.
Kedua, para calon dokter perlu diajak kembali kepada nilai-nilai ketuhanan. Bahwa hidup bukan hanya tentang karier, gelar, dan penghasilan, tetapi tentang kebermaknaan. Dalam Islam, konsep tawakal, sabar, dan ridha adalah pilar kesehatan jiwa. Al-Qur’an sudah sangat jelas: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Ketiga, dunia kedokteran harus didorong agar tidak terjebak pada sekularisasi ekstrem. Sudah terlalu lama ilmu kedokteran dipisahkan dari agama, seolah dokter cukup bergantung pada ilmu dan teknologi. Padahal, jika yang didekati hanya makhluk (ilmu, manusia, sistem), bukan Khaliq (Allah), maka kelelahan itu akan berujung pada keputusasaan.
Agama Bukan Pelengkap, Tapi Fondasi
Sudah saatnya pendidikan tinggi, termasuk pendidikan dokter spesialis, tidak hanya menekankan keunggulan akademik tapi juga penguatan spiritualitas. Depresi dan keinginan bunuh diri bukan hanya akibat stres akademik atau beban kerja, tapi juga karena kekosongan makna hidup. Ketika Tuhan hilang dari hati, maka hidup terasa hampa dan berat.
Fenomena “Ubi Tres Medici, Duo Athei” seharusnya menjadi peringatan serius. Bahwa keilmuan tanpa iman hanya melahirkan generasi rentan, kering, dan lelah. Dan yang lebih mengkhawatirkan, ketika dokter yang seharusnya menyembuhkan justru sedang sakit di jiwanya sendiri.
Karena itu, mari kita doakan, dukung, dan bangun ekosistem pendidikan yang tidak hanya menghasilkan dokter cerdas, tetapi juga dokter yang bertakwa. Yang menyembuhkan bukan hanya dengan resep, tapi juga dengan doa. Yang memahami bahwa hidup adalah amanah, bukan sekadar proyek pribadi.
Lalu, apakah Anda masih berminat menjadi dokter?
-Dr. Hamidulloh Ibda, dosen dan Wakil Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu) Temanggung.