Oleh : Yuditeha
Ini kisah nyata. Karena itu aku berusaha hati-hati. Semata agar tidak ada yang tersakiti. Aku tidak menyebut spesifik siapa, yang hal itu artinya bisa merujuk kepada siapa saja, bahkan termasuk diriku.
Kisah ini bermula ketika Ana menyebut Paliyan, daerah Wonosari. Dulu aku akrab dengan desa itu. Lebih tepatnya, selama dua bulan aku pernah tinggal di sana, ketika menjalani program kuliah kerja nyata. Dan hal itu sudah lama sekali, dua puluh lima tahun yang lalu.
Latas siapa Ana? Dia karyawan baru di perusahaan di mana aku bekerja. Ana ditempatkan bagian humas, menjadi anak buahku. Bahkan oleh pimpinan, akulah yang akhirnya diminta melakukan pendampingan atas kerjanya untuk tiga bulan masa percobaan.
Di sela-sela aktivitas, sesekali kami membicarakan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan materi kerja, terlebih pada saat kami istirahat. Ana menyebut nama desa itu ketika kutanya perihal asalnya.
Seketika ingatanku mengarah ke masa itu. Dari sepuluh mahasiswa yang tergabung dalam kelompok KKN kami, hanya akulah yang belum bisa melunasi biaya untuk keperluan hidupku di desa itu. Pada akhirnya Seno, salah satu teman di kelompok kami yang mencukupinya lebih dulu.
- Iklan -
Sejak Ana menyebut Paliyan aku menjadi sering bertanya terkait desa itu. Sebenarnya aku hanya ingin tahu kabar Tanti, anak dari tuan rumah yang kami tinggali. Kepada perempuan itulah hatiku dulu terpikat.
Meski begitu, aku tidak mengatakan hal itu kepada Ana, bahkan sekadar nama perempuan itu pun tidak aku beritahu. “Rumah yang kami pakai untuk posko KKN dulu persis berada di samping gardu ronda yang ada patung pejuang memegang bambu runcing,” jelasku pada Ana.
“Loh, rumah simbah saya juga dekat situ, Pak,” sahut Ana.
“Jika boleh tahu, siapa nama ibumu?”
“Tanti, Pak.”
Mendengar jawaban Ana hatiku bergetar. Aku mengutuki diri, kisah itu sudah lama berlalu, tapi mengapa masih bisa membuat dadaku bergemuruh. Lamunanku kembali menuju ke masa itu. Status Tanti adalah janda tanpa anak. Menurut keterangan Tanti, suaminya yang bernama Sanjian telah meninggal ketika usia pernikahan mereka belum genap dua bulan.
Kami saling mencintai. Bahkan Tanti-lah yang lebih dulu mengutarakan perasaannya. Setelah itu giliran aku yang menyatakan cinta, bahkan kepada Tanti, aku bilang tidak peduli dengan statusnya. Kenyataan Tanti ketika bersama Sanjian belum sempat dikaruniai anak semakin membuatku tidak pernah mempermasalahkan status jandanya. Namun, setelah itu justru akulah yang merasa minder karena aku orang tidak punya.
“Semua begitu. Kan masih kuliah,” sahut Tanti waktu itu berusaha membesarkan hatiku.
Ketika aku ingin menjelaskan lagi keadaanku, Tanti langsung memintaku diam, dengan menempelkan jari telunjuknya di bibirku. Dia mengatakan untuk urusan materi bisa dicari nanti bersama-sama. Dari keyakinan Tanti itulah aku menjadi percaya diri untuk menjalani hubungan itu, bahkan aku sudah siap jika hubungan kami diketahui oleh teman-temanku, pun oleh kedua orangtua Tanti.
Namun sekitar dua pekan sebelum KKN berakhir ada kejadian yang membuat kami harus berpisah. Aku masih ingat, saat itu menjelang magrib, Tanti dalam keadaan menangis tiba-tiba mendekatiku yang sedang duduk di ruang tamu. Tanti mengaku dirinya hamil. Tentu saja aku terkejut tapi aku bergeming. Heranku, mengapa bisa begitu sementara aku tidak pernah berhubungan badan dengannya.
Belum sempat aku memberi tanggapan atas pengakuannya, tanpa kusadari Seno telah berada di dekat kami. Seno lantas mengatakan bahwa dialah yang melakukannya. Spontan aku murka. Seno kuhajar dan dia tidak melakukan perlawanan. Jika Tanti tidak meleraiku bisa jadi aku telah membuat Seno mampus di tanganku. Sebelum aku menanyakan hal itu kepada Tanti, dia telah lebih dulu bicara bahwa apa yang Seno katakan benar adanya.
Bahkan Tanti memberi keterangan bahwa hal itu bukan semata kesalahan Seno. Tanti bilang, dirinya pun menghendakinya. Setelah itu, masih dengan tangisnya, Tanti berulang kali meminta maaf kepadaku. Mendengar hal itu ragaku lemas. Aku tidak kuasa menahan rasa muak pada mereka, lantas gegas aku berlalu.
“Bapak memikirkan apa?” tanya Ana mengagetkan lamunanku.
“Oya, bapakmu?” tanyaku pada Ana berusaha mengalihkan perhatian.
“Bapak sudah lama tiada. Kata ibu ketika saya baru berumur setahun.”
“Seno meninggal?”
“Maaf, Pak, nama bapak saya Jian. Lengkapnya Sanjian.”
Aku heran dengan penjelasan Ana. Aku merasa ada yang janggal, meski begitu bukan lantas membuatku ingin segera tahu lebih banyak tentang bapaknya.
“Ibu masih ada?”
Ana tidak langsung menjawab. Sejenak dia memandangku sebelum kemudian gantian bertanya. “Memangnya ada apa, Pak?”
Aku gelagapan, “Tidak apa-apa.”
“Ibu masih ada. Masih sehat, tapi kami tidak tinggal di Paliyan lagi. Kami sudah tidak pernah ke sana sejak kedua simbah saya meninggal, bahkan rumah itu telah dijual. Sekarang saya tinggal di Wonosari hanya dengan ibu,” terang Ana.
Pertanyaan-pertanyaan yang kusampaikan pada Ana tentu saja membuatku mengenal dia lebih dekat. Apalagi ketika dia memberi jawaban bukan sekadar menjawab apa yang kutanyakan. Aku merasa dia seperti tidak benar-benar menyadari ketika dia menceritakan dirinya panjang lebar dengan apa adanya. Bahkan Ana tidak sungkan memberitahu derita yang selama ini dia alami atas perlakuan kasar ibunya, terlebih pada saat dia masih kecil. “Saya tidak menyangka hal itu berakibat buruk pada hidup saya.” sambung Ana.
“Apa itu?”
“Saya trauma dengan kata-kata kasar, terlebih yang diucapkan oleh perempuan.”
Karena cerita Ana itu aku menjadi tidak leluasa lagi mengulik kisah Tanti. Keheranan atas berubahnya tabiat Tanti yang tidak sesuai dengan Tanti yang kukenal pun tidak bisa aku tanyakan. Aku hanya bisa memikirkannya. Dan saat itu aku berpikir, berubahnya sifat Tanti itu pasti ada penyebabnya. Meski begitu aku tidak tahu karena apa tapi aku ingin mencari tahu. Senyatanya kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak perpisahan itu, bahkan pada saat acara pamitan, aku tidak ikut serta.
Hanya keherananku yang besar, mengapa Ana tidak mengenal Seno? Mengapa justru Jian yang diaku Ana sebagai bapaknya? Karena pemikiran itu tanpa benar-benar kupikirkan aku menyampaikan sesuatu kepada Ana. “Bolehkah aku bertemu ibumu?”
Aku tidak tahu apa yang Ana pikirkan ketika mendengar pertanyaanku, tapi dilihat dari wajahnya sebelum menjawab, aku merasa Ana seperti tidak berkenan atas permintaanku.
“Silakan. Tapi untuk apa, Pak?” tanya balik Ana.
Tentu saja tidak mungkin aku menjawab bahwa hal itu sesungguhnya tidak jauh-jauh dari urusan perasaan. “Aku sendiri sebenarnya tidak tahu mengapa ingin bertemu,” jawabku sekenanya sekadar untuk menetralisir keadaan. Bahkan agar Ana tidak berpikir macam-macam terhadap rencanaku, setelah itu aku berusaha menjalin keakraban lebih erat dengannya.
Demikian pun Ana, bahkan tampaknya dia bisa nyaman jika berbincang denganku. Aku memang lebih banyak diam, mendengar apa pun yang Ana katakan. Hampir seluruh cerita Ana adalah kisah yang menyedihkan. Rupanya hidup Ana memang penuh derita, dan anehnya hal itu lebih banyak dikarenakan tabiat ibunya. Hal itulah yang membuatku tidak bisa mengerti, bahkan dalam diriku ada rasa tidak terima dengan pernyataan Ana. Tanti yang kukenal adalah perempuan yang baik hati dengan tutur kata yang sopan dan halus. Jika pun dulu dia lebih memilih Seno dibanding aku, tak lebih karena Seno bermain licik dengan menghamilinya lebih dulu. Aku yakin Seno merayunya.
“Jika boleh tahu, kenapa Bapak belum menikah?” Saking akrabnya kami, pertanyaan itu suatu kali terlontar begitu saja dari mulut Ana.
“Aku tidak tahu,” jawabku sambil mengangkat bahu.
“Trauma, mungkin?”
Sekian detik, jantungku seperti berhenti berdetak.
“Oya, setelah bertemu Bapak, aku tidak sedih lagi,”
“Kenapa bisa begitu?”
“Aku suka sama Bapak. Cinta sama Bapak.”
Spontan aku kangen dengan perkataan Tanti. Aku masih ingat benar bagaimana Tanti begitu manis menguatkan perasaanku yang minder, yang merasa kecil karena aku hanya orang miskin.
“Silakan, Bapak memikirkannya dulu tidak apa-apa. Tapi bagi saya, dengan mencintai Bapak, hidup saya yang semula tanpa harapan, bisa berubah menjadi bergairah.”
‘Boleh aku menjawab setelah kita bertemu dengan ibumu?”
“Tidak masalah. Besok sore, habis kerja kita bisa bersama-sama menemuinya.”
Merasa sudah mendapat persetujuan Ana, tak ingin aku menunda. Esok hari, pulang kerja kami bersama-sama menemui Tanti. Selama perjalanan detak jantungku tidak beraturan. Badanku terasa panas dingin. Aku membayangkan, bagaimana kondisi Tanti sekarang.
Ketika pintu rumah itu terbuka, aku melihat kecantikan Tanti seperti tidak berubah, hanya penambahan kerut-kerut di sekitar matanya. Begitu Tanti melihatku, dia tampak terkejut. Semuanya seperti terjadi begitu cepat, tahu-tahu dia sudah memelukku sangat erat. Aku sempat melihat Ana, pandangannya ke arah kami tak berkedip. “Sekali lagi aku minta maaf. Seno lelaki brengsek. Dia tidak bertanggung jawab. Seno tidak pernah kembali menemuiku setelah perpisahan KKN itu,” kata Tanti.
“Dasar lelaki, semuanya tai kucing!” teriak Ana sembari berlalu masuk kamar.
Tanti terkejut mendengar serapah Ana, lalu refleks dia melepaskan pelukan kami dan buru-buru ingin menemui Ana. Cepat aku memegang tangan Tanti, aku bilang kepadanya bahwa ada sesuatu yang perlu kusampaikan. Setelah kami duduk di ruang tamu, aku mulai menjelaskan semuanya kepada Tanti. “Jadi, aku ke sini sesungguhnya ingin meyakinkan apakah keterangan Ana itu benar, dan sekarang aku sudah tahu semuanya. Kini aku ingin jujur kepadamu. Aku mencintai Ana. Aku ingin dia menjadi istriku.”
Mendengar pernyataanku, kulihat wajah Tanti yang semula terlihat cerah, lambat laun seperti meredup. Namun Tanti cepat menyadari keadaan, lantas meraih tanganku. “Selama ini dia menderita karena dendamku kepada Seno. Kini sudah waktunya dia bahagia.”***
Yuditeha, Penulis yang tinggal di Karanganyar.