Oleh : Haniah Nurlaili
Genap tiga bulan bu Astuti menempati rumah baru hadiah dari anak-anaknya yang telah sukses. Anaknya empat, semua berwirausaha. Anak pertama mendirikan biro perjalanan, anak kedua memiliki toko kue dengan beberapa cabang, anak ketiga seorang agen properti, dan si bungsu menjadi content creator makanan sehat dengan puluhan ribu pengikut.
Di rumah baru yang besar dengan desain kontemporer itu-yang bukan keinginan bu Astuti-, ia tinggal seorang diri. Anak-anaknya semua sudah berkeluarga. Sebenarnya mereka mengusulkan membayar seorang ART untuk menemani bu Astuti sekaligus megurus rumah besar itu, tapi beliau tak mau. Terakhir keluarga itu mempunyai ART, saat si bungsu duduk di bangku SD, bu Astuti kehilangan beberapa perhiasannya yang sejatinya disimpan untuk menguliahkan anak pertama. Ia tak ingin menuduh si ART, tapi dia berhenti bekerja tepat sehari sebelum bu Astuti menyadari telah kehilangan perhiasannya. Begitulah, di saat tuanya bu Astuti tak ingin menambah drama.
Sebagai gantinya, mereka patungan membelikan peralatan canggih untuk mengurus rumah. Mulai dari gorden yang bisa membuka-tutup otomatis menggunakan sensor cahaya, robot sapu, mesin cuci, penanak nasi, dan berbagai peralatan lain yang bisa berfungsi dengan sekali pencet. Awalnya bu Astuti ragu karena usianya yang sudah berkepala enam dengan mata yang semakin rabun apakah bisa mengoperasikan semua peralatan itu. Ia takut malah merusakkan barang-barang itu.
“Tenang, Bu. Semua barang-barang itu masih masa garansi. Nomor telepon petugas servis juga sudah ada semua di HP ibu.” Ucap si sulung saat berkunjung bertepatan dengan barang-barang itu datang bersamaan.
Saat siang hari, rumah itu begitu sepi. Namun saat malam tiba, siapa sangka semua peralatan canggih itu berisik saling berebut bicara.
“Kemarin aku habis ditendang wanita gila itu.” Si mesin cuci abu-abu membuka percakapan sambil bersungut-sungut. Lubang besar di badannya seakan ingin menarik pemilik rumah dan menggilingnya dengan sekuat tenaga. Di ruang cuci berukuran 3×3 meter itu setrika uap hanya membalas dengan tawa pelan. Ia paham, selang mesin cuci yang agak panjang itu jika terlilit sedikit saja akan membuat proses mencuci tidak sempurna. Selanjutnya akan muncul bunyi ‘tiiit… tiiitt’ sebanyak tujuh kali dan tampilan layar menunjukkan kode U 18. Di saat itulah, bu Astuti akan mendatangi mesin cuci dan menendangnya beberapa kali.
“Bukannya menelepon tukang servis atau melihat bagian mana yang rusak, malah membuat sekujur tubuhku sakit!”
“Maklum lah, dia sudah berumur. Kau ingat, kan, orang zaman dulu suka memukul-mukul televisi yang rusak lalu seketika bisa kembali normal. Mungkin itu yang diharapkan terjadi padamu.” Hibur si setrika. Ia mencoba bersikap menyejukkan karena terlalu lelah dituntut untuk selalu memancarkan hawa panas.
“Kau tahu, kemarin ada kejadian lebih parah. Robot sapu terpeleset dari lantai dua!” Ucap setrika menghibur mesin cuci.
“Awww.. pasti sakit sekali.” Mesin cuci tampak meringis. Itulah maksud si setrika, bahwa semua peralatan di rumah ini pasti pernah merasa kesakitan sepertinya.
“Lalu, bagaimana keadannya?”
“Entahlah, kemarin aku hanya melihat sebentar saat di bawa ke lantai bawah. Terakhir dia hanya teronggok begitu saja di sudut kamar.”
@@@
Sebulan sebelum bulan Ramadhan tiba dan tujuh bulan setelah menempati rumah itu, kesehatan bu Astuti mendadak buruk. Ia kerap batuk-batuk. Batuknya bukan batuk biasa, melainkan batuk kering panjang yang terdengar menyayat jiwa.
Walaupun semua peralatan elektronik di rumah itu pernah menjadi korban tinju, pukul, tarik, tendang dan banting olehnya, tapi tak ada satupun dari mereka yang benar-benar menaruh dendam. Mereka merasa kasihan pada wanita tua itu yang setiap hari hanya ditemani sepi. Anak-anak mereka teramat sibuk mengurus pekerjaan masing-masing. Bahkan terakhir kali si sulung berkunjung adalah saat bersamaan peralatan-peralatan canggih itu datang.
“Hai ponsel, hubungilah anak-anaknya. Katanya kau pintar?” perintah si robot sapu yang masih teronggok di sudut kamar. Pada akhirnya bu Astuti memang tak pernah menelepon petugas servis. Saat robot sapu itu rusak, ia lebih memilih menyapu menggunakan sapu rayung yang dibeli dari pasar.
“Kalau tak ada yang menekanku atau mengucap perintah tepat di depan layarku, mana bisa?” jawabnya yang sudah dua hari ini hanya berbaring di atas nakas tanpa disentuh oleh empunya.
Di dapur, peralatan elektronik lainnya sama was-wasnya. Si penanak nasi khawatir karena dua hari ini tak bekerja. Itu tandanya pemilik rumah belum makan apa-apa. Teko elektrikpun sama. Biasanya ia akan memanaskan air karena bu Astuti gemar menyeduh teh melati setiap pagi.
“Andai aku bisa menghidangkan secangkir teh sendiri. Setidaknya ada sesuatu yang masuk ke perutnya.” Ratap si teko elektrik.
Semua merasa rumah besar itu begitu sepi. Tak ada kegiatan makhluk hidup sama sekali. Bahkan saat ini mereka merasa tak apa ditinju, dipukul, ditarik, ditendang dan dibanting oleh bu Astuti. Setidaknya mereka berguna. Tak seperti saat ini, mereka sedih saat tak bisa melakukan apa-apa.
“Bagaimana kalau kita bekerja sama? Aku takut terjadi sesuatu pada wanita itu.” celetuk kulkas dua pintu tiba-tiba. Semua saling pandang.
“Bagaimana caranya?” ucap blender yang sedari tadi hanya menyimak.
“Kita semua memang canggih, tapi kita hanyalah benda mati. Harus ada makhluk hidup yang menekan tombol-tombol atau membunyikan suara dan membuat kita bekerja.” Penanak nasi terlihat tak percaya diri.
“Hai ponsel, kau yang paling pintar diantara kami, bukan? Apakah kau punya ide cemerlang?” teriak kulkas dua pintu dari dapur.
Untuk beberapa saat, ponsel masih terdiam. Ia memikirkan cara terbaik agar setidaknya layarnya bisa menyala.
“Aku butuh sesuatu yang bisa menyentuh layarku.”
“Apa yang ada di dekatmu saat ini?” tanya blender penasaran.
“Hanya robot sapu. Itupun sedang rusak. Ia tak bisa bergerak.”
Robot sapu semakin terlihat lesu karena tak bisa membantu apa-apa. Andai saja sensornya tak error saat itu, tentu ia tak akan mengalami kesakitan fatal akibat terpeleset dari lantai dua. Yang terpikir saat ini ia hanya ingin menyalahkan pabrik tempat dimana ia dibuat.
“Apakah aku harus mengeluarkan bunyi ‘tiit tiit’ lagi? Karena hanya dengan bunyi itu si pemilik rumah akan mendatangiku. Tapi sayang, tak ada cucian sama sekali hari ini.” Dari lantai dua, suara mesin cuci tak kalah lesu.
“Sepertinya aku punya ide.” Saat suasana tegang dan semua sibuk berpikir, si gorden otomatis tetiba menyahut.
“Karena hanya aku satu-satunya yang sudah tersetel otomatis di rumah ini. Setengah jam lagi, pukul setengah enam sore adalah jadwalku menutup. Kebetulan ada cicak besar yang berhari-hari menempel padaku. Nanti akan sedikit kusibakkan tubuhku dan kulempar ke arah ponsel agar ia bisa menyala.”
Mereka semua cukup lega dan merasa ada harapan saat mendengar usulan dari gorden otomatis. Walaupun mereka sama-sama ragu apakah bisa melakukan hal itu. Jika bu Astuti segera bangun atau setidaknya menekan ponsel untuk menghubungi anaknya, tentu masalah tak akan serumit itu. Tapi kali ini mereka memang harus bekerja sama, apalagi mendengar batuk panjangnya yang tak kunjung reda.
@@@
Matahari hampir tenggelam. Suara mengaji dari masjid ujung komplek mulai terdengar. Sebentar lagi setengah enam lantas azan magrib berkumandang. Untung cicak itu masih menempel pada gorden. Untung cicak itu berhasil terlempar ke layar ponsel. Walau ujung ekornya menekan-nekan tombol sembarang, untung si ponsel masih pintar. Ia segera mengarahkan dirinya ke angka satu, tombol pintas ke nomor anak bungsu. Segera ia melakukan panggilan.
Namun malang beribu malang, panggilan itu tak kunjung terjawab. Apakah si bungsu sesibuk itu? Apakah ia terlalu repot menyiapkan resep untuk konten-kontennya? Padahal rumahnya paling dekat dari sini, namun ia sudah satu minggu lebih tak menunjukkan batang hidungnya. Si ponsel menghubungi karena hanya dia harapan satu-satunya untuk menolong ibunya yang sudah lemas dan seperti tak sadarkan diri.
“Bagaimana ini? Bateraiku hampir habis!” Ponsel berteriak panik. Semua ikut panik. Tak ada yang bisa mereka lakukan lagi. Mereka hanyalah benda mati. Apa yang akan terjadi selanjutnya pada bu Astuti?
Mereka lantas bertanya-tanya, apakah orang tua selalu melakukan hal serupa : tak ingin merepotkan anaknya? Padahal anak-anak mereka di sana terlalu sibuk bahkan hanya untuk sekadar menelepon dan bertanya bagaimana kabar orang tuanya.
Semua peralatan itu menahan napas. Setidaknya, mereka sudah saling bekerja sama.
—- selesai —-
Haniah Nurlaili. Bertempat tinggal di Sragen, Jawa Tengah. Hobi menulis dan penyuka dekorasi rumah. Karya-karyanya pernah dimuat di Solopos, Joglosemar, Kedaulatan Rakyat, Detik.com, ideide.id, Fiksi Islami, Mbludus.com, Harian Rakyat Sultra, Cerpen Sastra, Janang.id, Kurungbuka.com, LP Ma’arif NU Jateng, Magrib.id, Pesawaran Inside, dan Erakini.