Oleh: Ahmad Nahrowi*
Ketika Saya mendengar pernyataan Menteri Pendidikan, Prof Mu’ti yang ingin menerapkan konsep deep learning, alias pembelajaran yang mendalam, saya langsung teringat pembelajaran di Pesantren yang amat sesuai dengan tujuan Prof Mu’ti. Yaitu pembelajaran yang mindful, meaningful learning, dan joyful learning (pembelajaran mendalam, bermakna dan menyenangkan). Prof Mu’ti mengatakan konsep ini berdasar yang dia lihat pada 1995 saat menjalani perkuliahan di Australia.
Terobosan Menteri yang juga Sekretaris Umum PP Muhamadiyah ini memang baik dan menarik, namun apabila mau menengok lebih jauh, tidak perlu ke Australia, Pondok Pesantren yang notabene asli lembaga pendidikan Indonesia sudah menerapkan konsep deep learning sedari dulu kala. Pesantren yang masih menerapkan pola tradisional, sistem belajarnya itu benar-benar sangat mendalam, lebih lengkapnya dapat dilihat sebagai berikut:
Guru di Pesantren Tidak Sekadar Mengajar Alias Meaning Full
- Iklan -
Apabila di sekolah formal hubugan guru dan murid selesai ketika di dalam kelas, hal itu tidak berlaku di Pesantren, seringkali ketika ada santri yang memiliki masalah dengan belajarnya, maka guru akan lanjut terus memonitor, katakalanlah ada yang tidak beres dengan hafalannya, biasanya guru di pesantren akan memberi extra time kepada murid, di Lirboyo istilahnya di karantina (santri yang bermasalah dipisahkan tersendiri) sampai si santri benar-benar beres dengan hafalannya, meskipun itu sampai Subuh.
Selain mendikte hal-hal yang berkaitan pelajaran, sistem kehidupan pesantren yang komunal acapkali guru bekerja diluar tupoksinya, dan mengurusi hal-hal yang tidak menjadi kewajibannya misal si santri sakit, kehabisan uang, diterpa masalah keluarga hingga menjadi menteri perhubungan antara santri dan orangtuanya, disinilah yang menjadi jurang pemisah cukup lebar antara guru di Pesantren dan sekolah, kita sering menyebutnya guru di pesantren itu murobbi, ‘mendidik’, mentarbiyah dan memberi makna diseluruh lini kehidupan santri,
Musyawarah sebagai mindful learning ala Pesantren
Selain itu, guru di pesantren acapkali mengajak santri musyawarah atau berdiskusi diluar jam pelajaran, untuk membahas kemusykilan-kemusykilan yang tidak terjawab di dalam kelas, dan durasinya berjam-jam, apalagi kalau sudah musimnya Bahstsul Masail, wuhhh yang pernah merasakan tentu tau bagaiamana sensasi ‘jerunya’ menyelami kitab-kitab seharian full, sampai lupa dunia seisinya kecuali kitab.
Sudah menjadi hal yang biasa beda pemahaman satu kalimat saja dalam kitab, sampai bisa bertengkar pikiran bermalam-malam antar musyawirin sampai benar-benar sepakat (dan jarang ketemu kata sepakat dengan cepat) dan di Pesantren, musyawaroh atau diskusi merupakan hal yang wajib, ada yang per kelas, per angakatan, per asrama hingga setiap daerah asal, biasanya punya forum diskusi sendiri.
Joyfull atau system belajar Asyik ala Pesantren
Bisa dilihat di search engine degan keyword ‘lalaran’ akan ketemu betapa asyiknya lalaran, lalaran ini semacam menyanyikan hafalan dengan lagu-lagu yang sedang populer, namun disamping itu yang menjadi lebih asyik adalah belajar di Pesantren tidak terusik dengan gadget, apalagi dengan distraksi oleh lawan jenis, itu tidak terjadi, belajarnya benar-benar kompak, satu pusing ikut pusing semua, satu santri ketawa, resonansinya akan cepat merembet.
Coba saja masuk ke pesantren-pesantren besar, akan ditemukan banyak santri yang melingkar, tangannya rapat-rapat megang kitab, kemudian ditengahnya ada secangkir kopi yang disruput bertiga bahkan berlima dan beberapa jajanan ala kadar, diselingi humor-humor ala pesantren yang terkenal gurih, bisa terbayang kan betapa asyiknya, anak sekolahan mana tau merasakan hal-hal yang demikian ini, heuheu.
Efek dari pembelajara pesantren yang benar-benar mendalam ini, hubungan emosional yang sudah kuat sejak di pesantren, ketika sudah pada pulang dan mukim ditempatnya masing-masing pun massih terjalin komunikasi keilmuannya, ukhuwah ma’hadiyahnya tetap terjalin dengan kuat. Seperti yang diterapkaan di HIMASAL (Himpunan Alumnis Santri Lirboyo) Daerah Brebes, setiap bulan atau kalau ada keadaan yang memungkinkan diselenggarakan Lajnah Bahrsul Masa’il (LBM) guna bermusyawarah membahasa suatu permasalahan hukum fiqih yang waqi’iyah (actual sedang trend dimasyarakat), maudlu’iyah (tematik) maupun qonuniyah (berkaitan dengan hukum positif). Jadi jaminan keilmuannya masih terjaga meskipun sudah tidak seatap di Pondok.
Bisa dikatakan aspek Pendidikan di Pesantren sudah lengkap meliputi kecerdasan intelektual tergambar, melalui madrasah dan kitab yang sehari-hari diajarkan, keseharian untuk meperkokoh spiritual dengan aturan ketat menajalankan prananta ibadah, dan mapan secara emosional tercermin melalui hubungan santri yang komunal dalam kesehariannya. Aspek-aspek ini yang menjadi keunggulan system belajar di Pesantren yang komunal dengan tinggal satu asrama.
Nah, konsep yang diharapkan Prof Mu’ti ini sudah dipakai terlebih dahulu oleh banyak pesantren Tradisional, tentu bukan berarti musti ditiru 100%, enggak, sesuai yang pernah Prof Mu’ti sampaikan saat rapat bersama komisi X DPR beberapa waktu lalu, bahwa
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
“Mempertahankan konsep lama yang baik, sembari berinovasi dengan konsep baru yang lebih baik”. Sistem yang ada tinggal di blending dengan pendidikan formal, fasilitas-fasilitas yang unggul di sekolah formal bisa dimasukkan ke Pesantren, konsep-konsep ajaran di Pesantren seperti diatas bisa dimasukkkan kedalam pendidikan formal, saling melengkapi.
Supaya Prof Mu’ti merasakan vibes pendidikan di Pesantren dengan Kafah, dan memahami betul didalamnya, tanpa mengurangi rasa hormat, boleh deh Guru Besar UIN Jakarta ini mondok tiga hari saja, tapi di pesantren yang NU jangan Muhamadiyah, karena kebanyakan Muhamadiyah sudah Modern, heheu. sekian.
* Ahmad Nahrowi, Alumni Ponpes Al-Mahrusiyah yang sedang studi Pascasarjana di Universitas Nasional Jakarta