HAMPIR PAGI DI JOGJA *
lempuyangan, di gelap subuh
tapi kereta sudah tiba
- Iklan -
dingin malam memeluk rel
hampir pagi di jogja
barangkali engkau terlalu lama menunggu
di pintu keluar arah utara
dan suara sinyal kereta
langkah orang-orang
aku menciut memasuki malioboro
ingin mengulum senyum manismu
rindu pada kancing bajumu
apa yang bisa kauingat bertahun tentang jogja?
warna lukisan, puisi yang abadi atau suara musik yang penuh jejak instrumen
tentu, setelah ini kita akan makan gudeg atau pecel
dan bermalam di angkringan
lalu rebah di salah satu kamar hotel
di sepanjang malioboro
menemui pagi getih lainnya
dari jogja yang membara
di matamu
2023
* ingatan pada lirik lagu “Sepasang Mata Bola”
DI HEHA SKYVIEW
kau bilang, di sini langit jogja yang sesungguhnya
biru nyalang dari ketinggian
dengan gunung kidul memecah pandangan
merapi nyala dalam malam
di puncaknya yang merah
kita seperti berlomba mengenang sejarah
ihwal lava
atau batu terbelah
di sini, hanya ada kelebat angin
menekuk liukan pijar mata yang menggambar
jogja dengan penuh warna
dan tataplah langit
luas jernih
di kebiruan
dalam kelengangan mata
yang diam
jogja penuh cahaya
2023
KARMA
engkau mungkin hanya duduk. sekadar diam. membaca peristiwa, cuaca, atau tanda-tanda yang tak pernah terjamah. lalu berdoa. dan sejumlah harapan menggeliat, menelusup ke setiap kutub silsilah. janji yang terpenggal. ingatan remang, atau kebenaran yang menjelma pesakitan. hanya ada igau, mungkin sejumlah gerutu, melengkapkan gurau. tak ada catatan terlebih baliho lebar terbentang di jalan. ungkapan protes atau gelombang kerumun orang unjuk rasa. tapi ada cercah cahaya yang mengintip, acap membuatmu tersenyum. seperti menghitung kesedihan atau kekalahanmu. dan kecurangan ini makin nyata, seperti tusukan jarum pada jangat kulit. engkau menahan sakit tanpa jerit. hanya dalam doa. hingga kau akan bahagia segalanya kelak akan berbalik. dan kau tersenyum bahagia, sebuah sudut waktu ketika engkau menyaksikan peristiwa baru. bukan yang lalu. segala penggal tak lagi mengepal. semua akan kembali semula, seperti doa di binar cahaya mata.
yang menabur akan hambur
yang tertuai akan lepai
2024
DE JA VU
1/
menyimpan freud di kelamin. terlempar ke luar, di sebuah tempat yang dipenuhi angin. cuaca tak terbaca. kota runtuh, terbakar bagai romawi di masalalu. tapi, seorang yang gemar pesta melangkah maju. dengan megaphone di bibirnya, “selamatkan kaum muda dari marijuana!”
aku menelusup di kerumun orang-orang yang membawa potret presiden di masalalu. hari mendadak kering. jidat mereka dipenuhi kenangan yang sehitam arang. dipenuhi kepulan asap yang pengap.
2/
suara jam welker, berdering. melebihi detak pada jantungmu. hanya ada sisa gedung terbakar, kerumun orang dengan pakaian kotor, juga tatapan nyala api di kornea. seseorang dengan tubuh tambun berseru lagi, “pilihlah saya! sebab mustahil duka bakal pergi!”
3/
di antara bau mesiu, di manakah kamu? sejarah selalu lelah mencatat barisan dusta, dengan angka atau kata. kini, engkau akan keluar rumah barangkali hanya sebentar. sebelum kota ini terbakar, dan jam malam dinyatakan. kita kehilangan rindu dan langkah untuk pulang.
Poris Plawad, 2019-2024
DISLEKSIA PUISI
betapa banyak kata yang tak kunjung bergetar, melebar ke pinggiran kota. menghimpit di celah kerumunan. lalu ia tergesa mencari di kelokan gang, di gawai-gawai pada lembah situs jejaring sosial. di antara gagap yang pengap. pada gelap yang lama terperangkap. insulin diksi yang kehilangan sunyi, dan kata-kata redup—kehilangan cahaya. samar dan pudar.
meski ia percaya ada seseorang di kejauhan
membaca setiap serpihan kata
merakitnya seperti nuh membuat perahu
bekerja tanpa gemuruh
pada bagian-bagian yang hilang tak mampu disatukannya dalam puisi. selalu ada rongga yang lebar, hingga ia merasa harus masuk meski dengan langkah gemetar. mungkin secuil kesedihan, yang berulangkali dituliskan dalam sejumlah memoar, tentang nama seseorang yang tak sepenuhnya mampu diterawang.
dari kejauhan engkau mungkin akan tertawa, menganggap dirinya sedikit gila atau autis. lalu kaca-kaca pecah, jatuh dalam tangis. seperti daun coklat enggan terjebak dalam benang gerimis. pada bekas karat dari pagar rumah. terimbun lkelah.
tanpa lelah ia punguti lagi setiap sisi. ingin merangkainya kembali. merapikan lekuk ingatan. sebelum sibuk kota masuk ke dalam kepalanya.
hingga berpuluh tahun, ia gagal mengucap atau sekadar mencatat. amnesia sebagai doa.
2024
Alexander Robert Nainggolan (Alex R. Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm. Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di media cetak dan online. Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016), Dua Pekan Kesunyian (kumpulan puisi, Penerbit JBS, 2023), Fragmen-fragmen bagi Sayyidina Muhammad (kumpulan puisi, Penerbit Diva Press, 2024)