Cerpen Latif Nur Janah
Bapak menghubungiku, dua hari yang lalu. Dari suaranya yang lambat, aku tahu ada sesuatu. Petang memang telah jatuh, namun matahari seperti tak mau berlabuh. Aku melihat wajah Bapak di antara semburat sinarnya yang terpantul di kisi-kisi kaca jendela kereta. Wajah itu membawa serta pilu.
Lebih dari lima bulan, aku tak pulang. Pekerjaan tak bisa kutinggal. Aku harus memutar otak untuk bertukar shift dengan seorang teman sebelum bisa kudapat libur dua hari ini. Meski sesungguhnya, aku belum benar-benar ingin pulang. Tetapi, aku tak tega membiarkan Bapak tersandera kesepian meski di rumahnya sendiri.
Rumah telah menjelma museum. Kenangan terbungkus rapi oleh sepi dan sunyi di setiap sekat-sekatnya. Kehangatan yang dulu mengisi ruang tengah, kini hilang, berganti kekosongan. Barangkali itulah mengapa, Bapak menyuruhku pulang di waktu-waktu tertentu. Waktu baginya berubah menjadi musuh utama. Waktu seakan-akan bisa membunuhnya kapan saja.
- Iklan -
Kereta berhenti sesaat lalu. Sengaja, kududuki kursi di peron. Tentu, kursi di bagian khusus. Kusulut rokok. Bersama asap yang menyembul dari mulutku, terbit pula ucapan Bapak beberapa tahun yang lalu, sesaat setelah aku lulus dari pesantren.
“Merokok itu bukan tidak baik, tapi bukankah lebih baik tidak?”
Di ruang tengah, asap rokokku terbang dibawa angin. Bapak duduk di sampingku saat itu. Aku mulai memainkan asap dari mulutku. Kadang hilang begitu cepat, tetapi kadang berlama-lama melayang di hadapanku. Wajah Bapak berpaling. Murni sebagai penegasan bahwa ia tak suka dengan kebiasaanku, bukan karena asap itu benar-benar mengenai wajahnya. Setidaknya, aku masih punya etika tak menyemburkan asap itu langsung ke hadapannya.
“Ini pemberian Kang Zul. Kenang-kenangan kelulusan, Pak. Tak enak kalau ditolak.”
Kang Zul adalah pembimbingku di pesantren, dulu. Ia perokok yang khusyuk. Kepadanya, aku dititipkan. Jika Kang Zul saja memberi rokok untuk mengabadikan kenangan, kukira Bapak tak akan tega menghapus hal itu. Kenyataannya, hingga sekarang, ia tak pernah lagi memalingkan wajah, bahkan ketika rokokku menyala di hadapannya.
Setelah pintu keluar lengang, aku beranjak pulang. Lewat pesan singkat beberapa saat yang lalu, Bapak mengatakan ingin menjemput. Namun, aku tak mungkin membiarkannya terjebak di jalanan yang menjelma lautan kendaraan di akhir pekan seperti ini. Apalagi, motor warna telur bebek miliknya, kukira tak cukup kuat untuk beradu kecepatan menyela di ramainya jalanan.
Jangan kalian bayangkan jika Bapak sudah keriput dan renta. Umurnya memang sudah berbilang, namun sama sekali belum tumbuh uban di kepalanya. Aku bahkan malu setengah mati ketika ia menemukan sehelai rambut putih di kepalaku saat kami duduk-duduk di beranda bersama Ibu. Hampir setiap sore, kami memang berkumpul di beranda belakang. Ibu menyirami tanaman hiasnya. Aku dan Bapak duduk-duduk sembari menikmati teh atau kopi. Sungguh, saat itulah aku benar-benar merasa apa yang dikatakannya padaku tentang kebiasaanku merokok memang benar adanya.
Kini, aku telah berdiri di depan museum, rumahku sendiri. Museum yang semua ruangnya abadi oleh kenangan dan rasa sepi. Di setiap sudutnya terpampang prasasti yang mengekalkan rindu-rindu. Rindu itu tergambar nyata dari seulas senyum seseorang yang selalu berdiri di samping Bapak di setiap potret yang terpajang: Ibu.
Satu kata itu selalu mampu menancap-nancap di dinding hatiku. Kuat menggoreskan rasa pahit yang lekat dan pekat. Senyum Ibu adalah tempat berpulang, tempat mendaratkan pelukan. Senyum Ibu adalah muara dari segala perasaanku dan Bapak.
“Sampai, Nak?”suara Bapak selalu terdengar lambat. Ia berdiri di ambang pintu. Lekas, kucium tangannya.
Sekecil apa pun perubahan di rumah ini, aku tahu. Sedikit apa pun kekakuan yang Bapak coba sembunyikan, aku melihat. Ia tak lekas menunjukkan sesuatu di meja makan, agar aku lekas membunuh lapar yang melilit perut seperti biasa. Satu-satunya hal yang kurasa sangat tak masuk akal adalah, Bapak menarik sebatang rokok dari bungkusnya. Lalu menyulutnya dan membuat selayang asap di udara.
“Ibumu sakit,” ada penekanan dari ucapan Bapak yang tak bisa kuartikan.
Waktu terasa membeku. Aku sangat tak pandai menemukan kata-kata yang pas jika itu harus berbenturan dengan satu kata yang lain, yakni Ibu. Begitu pun Bapak, yang tak pernah bisa bersembunyi dari semua kenangan yang tiba-tiba hidup pada setiap ruang dan waktu di rumah ini.
Di ruang tengah, Ibu sering menghabiskan sorenya, tentu selain menyiram tanaman di beranda belakang. Ia pandai membuat sulaman. Aku dan Bapak sering menyusulnya. Sekadar menemaninya menyulam atau mendengarkannya bercerita banyak hal.
Aku tahu, ada sesuatu tergenang di mata Bapak. Kali ini, lebih dari cukup bagiku mengartikannya. Kerinduan menyelubungi hatinya. Namun, satu hal yang sungguh kubenci di saat seperti ini adalah aku tak bisa berkata apa pun. Bahkan sekadar untuk berkata jika aku menyimpan rindu yang lebih mengentak-entak, bertahun-tahun lamanya. Rinduku telah membatu.
Ibu. Kuulang tiga kali dalam hati. Persis seperti yang selalu Bapak ingatkan. Begitu pun Kang Zul selalu menasihatiku di pesantren, dulu. Meski kenyataannya, kata itu amat sulit dirapal, bahkan dalam hati sekalipun.
“Saya tak seberuntung kamu.” ucap Kang Zul. Itulah pertama kali aku melihatnya menyulut kretek saat kami tersesat di perkemahan.
“Hanya lima menit, saya punya ibu. Beliau meninggal sesaat setelah saya lahir,” lanjut Kang Zul. Ia cukup paham dengan kebisuanku. Kadang kala, diam lebih mampu mewakili perasaan daripada untaian kata.
“Namun, terkadang saya malah merasa beruntung,” pandangan Kang Zul lepas ke arah pohon-pohon pinus yang rindang-teduh. Asap-asap rokoknya dibawa angin yang digiring dahan-dahan pohon.
“Begini maksudnya, kau tentu ingat bagaimana Baginda Rasulullah menghormati ibunya, bukan?” tanya Kang Zul. Aku mengangguk.
“Bagaimama Rasul meninggikan derajat ibu?”
Sekali lagi, aku hanya bisa mengangguk. Kang Zul mengaduk rasa benci dan rindu di hatiku dalam bejana yang sama, dengan kata-katanya.
“Tiga tingkat di atas bapak.” kataku serupa menggumam.
“Ya. Setidaknya ibu saya tak pernah melihat saya merokok di pesantren. Bukankah kecewa betul jika ia melihat saya? Ha ha ha….”
“Beruntung sekali kamu, Is, beruntung…. Hadiahkan doa yang banyak buat ibu bapakmu.”
Aku tercekat. Seolah ada yang berhenti tiba-tiba di kerongkongan. Sepuluh tahun aku tak pernah bertemu lagi dengan Ibu. Bapak tentu lebih merasakan kehilangannya sebab ia di rumah seorang diri. Aku tak cukup setuju, bahwa ibu menempati tiga tingkat di atas bapak, jika saja bukan Rasulullah yang bersabda. Andai itu yang mengatakan Kang Zul, aku tentu akan gampang membantahnya. Namun, sabda Rasulullah, adalah sebaik-baik tuturan. Yang tindakannya adalah sebaik-baik perilaku.
Meninggikan derajat Ibu. Itulah satu-satunya hal yang seharusnya begitu mudah kulakukan. Satu dari sekian ajaran Rasul yang nyatanya, sampai sekarang, tak mampu kutiru. Akan selalu muncul wajah Bapak saat aku berusaha mengangkat Ibu tinggi-tinggi. Akan selalu hadir wajah Bapak ketika aku berusaha untuk merapal doa untuknya. Ya Rasulullah, bagaimana cinta ini tumbuh padamu sedangkan aku tak pernah benar-benar mencintai ibuku sendiri.
“Bapak ingin kau temani mengunjunginya,”
Aku sungguh tak bisa mencerna ucapan Bapak. Kepergian Ibu sepuluh tahun yang lalu, sempurna membuat hati dan pikiranku terluka. Bagaimana mungkin Ibu tega meninggalkan kami di saat Bapak tengah terpuruk. Memang, Ibu berjanji akan pulang, membawa serta kabahagiaan. Tapi, jangankan kebahagiaan, perjumpaan saja ia tak pernah bisa penuhi.
Selama di luar negeri, dari Bapak, kutahu Ibu bekerja. Bapak tak kuasa melarang karena saat itu memang usahanya sedang bergelombang. Di saat seperti itulah semua orang beranggapan bahwa wujud kebahagiaan adalah uang semata. Dan Ibu mengejarnya tanpa pernah kembali. Tanpa pernah ingat aku dan Bapak lagi.
“Bagaimana jika kita tak diterimanya?”
Dua detik, Bapak menodongku dengan tatapannya. Aku tak pernah melihat mendung sedemikian tebal di matanya. Bahkan hingga mendung itu jatuh menitik air mata.
“Bapak bisa pergi sendiri kalau begitu.”
Bapak berpaling. Matanya tegas memandang ke luar, menyibak pekat malam. Namun, dengan jelas kulihat ada cairan yang menitik dari sudutnya.
Sepanjang perjalananku ke Bandung, aku tak mampu membayangkan perjumpaan macam apa yang akan terjadi oleh seorang anak dan ibu kandungnya setelah sepuluh tahun tak bertemu. Jika saja bukan karena tak tega membiarkan Bapak pergi jauh seorang diri, aku tak akan mungkin terjebak dalam perasaan benci dan bahagia di saat yang sama.
Perjalanan selalu menjebakku dalam suasana ganjil. Aku bahkan pernah menangis tersedu ketika teringat pelepasan santri beberapa tahun yang lalu. Hanya aku, dalam satu kelas yang datang tanpa ibu. Rindu dan benci pada Ibu datang bergandengan di saat-saat seperti itu dengan takaran yang sama persis. Neraca benci akan sedikit lebih berat jika kulihat Bapak melamun di beranda saat aku pulang.
Lima menit sebelum kereta berhenti di stasiun, sebuah pesan masuk di ponsel Bapak. Ada nomor bernamakan Mang Burhan berpendar di layar. Mang Burhan adalah adik Ibu. Ia jugalah yang mengabari Bapak jika Ibu sakit di Bandung. Bapak mengatakan padaku, jika Ibu sudah pulang dari luar negeri sejak tiga bulan yang lalu. Aku berusaha tak mengacuhkan, namun hatiku terlalu lemah untuk bersembunyi dari rasa bahagia. Lamat-lamat keinginan bertemu Ibu tak terbendung rasanya.
“Doakan, doakan… doakan ibumu, Nak,” Bapak menggumam. Suaranya ditelan mendung pekat yang bergantung di rongga matanya.
“Innalillaaah….” Membaca kabar jika Ibu telah tiada setengah jam yang lalu, membuat mulutku tak mampu lagi meneruskan kata-kata. Lewat pesan itu, Mang Burhan menyampaikan maaf dari Ibu.
Aku menggigil dalam diam.
Ibu.
Ibu.
Ibu.
Kusebut nama itu tiga kali. Sepenuh hati, dengan sedalam-dalamnya rindu.[]
*Latif Nur Janah, lahir 1990. Menulis fiksi dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Cerpennya berjudul Sidomukti Setengah Jadi terpilih sebagai juara pertama lomba menulis yang diadakan oleh Bea Cukai Banyuwangi (2019).