Oleh : Heri Haliling
Aku adalah secuil cahaya yang mengambang di antara dua dunia. Bersaput kesucian dari ilahi aku ialah ruh yang bahkan malaikatpun tak mengerti tentang arti kejadian. Lalu sebuah bisikan lembut membawaku mendekat kepada Tuhanku. Aku dan barisan lain dengan tak mengerti apa itu nestapa dan duka segera merapat.
“Siapa di antara kalian yang bersedia menempuh perjalanan singkat ke bumi?”
Aku memajukan diri tanpa keraguan.
“Kau?”
Aku mengangguk “Iya Tuhan. Izinkan hamba.”
“Sudah kau pikirkan konsekuensinya?”
“Hamba ingin mengenal cinta dan menjadi bagian dari kisahnya.”
“Tapi dunia bukan hanya soal cinta?”
“Semua perasaan yang asing dan hanya hamba ketahui dari cerita kawan terdahulu membuat hamba penasaran, Tuhan.”
“Dunia tak memandang penasaranmu. Hanya keberanian yang berlaku di sana.”
“Hamba berani, Tuhan” jawabku mantap.
Maka perjanjian itu ku buat dengan gempita semesta yang luar biasa. Aku tak tahu nama siapa yang kupilih. Semua sesuai perintah ilahi. Lalu ku rasakan tempat ini mulai berputar hebat. Menyusut pada jeda tertentu. Melipat kecil dan menarikku ke dalam. Sebuah cahaya lain ikut di sampingku. Kami lalui aurora tak beraturan yang lamat-lamat kian pekat. Kemudian atmosfer berubah menjadi lebih hangat. Aku meyakini, inilah rumahku.
Aku merasa air beriak pelan di sekelilingku. Tak lama telingaku untuk pertama kali berkedut menangkap suara. Ku fokuskan dan mulai mengenali ritme suara itu. Oh, sungguh halus. Ku pastikan suara itu adalah detak jantung ibu.
Kini aku terasa menempel. Aku longgarkan gerak. Ternyata cukup sesak. Sadarlah sekarang aku membungkus diriku dalam darah dan keyakinan kasih yang belum terucap.
Hari berlalu dan ku rasa aku berkembang. Meski kesempurnaan dan keutuhan tubuhku belum terbentuk, tapi nada dibalik bilik ini sungguh merupakan cinta. Suara lembutnya saat bernyanyi hampir sekian waktu mengidungiku. Tuhan, hamba tak sabar melihat wajah malaikat ciptaan-Mu ini.
Aku tahu pasti cinta pertama. Lalu suara lain muncul. Suara serak bass sedang bercanda dengan ibu. Bernyanyi bersama. Lucu, keduanya memadu dalam tawa. Dan sungguh keajaiban, sekejab gelombang bahagia mulai mengalir ke tubuhku. Aku merasakan relaksasi yang mendamaikan.
“Ayah, bagaimanapun kakunya engkau, perjuanganmu adalah amal dari sepanjang urat syarafku yang akan dihitung Tuhan.”
Fase selanjutnya tangan mungilku mulai tumbuh. Aku mencoba mengenggam, sesekali meremat-remat. Bu, tangan ini yang nanti akan balas kebaktianmu. Kakiku yang terbentuk kini juga aku latih menendang. Kadang-kadang saat ibu tertawa, aku melonjak kegirangan. Ada respon dari suaranya. Aku semakin usil dengan mendorong dinding hangat ini.
Waktu terus melaju. Aku mulai sering memutar tubuhku. Serasa bermain memang. Aku sangat merindukan kasih mereka. Aku ingin tahu bagaimana rasanya digendong. Aku ingin disambut dengan ciuman hangat. Aku mau tumbuh bersama tawa mereka. Aku bahkan bermimpi tentang itu dalam tidurku di rahim ini.
Namun pada satu ketika ku rasakan ada getir kegelisahan yang menyusup. Entah perasaan apa ini. Jantungku laju berdegup tak nyaman. Semua indera dalam diriku merespon dengan sesak dan mengganggu. Ku dengar ibu sering menangis pelan. Suara ayah sekarang terdengar lebih berat dan pendek. Lalu tempo itu kian cepat dengan raungan keras dari tangis yang ku duga kuat dari ibu.
Ada sesuatu yang salah. Gelisahku makin menebal. Seyogyanya ciptaan yang dibekali cinta, aku mencoba menghibur mereka. Aku dorong dan ku tendang dengan gerakan kecilku.
“Jangan sedih, aku di sini… Aku akan membawa bahagia untuk kalian..” teriakku.
*
Usai dari kejadian itu ketegangan demi ketegangan muncul. Sekarang, ku dengar mulai banyak suara asing. Sejurus kemudian sebuah suara mesin berdengung. Mesin itu kian dekat dan seolah menyebar bau aneh hingga memenuhi tempatku. Aku merasa tubuhku menggigil tanpa alasan. Udara di sini mulai pengap. Ku buka mulut saking tak tahannya. Semua sesak dan sangat menyiksa. Kemudian, rasa itu datang. Sebuah sentuhan dingin benda asing dan menakutkan merayap mendekatiku.
Aku menjerit ketakutan. Tapi siapa yang bisa mendengar jeritan bayi yang belum lahir? Mesin asing ini terus merangsek dan memburu.
“Ibu tolong!!” panggilku dengan terdesak penuh kengerian.
Tuhan, sesuatu mencengkeram kaki hamba, menjepit, dan menarik paksa. Aku berontak dan menyisi. Namun mesin dengan sedikit gerigi ini benar-benar menargetkanku.
“Ayahh!!” kataku menangis kesakitan. Kaki mungilku terasa remuk perlahan. Sekarang tanpa ampun mesin itu memutar untuk koyakan. Aku kian memekik! Tuhan, tangan dan kaki hamba yang baru belajar untuk menari tercabik dari tubuh! Aku merasakan perih yang tak bisa kuterjemahkan. Sakit akibat mesin ini tak hanya menghancurkan daging tapi juga jiwaku.
“Ibu..Ayah..Tolong…, aku ingin melihat kalian” tukasku terengah-engah manakala mesin itu telah mengunci kepalaku. Aku terus menangis. Aku sadar ini bukan karena mereka membenciku. Mungkin ayah dan ibu merasa takut. Dunianya terlalu kejam dan berat untuk sebuah jiwa kecil sepertiku. Ini pasti untuk kebaikanku. Aku maafkan mereka. Dalam sisa-sisa kesadaran, aku berbicara lirih pada ibu walau ia tak akan pernah mendengar suaraku.
“Maafkan aku, Ibu. Melalui udara dan aliran darah yang kau berikan untukku, sungguh aku berterima kasih karena sempat hidup dalam rahimmu. Sampaikan salamku juga pada ayah yang tak sempat kupanggil namanya melalui bibir kecil ini.”
Mesin itu bekerja. Aku pejamkan jiwaku. Semua berputar dengan luka. Aku mengernyitkan mataku menahan. Sekejab aku luruh lalu kembali menjadi cahaya dalam pelukan-Nya.
*
“Kau telah penuhi janjimu yang sempat ku hilangkan dalam ingatanmu. Apa yang kau pelajari?”
Aku terdiam tak mampu menjawab. Semua perasaan ini campur aduk.
“Manusia itu memiliki prilaku berubah. Apa kau dendam?”
Aku segera mendongak menghadap-Nya.
“Tidak Tuhan!”
“Mereka tak peduli padamu. Mereka hancurkan titipanku! Prilaku demikian tak ayal tentu ku bangunkan rumah api dari bara dan besi neraka yang paling dasar!!”
“Jangan. Tuhan” aku bersujud memohon ampun.
“Hamba harap rasa kasihan dan syafaat kekasih-Mu untuk kebaikan mereka.”
“Apa lagi yang kau harapkan?”
Aku mengangkat pandanganku. Tersenyum. Secuil candu rasa bahagia dan kidung ibu membuka harapan itu.
“Tiba hari pembalasan. Izinkan hamba antarkan segelas air di padang perhitungan untuk ibu dan ayah. Berikan kesempatan untuk hamba hadir sebagai penyemangat mereka saat melewati jembatan penentuan dari-Mu.”
Heri Haliling merupakan nama pena dari Heri Surahman. Pria kelahiran Kapuas, 17 Agustus 1990 itu adalah seorang guru di SMAN 2 Jorong di Kalimantan Selatan. Selain mengajar, Heri Haliling juga aktif sebagai penulis. Beberapa karyanya antara lain Novel Perempuan Penjemput Subuh terbitan PT Aksra Pustaka Media tahun 2024 berhasil menjuarai peringkat 2 sayembara novel guru dan dosen. Selain itu ada novlet Rumah Remah Remang yang diterbitkan J-Maestro pada tahun yang sama. Adapun untuk karya pendek, beberapa tulisannya seperti cerpen dan opini telah termuat di media cetak dan online seperti di koran digital Balipolitika, Radar Bojonegoro, Radar Banyuwangi, Radar Utara, Radar NTT, Kaltim Post, Negeri Kertas.com, Ngewiyak.com, Cakra Dunia.com, Tatkala.com, Potret.com, Nolesa.com, Flores.com, Kompasiana.com, dan Retizen Republika.