Oleh : Elin Khanin
Hai, aku Barsha Elija. Katakan saja ini adalah salah satu penggalan kisahku.
Sudah beberapa kali aku pergi terapi. Tapi tetap saja pemandangan yang aku lihat saat tiba di halaman Pak Kyai Soleh adalah aula yang tidak pernah kosong, selalu penuh oleh orang-orang yang duduk bergerombol. Ruangan menyerupai aula dengan dinding yang terbuka bagian depan itu memang tidak pernah sepi setiap kali jam terapi dibuka. Kendaraan motor dan mobil sudah berderet di halaman meski hari masih begitu pagi.
Pak Kyai Soleh sudah dipercaya banyak orang bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit berat dan aneh. Beliau bisa menangani penyakit non medis dan medis. Seperti abah, beliau ini tampaknya sudah makrifat. Bisa mengetahui sisi dalam dan luar manusia. Otaknya seperti CT Scan—bahkan mungkin lebih canggih dari itu. Beliau bisa langsung menebak semua keluhan pasien dan penyebab penyakit mereka dalam sekali pandang dan sentuh.
- Iklan -
Aku tidak begitu heran, karena sebenarnya abahku sendiri pun begitu, bisa mengetahui beberapa hal yang tersembunyi dalam diri manusia, termasuk akal dan masa depan. Tapi, sayangnya beliau tidak mengusai ilmu terapi yang Pak Kyai Soleh miliki. Jadi, beliau tidak bisa mengobatiku dengan tangannya sendiri. Abah hanya handal dalam menyadarkan orang kesurupan dan hal-hal yang berbau mistis. Sedangkan orang kesurupan dan terkena gangguan jin, disebabkan oleh banyak faktor.
Tentang diriku kenapa bisa sampai berobat ke Pak Kyai Soleh, nanti saja kuceritakan lain waktu. Di penggalan cerita ini aku cuma ingin berbagi ilmu yang sudah kudapatkan dari Pak Kyai.
Bermula ketika aku melihat sepasang lelaki dan perempuan duduk berdampingan dengan wajah muram di pojok aula. Mereka tampak serasi, yang satu cantik dan yang satu tampan.
Ada apa dengan mereka? Sakit apa?
Adalah pertanyaan yang otomatis bersarang dalam kepalaku ketika melihat orang yang tampak baik-baik saja tapi berada dalam barisan antrian terapi.
Kuabaikan sejenak pemandangan yang ada di sekelilingku untuk menghampiri seseorang yang kini duduk di balik meja kecil dekat bilik terapi. “Saya nomor berapa, Kang?” tanyaku padanya. Namanya Kang Selamet. Dia adalah santri kepercayaan Pak Kyai Soleh yang bertugas di bagian pendaftaran. Tugasnya menerima pendaftaran, menertibkan antrian, dan memanggil nomor sesuai urutan.
“Nomor empat, Ning,” jawabnya ramah.
Aku menghembuskan napas lega. Nomor empat, kemungkinan tidak lama lagi giliranku. “Sekarang nomor berapa?”
“Sekarang nomor dua,” jawab Kang Selamet. Nah, benar.
Kalian pasti bertanya-tanya, kenapa aku datang di saat sudah banyak orang menunggu, tapi masih mendapat nomor empat. Disini sistem pendaftarannya bisa melalui online. Aku sudah mendaftar dari dua hari yang lalu, jadi bisa dapat antrian awal. Karena jika tidak telepon atau mengirim pesan sebelumnya, bisa-bisa dapat jatah paling akhir. Dan you know lah, menunggu itu adalah hal yang paling melelahkan dan membosankan. Tapi nggak hanya karena itu sih, aku dapat antrian pagi. Istri Pak Kyai Soleh, Bu Nyai Zaenab dan Ummi berteman baik, jadi itu juga mempermudah segalanya.
“Oh, suwun.” Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum, lalu mencari space yang masih longgar.
“Sami-sami. Ning,” ucap Kang Selamet.
Aku menyalami satu-persatu pasien perempuan sebelum duduk. Lalu menanggapi basa-basi seseibu yang duduk di sebelahku. Setelah saling tanya, kutahu dia terkena gejala stroke. Tangan kanannya tidak berfungsi dengan baik. Itulah kenapa tadi dia agak kesulitan saat menjabat tanganku.
Beberapa saat menunggu, tibalah giliran sepasang lelaki dan perempuan berwajah muram yang entah mengapa saat menjejak aula langsung menyita perhatianku. Mereka nomor tiga ternyata. Berarti setelah mereka adalah giliranku.
Kuraih ponsel dari sling bag dan mulai men-scroll layar untuk berselancar di social media agar waktu tunggu tidak terasa bosan. Hal yang juga dilakukan oleh Mbak Ifa, khadamah yang mendampingiku terapi. Di pesantren kami, sebagian besar santri adalah mahasiswa, jadi boleh membawa ponsel. Lagipula Mbak Ifa adalah santri ndalem yang sehari-hari bertugas di dapur, jadi kami butuh komunikasi dengan mereka terus menerus.
“Aku baru tahu coba sama berita ini.” Aku menunjukkan ponselku pada Mbak Ifa. Perempuan itu tersenyum.
“Iya itu sudah viral, Ning,” jawabnya antusias. Lalu menerangkan apa yang ia tahu soal berita viral itu. Tanpa sengaja membawa kami pada obrolan panjang dan ngalor ngidul, sehingga kami tidak sadar nomor antrianku sudah tiba.
“Monggo, Ning Barsha,” ucap Kang Selamet, membuatku tergeragap.
“Oh ya, Kang.”
Aku menghentikan ocehanku pada Mbak Ifa dan bergerak masuk ke dalam bilik. Kulihat sepasang lelaki dan perempuan yang kuduga adalah suami istri keluar melewatiku. Seharusnya setelah mendapat terapi, mereka tampak lebih sumringah. Tapi ini wajah mereka malah semakin suram. Yang perempuan bahkan menangis tersedu-sedu dalam dekapan suaminya. Mereka jadi perhatian semua orang tentu saja. Dan orang-orang itu pasti menyimpan tanda tanya sepertiku. Kenapa mereka? Tapi enggan bertanya karena sepasang suami istri itu buru-buru pergi.
Oke, forget it! Semua orang punya urusan masing-masing dan kau harus fokus pada dirimu sendiri, Barsha.
Seperti biasa, di dalam bilik tanpa pintu itu aku disapa oleh lelaki paruh baya kurus berbalut kaos panjang dan sarung, Di atas kepalanya bertengger peci warna hitam.
“Pak Yai.” Aku menyapa sekedarnya dan beliau tersenyum sambil mengulurkan tangannya pada kasur lantai di sisinya yang sudah ada bantal dan selimut yang dibentangkan memanjang, yang fungsinya untuk melapisi kasur.
“Monggo,” ucap Pak Kyai.
Aku tengkurap di sisinya dan beliau memulai memberikan terapi, menggetok-getok punggungku dari atas ke bawah. Lalu menyalurkan tenaga dalamnya dengan menempelkan telapak tangannya di tulang ekorku. Lanjut menggetok-getok lagi di titik-titik yang dirasa Pak Kyai menjadi sumber segala keluhanku.
“Sudah mulai membaik. Kira-kira enam puluh persen. Yang penting jangan mikir berat-berat dulu.” Beliau memulai percakapan.
“Nggeh, Pak.”
“Jangan sampai angkat benda berat-berat. Kalau yang bagian kanan sih nggak masalah, tapi yang kiri jangan. Karena jenengan yang bermasalah adalah otak kiri.”
Nah ini yang masih sering aku langgar. Menggendong balita itu enaknya memang sebelah kiri, kan? Sedangkan aku sering banget gendongin anaknya Mbak Najila yang sekarang sudah usia paud.
“Kadang masih nggak bisa menghindari, Pak Yai.” Aku meringis.
“Jangan lagi, ya?” pesannya.
“Iya.”
“Masih sering lihat dia?”
Aku menggeleng. “Udah enggak.”
Setelah selesai memberikan tindakan pada bagian kanan tubuhku, beliau berpindah di bagian kiri. “Masih suka denger suara dan lihat bayang-bayang?” tanyanya lagi.
“Iya, masih.”
“Yang penting kamu bisa mengontrol saja.”
“Iya, Pak Yai.”
“Kasus sepertimu ini lumayan banyak. Saraf di bagian tulang ekor sini sama entong-entong kiri ini sakit, akhirnya terjadi pengkristalan empedu. Akibatnya sebagian tubuh tidak simetris. Mata bagian kiri lebih sipit, kaki juga lebih panjang yang kiri.”
Aku sudah disuruh terlentang sekarang.
“Walah, jadi karena itu ya, Pak? Selama ini saya emang bertanya-tanya setiap kali ngelihat foto saya. Apalagi kalau pakai kemera belakang, kelihatan jelas banget. Dulu kayaknya saya baik-baik aja, tapi kenapa wajah saya jadi aneh. Kayak menceng gitu.” Aku cemberut. “Jadi nggak cantik.”
Pak Kyai Soleh terkekeh. “Ya masih cantik, cuma agak beda aja,” hiburnya. Beliau masih menggetok-getok lenganku, lanjut ujung ketiak dekat payudara. Kurasakan agak sakit bercampur geli, jadi aku meringis. Hadeh, malu deh.
“Ini ada benjolan dekat payudara. Jangan sampai ikut saran dokter untuk operasi, ya? bahaya.”
“Iya, Pak Yai.”
“Perutnya masih sering begah?”
“Udah mendingan,” jawabku.
“Itu kalau dokter bilangnya pasti asam lambung. Tapi sebenarnya saraf.”
“Oooh.”
Sebenarnya sudah berkali-kali Pak Kyai Soleh menjelaskan tentang ini. Tapi berapa kalipun aku mendengar, rasanya tidak bosan. Apalagi beliau selalu menyelipkan info-info dan ilmu baru dalam penjabarannya. Aku selalu mencatatnya di otakku. Dan jika tidak malas, akan menuliskannya ke dalam buku diary setelah pulang.
“Banyak yang mengalami. Kalau kasus pasien yang tadi jarang.”
“Tadi?”
“Dia setengah perempuan, setengah laki-laki,” ungkap Pak Yai.
“Hah?!” Aku tak bisa menyembunyikan rasa terkejutku. Kuingat-ingat, pasien yang keluar sebelumku tidak ada yang aneh. Yang nomor berapa? Satu? Dua? Atau tiga? “Gimana itu, Pak Yai?” cecarku tak sabar. Salahnya siapa dibuat penasaran.
“Ya sifat sama fisiknya berbeda,” jawabnya ambigu, membuatku semakin tak sabar mendengar penjelasan selanjutnya. “Fisiknya laki-laki tapi merasa dia perempuan begitu?”
“Iya itu kalau laki-laki. Kalau perempuan ….”
“Tomboi?” sahutku.
Pak Kyai mengangguk. “Ya semacam itu,” jawabnya. “Jadi, dia perempuan secara fisik, tapi hormonnya laki-laki.”
“Hah?!” aku tersentak lagi. Baru ini kudengar ada namanya hormon laki-laki dan hormon perempuan. Aku langsung teringat Lucinta Luna, artis transgender yang sudah banyak dihujat karena melakukan operasi plastik berkali-kali. Dia tidak hanya menambahkan payudara, mengoperasi alat kelaminnya, tapi juga seluruh inchi dari tubuhnya, dari kepala hingga ujung kaki. Sehingga dulu dia yang punya tubuh tegap dan bidang sekarang seksi menyerupai barbie.
“Alat kelaminnya perempuan tapi punya p3nis di bagian tengah.”
“Hah?!” Aku terkejut lagi. Astagaaa ….
“Itunya … aduh … anu ….” Nggak enak rasanya menyebutnya. Tapi aku udah kadung penasaran. “Itu … batang kemaluannya panjang?”
Oh, my God. Tolong ampuni hamba. Tapi sungguh, aku nggak bisa bayangin ada batang kemaluan milik laki-laki menyembul di tengah-tengah v4gina.
“Kecil di tengah-tengah. Kalau dimasukin pas berhubungan badan itu luar biasa sakit. Orang yang seperti itu tidak akan bisa memiliki anak.”
“Astaghfirullah … innalillah.” Miris sekali mendengarnya. “Naudzubillah min dzalik,” desisku.
“Terus suaminya gimana, Pak Yai?”
“Ya sedih,” jawab Pak Kyai singkat. “Tak sarankan cerai saja.”
“Hah?!” Aku kaget lagi. Bisa-bisanya Pak Kyai menyarankan hal semacam itu. Tapi aku nggak mau berpikiran buruk dulu, sebab Pak Kyai Soleh pasti punya alasan kuat.
“Karena wanita yang seperti itu tidak akan tertarik pada perempuan. Dan benar, dia nggak suka sama suaminya. Dia tertariknya sama perempuan. Karena setelah tes DNA memang diketahui hormonnya laki-laki.” Terang Pak Kyai.
Kini aku sudah duduk. Pak Kyai lanjut menonjok-nonjok kecil punggungku lagi.
“Ya Allah.” Aku semakin bersemangat menyimak. “Kalau sudah begitu gimana, Pak? Dia hukumnya lelaki apa perempuan?”
“Seperti itu dilihat dari sifat dan hormonnya untuk menentukan dia lelaki apa perempuan. Pertama harus tes DNA dulu. Kalau hormonnya memang laki-laki, berarti dia dihukumi laki-laki. Berarti pernikahannya tidak sah, kan? Makanya kusuruh cerai.”
“Ooooh … tapi sedih nggak, Pak mereka?”
“Ya sedih lah, yang suaminya udah kadung cinta.”
“Ya Allah.” Aku menghelas napas untuk mengambil jeda. “Berati kalau kayak gitu harus operasi ya, Pak?”
“Iya operasi. Di kitab Bajuri ada. Sudah dibahas.”
“Berarti para transgender itu kasusnya seperti itu ya kebanyakan? Ada yang salah sama hormon dan alat kelaminnya?”
“Iya.”
“Berarti mereka yang operasi kayak Lucinta Luna tuh nggak dosa?”
“Lucinta Luna siapa?”
Aku ingin tertawa tapi kutahan. Pak Kyai mungkin tidak pernah menonton televisi dan mengikuti berita terkini, jadi maklum jika tidak tahu siapa Lucinta Luna.
“Artis yang mulanya laki-laki tapi berubah wujud jadi perempuan melalui oprasi. Dia udah banyak dihujat oleh netizen karena menyalahi kodrat. Berarti dia aslinya nggak dosa, ya?”
“Dia asalnya laki-laki?” tanya Pak Kyai.
“Iya, laki-laki secara fisik, suaranya juga masih laki-laki, tapi dia mungkin merasa dirinya adalah perempuan, dipaksakan jadi lelaki sesungguhnya nggak bisa, hingga akhirnya memutuskan operasi.”
“Ya itu kan menurut dia. Dia merasa perempuan. Walaupun dia merasa perempuan, tapi hormonnya laki-laki, tetap dihukumi laki-laki,” jawab Pak Kyai.
“Oooh … untuk tahu hormonnya bagaimana?”
“Ya tes DNA.”
“Oh.” Aku membulatkan mulut lagi. Iya, tadi Pak Kyai sudah menjelaskan tentang tes DNA, akunya aja yang pilon. “Emang kayak gitu nggak bisa sembuh, Pak Kyai? Maksudnya hormonnya disesuaikan aja sama fisiknya gitu?”
“Nggak bisa.”
Ya Tuhan, miris sekali.
“Ada lagi itu anak santri. Mondok di daerah Banyumanik. Dia santri putri, tapi punya peli di kemaluannya. Kemarin kesini nangis-nangis karena ketahuan tes DNA dia punya hormon laki-laki.”
Hatiku ikut teriris mendengarnya. “Terus gimana, Pak Kyai? Pasti sulit sekali menerima fakta itu.”
“Ya mau gimana lagi?”
“Jadi kalau dia operasi kelamin, ingin jadi laki-laki seutuhnya nggak bisa dong kalau masih punya payudara?”
“Iya nggak bisa.”
“Astaghfirullah … masa depannya gimana ya, Pak Yai? Pasti sulit sekali. Dia nggak bisa menikah. Pasti sulit menemukan orang yang mau menerima dia apa adanya.” Dan kalaupun ada yang mau tentunya yang sama-sama tidak normal, kan?
“Iya,” jawab Pak Kyai. “Sudah,” lanjutnya, membuatku tahu sesi terapiku sudah habis.
Sungguh, masih banyak yang ingin kutanyakan terkait ini. Tapi masih banyak orang yang mengantri di luar. Pak Kyai tidak mau menerima upah atau bayaran, jadi aku segera menyelipkan amplop berisi uang ke dalam lipatan kasur sambil mengucapkan terimakasih.
Cerita tadi membuatku tercengang sekaligus merasa sangat bersyukur. Ternyata ada ujian yang lebih berat dari ujian yang ditimpakan padaku. Orang-orang di posisi transgender pasti merasa dunianya runtuh, hancur berkeping-keping.
Kepingan ingatan pada salah satu momen talk show yang mengundang transgender menyerbu benakku, Ini adalah salah satu suara hati mereka yang aku sendiri lupa-lupa ingat.
“Aku tuh bingung, kayak kehilangan arah. Ingin menjadi manusia seutuhnya. Tapi kenapa tubuhku laki-laki, tapi jiwaku perempuan? Aku merasa nggak sanggup jadi laki-laki. Tapi aku pengen. Aku capek dihujat dan dipandang menjijikkan.”
Tanpa sadar aku menitikkan air mata. Bukan berarti aku mendukung L g B T. No!
Hanya saja aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi mengatai-ngatai yang sudah menjalani operasi ganti alat kelamin adalah orang-orang yang menyalahi kodrat. Lalu mengejudge mereka sudah melakukan dosa besar. Sungguh, ternyata kita harus lebih hati-hati terkait hukum syari’at. Jika kita merasa ilmu kita masih cetek, jangan langsung menghakimi sesuatu.