Oleh Dwi Scativana Isnaeni
Sudah satu dekade bangsa Indonesia memperingati Hari Santri. Namun di tengah gegap gempita perayaan dan deretan upacara yang rutin, pertanyaan ini seolah tak pernah tuntas dijawab: apakah Hari Santri masih menjadi momentum reflektif untuk meneguhkan nilai perjuangan, atau sekadar seremoni tahunan yang kehilangan makna? Pertanyaan itu membawa kita kembali ke akar sejarahnya—ketika Hari Santri pertama kali lahir bukan dari seremoni, melainkan dari semangat perjuangan.
Hari Santri Nasional ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, bertepatan dengan peristiwa bersejarah pada 22 Oktober 1945. Saat itu, KH. Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad, yang menggugah para santri dan umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan dari ancaman penjajah Belanda. Dari sinilah Hari Santri lahir—sebagai simbol keberanian moral dan spiritual santri dalam menjaga kehormatan bangsa.
Pesantren sejak lama menjadi pusat pembentukan karakter. Di ruang-ruang sederhana, nilai seperti kejujuran, kesederhanaan, kedisiplinan, dan kepedulian sosial tumbuh bersamaan dengan doa dan pengabdian. Santri belajar agama di bawah cahaya lampu redup, menekuni kitab kuning dengan sabar, namun ketika panggilan perjuangan datang, mereka turun ke medan tempur dan turut menegakkan kemerdekaan. Santri dari Pesantren Tebuireng di Jombang, misalnya, dikenal aktif dalam perjuangan dengan meneguhkan semangat juang rakyat melalui kekuatan moral dan spiritual.
- Iklan -
Namun, setiap zaman memiliki medan perjuangannya sendiri. Kini, santri dihadapkan pada tantangan yang berbeda—bukan lagi penjajahan fisik, tetapi penjajahan nilai, arus globalisasi, dan disrupsi teknologi. Pesantren pun bertransformasi mengikuti denyut zaman. Banyak lembaga seperti Gontor, Al-Falah Ploso, atau Darunnajah mengintegrasikan pendidikan agama dengan sains, teknologi, bahasa asing, hingga kewirausahaan. Santri tidak lagi hanya dikenal sebagai penghafal kitab, tetapi juga sebagai inovator sosial dan penggerak ekonomi masyarakat.
Dari pesantren kecil di pelosok hingga alun-alun kota besar, setiap 22 Oktober selalu diwarnai semarak peringatan Hari Santri. Ada upacara bendera, pembacaan ikrar santri, hingga kirab kebangsaan yang memadukan simbol religius dan nasional. Namun di balik itu, semangat Hari Santri juga hidup dalam kegiatan sosial: donor darah, pelatihan keterampilan, penanaman pohon, dan pemberdayaan masyarakat. Di banyak tempat, pesantren membuka ruang bagi masyarakat sekitar untuk belajar, berdaya, dan tumbuh bersama. Maka, Hari Santri tidak lagi sekadar milik para santri, melainkan gerakan kebangsaan yang menegaskan nilai kepedulian sosial dan semangat gotong royong.
Melalui berbagai kegiatan itu, Hari Santri menjadi ajang meneguhkan peran santri di masa kini. Santri diharapkan hadir di tengah masyarakat sebagai teladan moral dan sosial—mereka yang memegang teguh nilai agama, namun juga mampu berkontribusi dalam ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Dari sinilah muncul pertanyaan yang lebih mendalam: apa yang sebenarnya membentuk keistimewaan seorang santri?
Filosofi santri sejati bersumber dari tradisi adab al-ṭālib—etika murid dalam menuntut ilmu yang diwariskan para ulama klasik. Salah satu sumber pentingnya adalah karya Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din, khususnya bagian Adab al-‘Ālim wa al-Muta‘allim. Di sana, al-Ghazali menjelaskan hubungan guru dan murid, serta adab mencari ilmu dengan hati yang bersih, niat yang ikhlas, dan penghormatan kepada guru. Ilmu, bagi al-Ghazali, bukan sekadar pengetahuan, tetapi jalan untuk memperbaiki diri dan menebar manfaat bagi orang lain. Di era digital yang serba cepat, prinsip ini terasa semakin relevan. Ketika ilmu mudah diakses lewat layar, adab menjadi pembeda antara pencari ilmu sejati dan sekadar pengumpul informasi.
Namun di balik semua refleksi itu, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: Hari Santri untuk siapa sebenarnya? Apakah hanya untuk santri, atau untuk seluruh masyarakat Indonesia?
Pertanyaan ini mengajak kita merenungkan kembali hakikat nilai-nilai yang dijaga santri: kejujuran, tanggung jawab, kesederhanaan, dan cinta tanah air—nilai-nilai yang sejatinya universal dan menjadi fondasi bangsa. Maka, Hari Santri bukan hanya milik pesantren, melainkan milik seluruh masyarakat Indonesia yang ingin menjaga akhlak dan moral publik di tengah perubahan zaman.
Dalam konteks ini, masyarakat membutuhkan para santri untuk terus bergerak. Di tengah derasnya arus modernitas, masyarakat membutuhkan sosok yang mampu menjaga keseimbangan antara moralitas dan kemajuan. Pertanyaannya kemudian: apakah masyarakat masih melihat santri sebagai figur yang terkungkung di balik tembok pesantren, berdiam di pojok ruang gelap bersama kitab kuning, atau justru sebagai agen perubahan yang membawa cahaya pengetahuan ke ruang-ruang publik?
Hari Santri seharusnya menjadi pengingat bahwa perjuangan tidak berhenti di masa lalu. Santri masa kini dan masa depan memikul tanggung jawab besar untuk menjaga nilai-nilai keislaman yang ramah, toleran, dan berkemajuan. Mereka menuntut ilmu bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk menebar manfaat dan menciptakan perubahan sosial.
Karena itu, Hari Santri dengan segala maknanya bukanlah perayaan yang berhenti di tanggal 22 Oktober. Ia adalah ajakan untuk terus menyalakan semangat belajar, berbuat, dan berkontribusi. Selama nilai-nilai itu hidup dalam diri santri dan masyarakat, Hari Santri akan selalu bermakna—bukan sekadar seremoni, tetapi napas moral bagi bangsa Indonesia.
Sebab zaman terus bergerak, dan santri tidak lagi hanya duduk di pojok pesantren, melainkan berdiri tegak di tengah masyarakat—membawa cahaya ilmu dan adab sebagai penuntun arah bangsa.
Biodata Penulis
Dwi Scativana Isnaeni adalah Ahli Madya Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dan Sarjana Pendidikan Seni Pertunjukan. Penulis merupakan seorang pendidik dan penulis yang aktif mengangkat tema-tema keislaman, isu-isu pendidikan, seni dan budaya masyarakat serta kajian ilmiah.



