Oleh Hamidulloh Ibda
Dari sudut pandang linguistik, istilah “Geng Solo” dan “Termul” merupakan contoh bagaimana bahasa berfungsi sebagai alat kritik sosial dan politik. Menurut Allan dan Burridge (1991) dalam Euphemism and Dysphemism: Language Used as Shield and Weapon, eufemisme digunakan untuk memperhalus makna, sedangkan disfemisme digunakan untuk memperkasar atau merendahkan. Keduanya kerap muncul dalam wacana politik sebagai strategi komunikasi yang membungkus kepentingan. Dalam kasus ini, kedua istilah lebih dekat pada disfemisme, meskipun bisa pula berfungsi sebagai eufemisme pragmatis dalam ruang percakapan daring.
Disfemisme dan Eufemisme
Disfemisme dan eufemisme merupakan dua strategi bahasa yang sering hadir dalam wacana politik untuk mengonstruksi realitas sosial. Istilah “geng” dan “ternak” misalnya, tidak sekadar penanda kelompok, melainkan membawa makna peyoratif. Kata “geng” lekat dengan citra negatif: asosiasi kriminal, tertutup, dan penuh loyalitas buta. Begitu pula istilah “ternak” yang menurunkan harkat individu dengan menyamakannya dengan hewan peliharaan tanpa daya. Keraf (2009) menegaskan bahwa diksi yang bernuansa disfemistik dapat memperkuat stereotipe dan membangun opini publik yang cenderung bias. Dengan demikian, disfemisme menjadi alat retoris untuk mendeligitimasi lawan atau kelompok tertentu.
- Iklan -
Di sisi lain, eufemisme juga berperan dalam meredam kekerasan makna, terutama saat kritik diarahkan pada kelompok atau individu berkuasa. Contoh istilah “Termul” (terlalu mulut) yang digunakan untuk menyindir pengikut fanatik Jokowi, lebih halus dibandingkan langsung menyebut mereka sebagai “fanatik buta.” Allan dan Burridge (2006) dalam Forbidden Words: Taboo and the Censoring of Language menyebut eufemisme sebagai strategi linguistik yang menutupi kekasaran atau mempertahankan kesopanan dalam interaksi sosial. Dengan memakai humor, eufemisme ini tidak hanya menjaga jarak emosional, tetapi juga memungkinkan kritik lebih mudah diterima publik.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pemilihan diksi dalam wacana politik bukan sekadar pilihan estetis, melainkan strategi komunikasi yang sarat kepentingan. Disfemisme dipakai untuk memperkuat oposisi dan menciptakan jarak emosional, sedangkan eufemisme digunakan untuk menyeimbangkan kritik dengan cara yang lebih bisa diterima. Sebagaimana dijelaskan oleh Lakoff (1991) dalam Metaphor and War: The Metaphor System Used to Justify War in the Gulf, bahasa selalu bersifat politis karena mampu mengubah cara orang memahami realitas sosial. Maka, memahami disfemisme dan eufemisme dalam konteks politik menjadi kunci untuk membaca bagaimana bahasa digunakan sebagai instrumen kekuasaan.
Majas Metafora, Metonimia, dan Satire
Metafora dan metonimia berfungsi sebagai perangkat kognitif sekaligus retoris dalam membentuk cara publik memahami realitas politik. Lakoff dan Johnson (2024) dalam Metaphors We Live By menjelaskan bahwa metafora bukan sekadar ornamen, tetapi bagian integral dari pola pikir manusia. Istilah “Geng Solo” memperlihatkan keduanya: kata “geng” sebagai metafora menghadirkan bayangan kelompok eksklusif yang tertutup, sedangkan “Solo” berfungsi sebagai metonimia dengan menggunakan identitas geografis untuk merujuk pada jaringan sosial-politik yang berakar dari pengalaman Jokowi sebagai wali kota. Dengan demikian, penggunaan metafora dan metonimia tidak hanya memperindah bahasa, tetapi juga mengarahkan interpretasi publik terhadap aktor politik.
Selain metafora dan metonimia, satire juga menjadi medium kritik yang populer dalam komunikasi politik, terutama di era digital. Istilah “Termul” merupakan contoh yang khas, karena memadukan metafora alegoris dengan strategi akronim. Kata “ternak” membandingkan pengikut politik dengan hewan peliharaan yang tunduk pada kendali, sementara akronim “Termul” (Ternak Mulyono) dirancang singkat, catchy, dan bernuansa humor. Simpson (2003) dalam On the Discourse of Satire menegaskan bahwa satire beroperasi melalui ironi, humor, dan hiperbola untuk mengkritik kekuasaan tanpa harus menggunakan bahasa frontal. Hal ini menjadikan istilah satir lebih mudah diterima publik sekaligus menyampaikan kritik yang tajam.
Fenomena bahasa seperti “Geng Solo” dan “Termul” memperlihatkan bagaimana majas bekerja sebagai instrumen ideologi. Metafora dan metonimia mengonstruksi realitas politik dengan cara menyederhanakan kompleksitas sosial, sedangkan satire menyalurkan resistensi dalam bentuk yang lebih menghibur. Menurut Charteris-Black (2004) dalam Corpus Approaches to Critical Metaphor Analysis, analisis metafora dalam wacana politik penting karena ia menunjukkan relasi antara bahasa, kognisi, dan kekuasaan. Oleh karena itu, memahami majas dalam konteks politik berarti mengungkap bagaimana bahasa dipakai untuk membangun citra, melanggengkan hegemoni, atau bahkan melawan dominasi.
Bahasa Kritik
Secara pragmatik, istilah “Geng Solo” maupun “Termul” jelas berfungsi sebagai bahasa kritik. Leech (1983) dalam Principles of Pragmatics menegaskan bahwa pilihan bahasa tidak hanya menyampaikan makna leksikal, tetapi juga fungsi sosial seperti sindiran, provokasi, dan kritik. Dalam hal ini, humor, metafora, dan sindiran dipakai sebagai strategi retoris agar pesan lebih mudah diterima publik dan menjadi viral. Meyer (2000) dalam Humor as a Double-Edged Sword menjelaskan bahwa humor bersifat paradoks: ia bisa mencairkan suasana, tetapi sekaligus dapat melancarkan kritik tajam.
Bahasa kritik yang dikemas dengan metafora atau satir sebenarnya memperluas daya jelajah wacana politik. “Geng Solo” menciptakan asosiasi negatif yang memperlihatkan eksklusivitas, sementara “Termul” menyindir pengikut politik dengan metafora hewan peliharaan. Keduanya memperlihatkan bagaimana bahasa kritik bekerja sebagai indirect criticism, yakni menyampaikan pesan melalui cara tidak langsung agar tidak menimbulkan resistensi frontal. Hal ini sejalan dengan pandangan Charteris-Black (2004) dalam Corpus Approaches to Critical Metaphor Analysis yang menyebut metafora politik bukan sekadar gaya bahasa, melainkan alat ideologis untuk membingkai realitas sosial.
Dalam perspektif Islam, kritik juga diakui sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, yakni kewajiban menegakkan kebenaran dan mencegah kebatilan. Al-Qur’an (QS. An-Nahl: 125) menekankan pentingnya menyampaikan kebenaran “dengan hikmah dan nasihat yang baik.” Oleh karena itu, bahasa kritik dalam Islam diarahkan agar tidak sekadar menyudutkan, melainkan mendidik dan mendorong perbaikan. Nabi Muhammad SAW sendiri kerap menggunakan ungkapan kiasan (majaz) dan sindiran halus dalam menyampaikan teguran, menunjukkan bahwa strategi bahasa yang halus dapat lebih efektif dalam menyentuh hati pendengar.
Dengan demikian, bahasa kritik dalam wacana politik maupun dalam perspektif Islam sama-sama menekankan pentingnya keseimbangan antara ketegasan dan kebijaksanaan. Humor, metafora, dan satir berfungsi memperkuat daya sebar pesan, tetapi dalam kerangka etika Islam, kritik idealnya disampaikan tanpa merendahkan martabat manusia. Di era digital, pemahaman ini menjadi penting agar bahasa kritik tidak berubah menjadi ujaran kebencian, melainkan tetap menjadi sarana edukasi publik yang membangun kesadaran sosial.
Dalam kajian linguistik, istilah “Geng Solo” dan “Termul” merepresentasikan disfemisme yang dibalut metafora, metonimia, dan satire, serta berfungsi sebagai bahasa kritik politik yang efektif. Walau secara leksikal bernuansa kasar, secara pragmatis keduanya bisa berperan sebagai eufemisme dalam ruang percakapan santai. Fenomena ini memperlihatkan bahwa bahasa politik bukan hanya sarana penyampaian pesan, melainkan juga medium untuk membangun citra, menyampaikan kritik, dan mengatur jarak emosional antara penguasa dan publik.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metafora, metonimia, dan satire dalam istilah seperti “Geng Solo” dan “Termul” bukan sekadar permainan bahasa, melainkan strategi retoris yang membingkai realitas politik. Melalui disfemisme, eufemisme, dan humor, bahasa mampu membentuk opini publik, menciptakan stigma, sekaligus memperluas daya sebar kritik di ruang digital. Penggunaan gaya bahasa tersebut memperlihatkan bagaimana komunikasi politik selalu sarat dengan kepentingan ideologis dan simbolik.
Dalam perspektif Islam, bahasa kritik dipandang sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, yang menekankan penyampaian kebenaran dengan hikmah dan kelembutan. Kritik yang disampaikan melalui humor atau sindiran dapat menjadi cara efektif untuk menyadarkan masyarakat, asalkan tetap menjaga etika dan martabat manusia. Dengan demikian, majas politik dapat berfungsi sebagai sarana edukasi publik yang menyeimbangkan antara ketajaman kritik dan kebijaksanaan moral.
Ada pendapat lain? Tenang, tidak memengaruhi pendapatan Anda!
-Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., penulis adalah Pimred Maarifnujateng.or.id dan Koordinasi Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) Plus.



