oleh Abdul Wachid B.S.
Pendahuluan: Ketika Kata Menjelma Gambar
Alih wahana dari teks sastra ke medium film bukanlah sekadar urusan teknis atau perpindahan bentuk. Ia merupakan praktik kebudayaan yang sarat makna, pilihan, dan kadangkala pengkhianatan terhadap sumber aslinya. Dalam dunia pendidikan, khususnya di ruang kelas bahasa, alih wahana menjadi jembatan antara literasi verbal dan literasi visual. Proses ini tidak hanya memperkaya pemahaman, tetapi juga membuka ruang tafsir yang luas dan dinamis.
Namun, ketika cerita berpindah dari halaman ke layar, pertanyaan-pertanyaan penting mulai muncul: Apa yang berubah? Apa yang hilang? Apa yang bertambah? Pertanyaan ini bukan hanya soal teknis, melainkan menyentuh dimensi etis dan estetis yang mendasar. Dalam konteks Kurikulum Merdeka yang memberi kebebasan pada proses belajar, alih wahana menjadi peluang pedagogis yang besar, namun sekaligus menuntut tanggung jawab baru—baik dari guru maupun siswa—dalam memahami dan menyikapi karya sastra yang diadaptasi.
- Iklan -
Maka, tulisan ini bertujuan menelusuri bagaimana alih wahana dapat dijadikan praktik pembelajaran yang reflektif, kreatif, dan bertanggung jawab. Bagaimana etika dan estetika dapat berkelindan dalam proses kreatif ini, dan bagaimana ruang kelas dapat menjelma menjadi ruang tafsir yang hidup.
Etika Alih Wahana: Menjaga Jiwa, Bukan Menyalin Bentuk
Dalam diskursus sastra, kesetiaan terhadap teks asli kerap menjadi tolok ukur utama ketika menilai keberhasilan adaptasi. Adaptasi yang “menyimpang” sering dicap sebagai pengkhianatan terhadap maksud pengarang, seolah-olah karya sastra adalah teks sakral yang tak boleh disentuh. Namun, pertanyaan dasarnya: apakah tugas adaptasi adalah menyalin secara setia, atau menerjemahkan secara kreatif dalam bahasa yang berbeda?
Alih wahana bukanlah duplikasi, melainkan interpretasi. Film bukan sekadar cermin, tetapi suara baru yang mengolah teks melalui tata bahasa visualnya sendiri. Dalam kerangka ini, etika adaptasi bukan semata-mata soal kesamaan cerita atau tokoh, melainkan sejauh mana film tersebut mampu menjaga “ruh” karya—yakni gagasan, konflik, atau nuansa dasar yang membentuk identitas cerita asal.
Di ruang kelas, pemahaman ini menjadi kunci. Guru dan siswa perlu mendiskusikan ulang makna “kesetiaan”. Apakah tokoh yang sama penting? Apakah latar harus persis? Atau justru substansi ide dan konflik yang harus dipertahankan? Diskusi ini melatih kepekaan etis siswa bahwa dalam menafsir, ada tanggung jawab untuk menjaga nilai dan semangat teks, bukan sekadar menyalinnya.
Estetika Adaptasi: Menerjemahkan Kata ke Dalam Gambar
Film adalah bahasa yang berbeda dari sastra. Ia berbicara melalui gambar, suara, gerak, dan irama visual. Maka, proses adaptasi menuntut bukan sekadar pemahaman isi cerita, tetapi juga kemampuan mengalihbahasakan narasi verbal menjadi bentuk visual yang bermakna. Dalam film, deskripsi panjang bisa diringkas oleh satu tatapan mata; monolog batin bisa digantikan oleh suasana ruang atau pencahayaan.
Estetika alih wahana adalah seni menemukan padanan. Ia menuntut kreativitas tinggi dalam memilih mana yang harus ditampilkan, mana yang harus disiratkan. Namun, dalam proses ini pula terletak risiko besar: simbol dan makna bisa direduksi menjadi tampilan literal. Kehalusan metafora dalam puisi bisa hilang ketika digantikan oleh gambar konkret. Karena itu, proses adaptasi perlu memperhitungkan bukan hanya bentuk, tetapi juga kedalaman dan kekayaan ekspresif dari teks sastra.
Dalam pembelajaran, siswa perlu diajak memahami bahwa film dan sastra memiliki puitika masing-masing. Adaptasi bukan penggantian, melainkan pertemuan dua dunia yang berbeda. Tugas siswa adalah membangun jembatan yang peka dan cerdas antara dua dunia ini, bukan meruntuhkan keunikan salah satunya.
Alih Wahana dalam Kelas: Tafsir atau Sekadar Tugas?
Di sekolah, alih wahana sering muncul dalam bentuk tugas akhir semester: “buat film pendek dari cerpen”, “dramatiskan puisi”, atau “ubah novel menjadi naskah drama”. Sayangnya, tugas-tugas ini seringkali dikerjakan sebagai proyek teknis, bukan sebagai proses penafsiran yang mendalam. Padahal, potensi terbesar dari alih wahana terletak pada kemampuannya untuk menggugah pemahaman yang reflektif dan kritis terhadap teks sastra.
Alih wahana dapat digunakan sebagai metode close reading yang efektif. Untuk mengubah cerpen menjadi film, siswa harus menganalisis karakter, alur, konflik, hingga tema dan subteks. Mereka harus menjawab pertanyaan kunci: adegan mana yang vital? Emosi apa yang dominan? Simbol apa yang harus dipertahankan? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut pembacaan yang teliti dan penafsiran yang mendalam.
Di sisi lain, guru perlu merancang panduan dan rubrik penilaian yang tidak hanya menilai aspek teknis seperti kamera dan akting, tetapi juga kedalaman tafsir, kesesuaian gaya visual dengan tema, dan orisinalitas sudut pandang. Alih wahana harus menjadi arena berpikir, bukan hanya ajang memamerkan kemampuan teknologi.
Kasus Film Pelajar: Cerita Lokal dan Kritik Sosial
Festival Film Pelajar Purbalingga (FFPP), misalnya, menjadi bukti bahwa film pelajar mampu melampaui sekadar adaptasi teks populer. Banyak karya yang dihasilkan merupakan hasil tafsir atas cerita lokal, pengalaman sosial, bahkan realitas politik di sekitar mereka. Cerita rakyat diubah menjadi kritik sosial. Kisah desa dijadikan narasi perlawanan terhadap ketimpangan.
Proses adaptasi ini membuktikan bahwa alih wahana bisa menjadi praktik kultural yang kuat. Film pelajar tidak sekadar menyampaikan cerita, tetapi membingkai ulang kenyataan dari perspektif pelajar. Dalam konteks ini, pelajar menjadi subjek budaya yang aktif—yang tak hanya membaca teks, tapi juga menyuarakan pengalaman mereka sendiri.
Sebagai contoh, sebuah cerpen tentang kemiskinan bisa diadaptasi menjadi film pendek tentang anak sekolah yang bekerja di ladang demi biaya pendidikan. Adaptasi ini tidak hanya mempertahankan konflik cerita, tetapi juga menyuntikkan dimensi kontekstual yang lebih relevan dan menyentuh pengalaman nyata siswa.
Alih Wahana dan Kurikulum Merdeka: Kebebasan yang Terarah
Kurikulum Merdeka membuka ruang luas bagi pembelajaran berbasis proyek dan minat siswa. Dalam kerangka ini, alih wahana sastra menjadi kegiatan yang sangat potensial. Ia menggabungkan unsur bahasa, seni, IPS, bahkan pendidikan karakter. Ia menghidupkan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dalam bentuk konkret.
Namun, kebebasan ini tetap membutuhkan arah. Tanpa kerangka reflektif, alih wahana mudah tergelincir menjadi kegiatan yang sekadar seru dan kreatif, tanpa makna yang dalam. Maka, guru harus menyediakan perangkat bimbingan: lembar tafsir, panduan storyboard, rubrik apresiasi, serta forum diskusi interpretatif. Alih wahana harus menjadi ruang dialog, bukan hanya produksi.
Dengan pendekatan seperti ini, alih wahana bisa melatih siswa berpikir kritis, memahami teks sastra secara mendalam, dan mengekspresikan pemahaman itu melalui bentuk seni yang kreatif dan kontekstual. Siswa belajar menjadi pembaca yang peka dan penafsir yang bertanggung jawab, sekaligus seniman yang sadar akan pilihan-pilihan estetis dan etisnya.
Penutup: Membaca dengan Kamera, Menulis dengan Cahaya
Alih wahana sastra ke film bukan sekadar perpindahan bentuk, tetapi proses transposisi yang sarat makna, penuh pilihan, dan mengandung tantangan etika serta estetika. Di ruang kelas, alih wahana dapat menjelma menjadi laboratorium tafsir yang dinamis—tempat siswa membaca, menafsirkan, dan mengekspresikan makna dengan cara yang kreatif.
Ketika siswa diajak untuk membaca dengan kamera dan menulis dengan cahaya, mereka sesungguhnya sedang diajak menjadi warga yang peka: yang bisa melihat dunia melalui simbol dan makna, serta menyuarakannya melalui seni. Di tangan guru yang reflektif dan siswa yang sadar, alih wahana bukan sekadar proyek akhir, tetapi jalan pembelajaran yang memanusiakan.
Jika dijalankan dengan kesadaran pedagogis yang kuat, alih wahana sastra dapat menjembatani antara literasi dan kreativitas, antara teks dan konteks, antara kata dan dunia. Ia menjadikan ruang kelas bukan hanya tempat menghafal, tetapi tempat mencipta. Dan di situlah pendidikan sastra menemukan hidupnya yang sejati. ***
-Penulis adalah seorang penyair, Guru Besar dan Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto.



