“Saya lebih sibuk mengurus laporan BOS daripada mendampingi guru di kelas,” ujar seorang kepala sekolah di Kabupaten Brebes. Ungkapan ini bukan keluhan semata, melainkan cermin kenyataan manajemen sekolah di banyak wilayah Indonesia. Kepala sekolah yang seharusnya menjadi pemimpin pembelajaran justru sering terjebak dalam rutinitas administratif yang menyita waktu dan energi. Alih-alih memfasilitasi strategi belajar, mereka lebih sering bertindak sebagai pengelola dokumen dan pelaksana kebijakan pusat.
Dalam wacana pendidikan nasional, kepala sekolah kerap disebut “nahkoda” institusi pendidikan—bukan sekadar administrator, melainkan pemimpin pembelajaran, pengarah budaya sekolah, dan penjaga arah transformasi. Namun praktik di lapangan jauh dari harapan itu.
Manajemen sekolah seharusnya melampaui pengaturan jadwal, pengelolaan anggaran, atau kelengkapan sarana; ia adalah proses strategis yang menuntut visi, partisipasi, dan keberpihakan pada peserta didik. Kepala sekolah yang efektif menjadikan sekolah sebagai ruang tumbuh, bukan hanya tempat belajar, dengan menumbuhkan iklim inovasi, kolaborasi, dan pembelajaran yang relevan.
- Iklan -
Sayangnya banyak kepala sekolah masih terperangkap pada peran teknis: laporan BOS, pengisian Dapodik, dan tumpukan dokumen. Padahal manajemen yang sehat menuntut kepemimpinan yang mampu membaca kebutuhan lokal, memberdayakan guru, dan membangun kemitraan dengan komunitas.
Kekurangan kepemimpinan ini terlihat jelas dalam data Kemendikdasmen per Juni 2025: 13.163 sekolah tidak memiliki kepala sekolah sama sekali, 26.909 sekolah hanya dipimpin guru pelaksana tugas, dan 10.899 kepala sekolah akan pensiun tahun ini. Jawa Barat mencatat kekurangan tertinggi dengan 7.490 sekolah tanpa kepala sekolah definitif. Kekosongan ini bukan sekadar masalah administrasi; ia menghambat program sekolah, melemahkan supervisi pembelajaran, dan memperlambat adopsi Kurikulum Merdeka.
Kurikulum Merdeka sendiri menawarkan fleksibilitas dalam pemilihan materi ajar dan pendekatan belajar, menekankan pembelajaran berbasis proyek, diferensiasi, dan penguatan karakter. Namun fleksibilitas ini justru menimbulkan kebingungan. Laporan Evaluasi Kurikulum Merdeka 2024 mencatat hanya 38% guru yang merasa mampu menerapkan pembelajaran berbasis proyek secara konsisten dan 42% sekolah yang sudah menyiapkan dokumen kurikulum satuan pendidikan secara lengkap, sementara banyak guru masih mengandalkan metode ceramah dan buku teks.
Perubahan kurikulum jelas membutuhkan kepemimpinan yang mendampingi guru merancang strategi kontekstual dan mendorong metode yang aktif-partisipatif—peran yang seharusnya dipegang kepala sekolah.
Supervisi akademik menjadi kunci. Seperti dikemukakan Sergiovanni (1991), kepala sekolah yang memimpin dengan moral dan visi lebih efektif membangun komunitas belajar dibanding manajer teknis belaka. “Kami butuh kepala sekolah yang mendampingi, bukan hanya mengawasi,” kata seorang guru SMP di Lombok Timur. Supervisi semestinya menjadi dialog pedagogis yang memperkaya praktik guru, tetapi tekanan administratif kerap menyingkirkan kesempatan untuk pendampingan yang bermakna.
Pemerintah berupaya menjawab tantangan ini melalui Program Pendidikan Kepemimpinan Sekolah (PKS), pengganti Guru Penggerak, yang menekankan pelatihan berbasis praktik, penguatan manajerial, dan integrasi teknologi dengan target 20.000 calon kepala sekolah dalam dua tahun pertama. Namun hingga kini belum ada evaluasi publik tentang efektivitasnya. Banyak peserta PKS belum mendapatkan penugasan, koordinasi pusat-daerah lemah, dan proses seleksi masih belum transparan. Tanpa sinkronisasi, regenerasi kepemimpinan tetap rapuh.
Tantangan juga bervariasi di tiap wilayah. Di perbatasan Kalimantan, kepala sekolah harus merancang strategi belajar dengan guru lintas mata pelajaran dan koneksi internet yang tidak stabil; di NTT, ada kepala sekolah yang merangkap guru IPA karena kekurangan tenaga pendidik.
Kepemimpinan sekolah jelas tidak bisa diseragamkan. Dibandingkan Finlandia, yang memberi kepala sekolah otonomi penuh namun tetap menuntut akuntabilitas kepada komunitas lokal—model yang terbukti meningkatkan kepuasan guru dan hasil belajar—kepala sekolah di Indonesia masih dibatasi regulasi teknis dan laporan administratif yang menyita waktu refleksi.
–Dwi Scativana Isnaeni adalah Ahli Madya Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dan Sarjana Pendidikan Seni Pertunjukan. Penulis merupakan seorang pendidik dan penulis yang aktif mengangkat tema-tema keislaman, isu-isu pendidikan, seni dan budaya masyarakat serta kajian ilmiah.



