oleh Abdul Wachid B.S.
Di tengah ledakan produksi film pendek, konten digital, dan pertumbuhan komunitas film pelajar, kita dihadapkan pada tantangan baru tentang bagaimana menyikapi ruang tayang publik secara sehat. Tidak cukup lagi memahami sensor sebagai alat represi; sudah waktunya sensor bertransformasi menjadi medium edukasi, apresiasi, dan kolaborasi kontekstual. Sensor bukan lagi semata perangkat pemotongan adegan, melainkan harus menjadi cermin cara kita mendidik generasi lewat layar.
Sebagai akademisi bahasa dan sastra yang juga aktif dalam komunitas literasi dan gerakan film pelajar, saya melihat bahwa kebutuhan mendesak saat ini bukan hanya soal kontrol, tetapi pemahaman. Sensor yang baik tidak boleh berdiri sebagai benteng tertutup, tetapi harus menjadi jembatan nilai antara kreator, masyarakat, dan lembaga pendidikan.
- Iklan -
Tantangan Baru dalam Dunia Audiovisual
Dulu, sensor identik dengan bioskop dan televisi. Kini, film hadir di mana-mana: di YouTube, Instagram, TikTok, bahkan diputar di lapangan desa oleh komunitas film lokal. Pelajar sudah bukan sekadar penonton; mereka produsen konten. Di sinilah kita menghadapi tantangan besar: bagaimana membangun sensor yang tidak represif tetapi justru menjadi pendidik nilai?
Data dari Lembaga Sensor Film Indonesia (2023) mencatat peningkatan signifikan jumlah film pendek buatan pelajar dan komunitas lokal dalam tiga tahun terakhir. Banyak dari karya ini lahir dari keresahan sosial, pengalaman hidup, dan warisan budaya yang otentik. Namun, karena minimnya dialog antara kreator pemula dan lembaga sensor, banyak karya potensial gagal tayang luas hanya karena dianggap “tidak sesuai norma”, tanpa pemahaman terhadap konteks produksi dan maksud artistiknya.
Sensor yang Edukatif: Membentuk Nalar Kritis, Bukan Sekadar Melarang
Konsep utama dari sensor edukatif adalah menjadikan proses sensor sebagai momen pembelajaran, bukan pemangkasan. Ketika sebuah film pelajar menampilkan adegan konflik keluarga, sensor tidak langsung menyebutnya “tidak pantas”, melainkan membuka ruang dialog: mengapa adegan itu muncul? Apa pesan moral di baliknya? Apakah penyajian tersebut bersifat afirmatif atau justru kritik sosial?
Sensor yang edukatif mengandaikan adanya literasi visual yang dibangun bersama. Artinya, lembaga sensor perlu terhubung dengan lembaga pendidikan. Para guru, siswa, dan pembimbing komunitas film dilibatkan dalam proses penilaian dan evaluasi. Sehingga sensor tidak berjalan satu arah, melainkan dialogis dan mendidik.
Sebagai contoh, ketika sebuah film pelajar dari Banyumas menampilkan kesedihan warga karena sawah mereka digusur demi proyek jalan tol, sensor seharusnya tidak menilai ini sebagai agitasi. Justru sebaliknya, sensor bisa membimbing siswa memahami cara menyampaikan kritik sosial dengan bahasa sinematik yang kuat, tetapi tetap etis.
Sensor yang Apresiatif: Merangkul Kearifan Lokal
Banyak film pelajar dan film komunitas lahir dari latar yang berbeda-beda. Logat daerah, kebiasaan lokal, dan nilai-nilai tradisional sering mewarnai cara bertutur mereka. Namun, dalam beberapa kasus, standar metropolitan masih dijadikan patokan dominan. Inilah masalahnya. Film pelajar dari desa sering “dinilai” memakai kacamata Jakarta.
Sensor yang apresiatif justru mendorong keberagaman. Setiap logat lokal, bahkan jika terdengar kasar bagi telinga luar, memiliki latar budaya yang perlu dimengerti. Sebuah film pelajar dari Madura, misalnya, menggunakan dialog keras bukan untuk kekerasan verbal, tetapi mencerminkan cara komunikasi keluarga nelayan yang lugas. Pemaknaan kontekstual seperti ini perlu menjadi acuan sensor yang lebih empatik dan apresiatif.
Apresiasi ini juga berarti membuka mata bahwa pelajar dan komunitas bukan hanya “pemula”, tetapi penjaga nilai-nilai lokal. Mereka menyimpan kearifan budaya dalam narasi yang barangkali sederhana, tetapi kuat. Dalam kutipan dari sebuah film pelajar dalam Festival Film Pelajar Purbalingga, seorang siswa berkata, “Kami bikin film ini untuk mengenang Simbah. Dia bukan siapa-siapa, tapi ngajari kami cara hidup jujur.” Ini bukan sekadar sinema; ini adalah pewarisan nilai.
Sensor yang Kontekstual: Bukan Alat Pukul, Tapi Panduan
Sensor yang kontekstual menyadari bahwa tidak semua karya film punya latar produksi dan tujuan penayangan yang sama. Film festival, film edukasi sekolah, film komunitas desa, dan film komersial tentu memerlukan pendekatan yang berbeda. Standar tunggal justru berpotensi membunuh semangat kreativitas, terutama di tingkat akar rumput.
Sensor kontekstual juga mengakui pentingnya kolaborasi. Guru, pelajar, sineas muda, pengamat media, dan tokoh adat bisa dilibatkan dalam forum konsultatif. Sensor tidak berdiri di atas menara gading, tetapi turun ke lapangan, menyapa ruang kreatif yang sedang tumbuh.
Sensor jenis ini bisa melahirkan ruang mediasi sebelum pemotongan terjadi. Misalnya, jika ada adegan kekerasan simbolik yang mengganggu, sensor dapat berdialog dengan pembuat film: apakah adegan itu bisa ditata ulang? Apakah pesan yang sama bisa disampaikan dengan simbol lain yang lebih aman? Ini bukan kompromi nilai, tapi kompromi bentuk demi tujuan edukatif.
Peran Komunitas: Membangun Literasi Audiovisual Bersama
Sensor yang mencerahkan hanya akan terwujud jika ada kolaborasi antarpihak. Komunitas film pelajar, guru bahasa dan seni budaya, serta pemerhati media lokal bisa membentuk semacam forum apresiasi dan edukasi sensor di tingkat daerah. Di forum ini, film-film pelajar bisa diuji, dibedah, dan dikritisi dengan pendekatan nilai dan bahasa visual yang edukatif.
Sebagai akademisi, saya membayangkan kurikulum sekolah yang memasukkan literasi film sebagai bagian dari pembelajaran bahasa dan budaya. Siswa diajak memahami bagaimana menyusun narasi visual, membedakan kritik sosial dan ujaran kebencian, serta memaknai simbol film sebagai bahasa kebudayaan. Dalam ruang ini, sensor menjadi bagian dari pendidikan karakter dan bukan momok yang menakutkan.
Penutup: Sensor sebagai Cermin Keberadaban Kita
Sensor bukan semata perkara aturan, tetapi refleksi cara kita memanusiakan layar. Jika kita memandang sensor hanya sebagai larangan, kita kehilangan peluang untuk membentuk generasi kritis dan berbudaya. Tapi jika sensor dijalankan dengan pendekatan edukatif, apresiatif, dan kontekstual, maka ia akan menjadi bagian penting dari proses pembentukan nalar publik yang sehat.
“Sensor adalah cermin cara kita mendidik bangsa lewat layar.” Maka, mari bersama-sama menjaga ruang tayang publik agar tetap kritis, sehat, dan membumi. Kita memerlukan sensor yang berpihak pada pendidikan nilai, bukan sekadar peraturan. Kita butuh sensor yang tidak mematahkan keberanian berkarya, tetapi membimbing arah etika kreatifnya. Di tengah banjir konten digital hari ini, sensor yang cerdas dan manusiawi justru menjadi jembatan menuju peradaban yang lebih matang.***
Penulis adalah seorang penyair, Guru Besar dan Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto.



