Oleh : Latif Nur Janah
Nurdiyah melipat baju-bajunya dengan dada terasa sesak. Ia harus pergi ke Sumatera. Dengan cara apa pun, ia akan mencari Pak Dholam. Ia merasa harus bertemu dengannya. Alasannya sederhana, Pak Dholam-lah yang dulu mengajarinya membaca sampai fasih.
Napas Nurdiyah terhela. Celah-celah dinding anyaman bambu rumahnya meloloskan angin malam yang kering. Sebelum mengemas bajunya, ia sempat bersitegang dengan suaminya. Namun, Nurdiyah tidak ambil pusing. Ia merasa berdosa jika tak bisa menemukan atau bertemu dengan Pak Dholam. Paling tidak, bertemu saja sudah membuatnya lega.
“Kamu tidak perlu merasa berdosa, Nur,” kata Burhan, suami Nurdiyah.
Ia duduk di tepi dipan. Di hadapannya, ada dua potong baju Nurdiyah yang belum dikemas. Ia ingat benar, baju itu adalah hadiah darinya ketika Nurdiyah diterima mengajar di sekolahnya sekarang. Walaupun warnanya telah memudar, Nurdiyah masih kerap memakainya. Burhan paham, itulah cara istrinya menghargai pemberian. Barangkali, dengan alasan yang sama, Ia ingin bertemu Pak Dholam, gurunya semasa kecil.
- Iklan -
“Aku tidak merasa berdosa. Aku hanya merasa tidak bertanggung jawab,” Nurdiyah menjawab dengan nada rendah.
Rupanya, baik Nurdiyah maupun Burhan tak lagi memikirkan ketegangan yang beberapa saat lalu terjadi. Burhan sudah hafal bagaimana Nurdiyah jika sudah bertekad. Selalu ada alasan yang mendasar jika ia sudah berkeinginan melakukan sesuatu.
“Kalau begitu, besok kuantar ke terminal.”
Mendengar ucapan Burhan, mata Nurdiyah berbinar. Sudah lama sekali Burhan tak melihat wajah istrinya yang seperti itu. Seolah ada bara semangat menyala dalam tatapannya.
Satu minggu yang lalu, seseorang datang menemui Nurdiyah. Ia adalah orang tua salah satu murid Nurdiyah di sekolah. Semenjak mengajar kelas satu, sering para orang tua datang ke sekolah untuk bertemu dengannya dengan alasan beragam. Mulai karena anak mereka sering menjadi korban kenakalan teman sekelas atau karena anak mereka belum bisa membaca. Alasan yang kedua inilah yang membuat Nurdiyah berkeinginan pergi ke Sumatra menemui Pak Dholam. Nurdiyah merasa tidak bertanggung jawab jika sampai muridnya tidak bisa membaca.
Beberapa malam, Nurdiyah memikirkan keinginannya bertemu Pak Dholam. Baru siang tadi, ia katakan pada Burhan. Ia bahkan bisa menebak bagaimana reaksi Burhan. Meski begitu, ia juga tak bisa menahan emosinya sendiri. Ketegangan tetap tak bisa ia hindari.
Di tengah waktu istirahat siang, Burhan mengantar Nurdiyah ke terminal. Sepanjang perjalanan dengan sepeda motor, keduanya tak banyak bicara. Deru roda kendaraan di jalanan menghasilkan kombinasi asap dan debu. Angin panas siang hari menampari wajah Burhan meski sudah tertutup helm. Di belakang, Nurdiyah sesekali menepis debu dan asap dengan tangannya.
Hanya ada dua bus yang terparkir di terminal ketika Nurdiyah dan Burhan tiba. Setelah membantu membawakan tas Nurdiyah, Burhan bergegas pulang.
“Sampaikan salamku buat Pak Dholam, Nur,”
Mendengar perkataan Burhan, dahi Nurdiyah berkerut.
“Ya,” jawab Nurdiyah pendek.
“Hati-hati.” sambung Burhan.
Kali ini, ucapan Burhan itu hanya dibalas Nurdiyah dengan anggukan.
Menjelang Ashar, bus berangkat dari terminal kecil itu. Beberapa jam berlalu, tetapi mata Nurdiyah enggan memejam. Ia teringat Ayub, muridnya yang belum bisa membaca. Masih teringat jelas bagaimana raut wajah ibu Ayub ketika menemuinya. Membayangkan itu, Nurdiyah memejamkan mata sembari menarik napas dalam-dalam. Apakah ibu Ayub merasakan tanggung jawab yang sama seperti dirinya? Apakah ketidakmampuan Ayub membaca adalah murni hanya menjadi tanggung jawabnya sebagai guru?
Batin Nurdiyah mendesak, tetapi ia sendiri tak dapat menjawab.
Memasuki pelabuhan, laju bus memelan. Aroma amis air laut tercium. Riak-riak kecil air tampak dari kaca jendela bus.
Meski tak lama, penyeberangan menggunakan kapal membuat perut Nurdiyah sedikit mual. Tak hanya dirinya, seorang pemuda meminta tolong untuk bergantian duduk. Kursi sebelah Nurdiyah yang semula ditempati seorang perempuan, kini diduduki pemuda itu. Wajahnya tampak kuyu. Beberapa bulir keringat turun dari pelipisnya meskipun udara di dalam bus berangsur dingin. Sepertinya, ia mengalami mual yang hebat. Nurdiyah menawari pemuda itu minyak angin. Namun, pemuda itu menolaknya sembari mengucapkan terima kasih.
Beberpa saat lamanya, pemuda itu tertidur. Bus kembali melaju dengan kecepatan penuh. Lampu-lampu dan pohon di tepi jalan seakan bergerak cepat dilibas laju bus. Mata Nurdiyah lelah, tetapi tak sedikit pun mengantuk. Bahkan ketika hampir semua penumpang bus itu tidur, Nurdiyah masih terjaga.
Pemuda di samping Nurdiyah bergerak ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Ponsel itu masih berada di pangkuannya sejak ia tertidur. Meskipun tak jelas, Nurdiyah tahu jika ia tengah membuka pesan suara dari seseorang. Pemuda itu pun membalasnya dengan pesan suara. Sampai sepuluh menit lamanya, pemuda itu masih saling berkirim pesan suara.
Nurdiyah masih berada pada posisi duduknya yang sedikit menjorok. Ia tak ingin membuat pemuda itu merasa tak nyaman dengan beranjak mengubah posisi duduknya.
“Saya bisa membenarkan kursi Anda, Bu,” ucap pemuda itu tulus.
Mendengar itu, Nurdiyah beranjak, “Terima kasih, tetapi saya bisa sendiri, Dik,”
Pemuda itu tersenyum. Raut wajahnya tampak ragu-ragu.
“Bisakah Ibu membacakan ini untuk saya?”
Pemuda itu menyodorkan ponselnya. Di layar, tertulis sebuah alamat. Nurdiyah membaca dengan saksama. Pemuda itu mengucapkan terima kasih.
Dalam hati Nurdiyah bertanya-tanya. Mungkinkah pemuda itu tak bisa membaca? Sejak tadi ia berkirim pesan suara. Jari tangannya jarang sekali menyentuh layar ponsel seperti layaknya orang membalas pesan.
“Saya buta huruf, Bu. Saya sedang kejar paket C.” ucapnya jujur.
“Kalau boleh tahu, Adik ini mau ke mana?”
“Saya Anjas, Bu. Saya mau ke Lampung,”
Anjas bercerita panjang kepada Nurdiyah. Ia ingin menemui kakaknya yang sudah tinggal di Lampung sejak lama. Kakaknya adalah transmigran dari Jawa berpuluh tahun yang lalu.
“Ini pertama kali saya pergi menemuinya,” lanjut Anjas.
“Kenapa bukan Kakak yang pergi ke Jawa?” tanya Nurdiyah.
“Kakak saya ngeyel, Bu,” Anjas menjawab dengan sedikit mesem.
Anjas lalu bercerita. Kakaknya ingin Anjas pergi ke Lampung. Meski Anjas buta huruf, dengan teknologi, kakaknya yakin Anjas akan sampai.
“Apa Kakak tak pernah berpikir, ya, Bu? Teknologi bisa mati hanya karena kehabisan baterai,”
Nurdiyah tersenyum miris.
“Untungnya, saya bertemu orang baik seperti Ibu,”
Nurdiyah bingung mengartikan ‘orang baik’. Ia hanya membacakan alamat yang diterima Anjas lewat pesan. Oh! Nurdiyah berdecak. Bisa saja seseorang sengaja mengganti alamat itu seenaknya sebab Anjas buta huruf. Namun, masih adakah orang-orang seperti itu? Nurdiyah bertanya dalam hati.
“Kalau boleh saya tahu, Ibu mau ke mana?” tanya Anjas kemudian.
“Saya mau menemui guru saya,” Nurdiyah sengaja menjawab seperti itu. Memberitahu alamat kepada seseorang yang baru dikenal bukan kebiasaannya.
Sesaat lagi, bus akan sampai di terminal. Sebelum turun, Anjas mengucapkan terima kasih kepada Nurdiyah. Dalam hati, Nurdiyah berdoa, semoga Anjas baik-baik saja.
Sembari menunggu taksi online, Nurdiyah kembali mengecek alamat dan nomor telepon Pak Dholam.
Membaca deretan huruf itu membuat Nurdiyah teringat masa-masanya belajar bersama Pak Dholam. Pak Dholam memang bukan pegawai negeri. Ia hanya sebatas mengajar anak-anak membaca sehabis Magrib di rumahnya. Dengan lampu teplok sebagai penerangan, Pak Dholam dengan sabar mengajari murid-muridnya. Rambut Nurdiyah pernah terbakar gara-gara terlalu menunduk ketika belajar menulis. Dengan menemuinya, barangkali ia akan mendapat pencerahan. Barangkali ada formula khusus yang bisa ia terapkan untuk mengajar muridnya.
Ketika Nurdiyah datang, Pak Dholam berada di tengah kerumunan anak-anak. Ia habis mengajar anak-anak di sekitar tempat tinggalnya. Ketika itu sore masih muda. Matahari berada di antara rerimbunan daun-daun ubi kayu di sekitar rumah Pak Dholam. Nurdiyah tak menyangka jika Pak Dholam masih sabar mengajar anak-anak. Perjumpaan guru dan murid itu mengalirkan obrolan yang panjang. Nurdiyah bercerita tentang Anjas yang ia temui di perjalanan.
“Kamu kira apa yang membuatku pindah ke Sumatera, Nur?”
Di hadapannya, Pak Dholam duduk sembari memandang ke arah daun-daun ubi kayu. Nurdiyah paham. Pendidikan di Sumatera pada saat itu, memang tak semaju di Jawa. Guru di sini hanya sedikit.
“Seperti halnya yang kamu lakukan pada Anjas. Dia bukan muridmu, bukan?”
Nurdiyah mengangguk, diam. Ia tak memungkiri rasa kecewanya ketika tahu ada pemuda di zaman sekarang yang masih buta huruf.
“Saya kurang begitu paham maksud Bapak,”
“Tanggung jawab, Nur. Bukan sebagai guru, tetapi tanggung jawab sebagai manusia.” Pak Dholam memungkasi.
Benar kata Burhan, Nurdiyah membatin. Yang selama ini ia rasakan hanyalah tanggung jawab karena rasa bersalah kepada muridnya. Bukan tanggung jawab yang murni sebagai manusia.
Setelah menginap dua malam di rumah Pak Dholam, Nurdiyah pamit. Tekad yang dibawanya saat berangkat, ia pupuk dengan kata-kata Pak Dholam tanpa formula khusus apapun.
Gemolong, 2023—2025
Latif Nur Janah, lahir di Sragen, Jawa Tengah. Menjadi penulis terpilih sayembara cerita anak dwibahasa (Jawa-Indonesia) Balai Bahasa Jawa Tengah (2024). Buku pertamanya, Suwung (2022). Saat ini menetap di Gemolong, Sragen, Jawa Tengah