Oleh Fajrul Alam
K.H. Abu Chamid adalah sosok yang sangat dikenal dan dihormati di Banyumas. Sebagai mursyid tarekat dan pendiri Pondok Pesantren Al-Ikhsan Beji, K.H. Abu Chamid meninggalkan warisan yang sangat besar bagi dunia pendidikan agama di wilayah tersebut. Kehidupan dan perjuangannya tidak hanya menginspirasi para santri, tetapi juga masyarakat luas yang mengenal dedikasi beliau dalam mengembangkan ilmu agama, mendirikan lembaga pendidikan, dan menjadi teladan dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan kebaikan. Dalam tulisan ini, akan disampaikan biografi singkat beliau dan perannya sebagai mursyid tarekat dan pendiri Pondok Pesantren Al-Ikhsan Beji, Kedungbanteng, Banyumas.
- Iklan -
Masa Kecil dan Riwayat Pendidikan K.H. Abu Chamid
K.H. Abu Chamid lahir pada 27 Februari 1929 di Sarawak, Malaysia, dengan nama lengkap Abu Chamid. Beliau adalah anak sulung dari pasangan K.H. Muhammad Sami’un dan Nyai Sartinah. Ayah K.H. Abu Chamid, yakni K.H. Muhammad Sami’un, berasal dari keluarga yang sangat dihormati dalam dunia pesantren. Saat masih muda, K.H. Sami’un memiliki cita-cita untuk pergi haji ke Mekkah. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, beliau memutuskan untuk bekerja di Sarawak, Malaysia, sebagai juru bahasa kapal yang masuk ke pelabuhan. Berbekal kemampuan bahasa Arab, Belanda, dan Inggris, K.H. Sami’un diterima bekerja di Sarawak. Di sana, beliau menikah dengan Nyai Sartinah, dan tak lama kemudian, lahirlah anak pertama mereka, Abu Chamid.
Meskipun lahir di Sarawak, K.H. Abu Chamid dan keluarganya memutuskan untuk kembali ke Indonesia saat beliau berusia dua tahun. Sejak kecil, K.H. Abu Chamid sudah mendapat didikan agama yang kuat dari ayahnya. Setiap sore dan malam, beliau belajar mengaji bersama ayahnya. Selain belajar agama, K.H. Abu Chamid juga bersekolah di Sekolah Rakyat (setara dengan SD pada zaman itu). Setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Rakyat, K.H. Abu Chamid melanjutkan pendidikannya ke pesantren yang lebih besar. Beliau pertama kali berguru di Pesantren Pageraji, Cilongok, di bawah bimbingan K.H. Nuh. Setelah itu, K.H. Abu Chamid nyantri di Pesantren Leler yang terletak di Randegan, Kebasen, Banyumas, yang diasuh oleh K.H. Hisyam Zuhdi.
Perjalanan pendidikan K.H. Abu Chamid berlanjut ke Pesantren Bendo Pare di Kediri, Jawa Timur. Di pesantren ini, beliau menghabiskan waktu selama delapan tahun untuk memperdalam ilmu agama dan memperkuat keilmuan yang telah dipelajari sebelumnya. Selama berada di pesantren-pesantren tersebut, K.H. Abu Chamid tidak hanya mendapatkan ilmu agama, tetapi juga mengasah ketekunan dan kesabaran dalam belajar. Hal ini menjadi modal besar bagi beliau dalam mengembangkan Pesantren Al-Ikhsan nantinya.
Mendirikan Pondok Pesantren Al-Ikhsan
Pada tahun 1986, setelah menikah dengan Nyai Fathonah, putri dari K.H. Ikhsan, K.H. Abu Chamid memutuskan untuk membuka Pondok Pesantren Al-Ikhsan di Desa Beji, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas. Keputusan ini diambil setelah melihat banyaknya anak muda yang membutuhkan pendidikan agama yang baik. Pondok pesantren yang didirikan oleh K.H. Abu Chamid tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga memberikan pelajaran bahasa asing, khususnya bahasa Arab dan Inggris.
Pengajaran bahasa Arab dan Inggris menjadi salah satu program unggulan di Pondok Pesantren Al-Ikhsan. Program ini bertujuan agar santri tidak hanya memahami bahasa Arab sebagai bahasa agama, tetapi juga mampu menguasai bahasa Inggris yang sangat penting di dunia global. Seiring waktu, Pesantren Al-Ikhsan semakin berkembang dan mendapat banyak perhatian dari masyarakat. Selain pendidikan agama dan bahasa, K.H. Abu Chamid juga mulai membuka lembaga pendidikan formal di pesantren ini. Pada tahun 1994, beliau membuka Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al-Ikhsan. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1997, Madrasah Aliyah (MA) Al-Ikhsan pun didirikan. K.H. Abu Chamid sangat mendukung perkembangan pendidikan di pesantren ini dan berkomitmen untuk terus memberikan pendidikan yang berkualitas kepada para santri.
K.H. Abu Chamid sebagai Mursyid Tarekat
Selain mengasuh pesantren, K.H. Abu Chamid juga dikenal sebagai salah satu Mursyid Tarekat Syadziliyah dan tokoh NU (Nahdlatul Ulama) di Banyumas. Tarekat adalah sebuah jalur spiritual dalam Islam yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. K.H. Abu Chamid menerima sanad tarekat ini dari ayahnya, K.H. Muhammad Sami’un, yang juga seorang mursyid tarekat. Sanad tarekat ini didapat dari Syekh Abdullah bin Abdul Muthalib di Kaliwungu (Kendal), yang mendapat ijazah dari Syekh Nahrawi Al Banyumasy yang masyhur di Mekkah.
Dengan mendalami tarekat Syadziliyah, K.H. Abu Chamid tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga mengajak untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan khusus. K.H. Abu Chamid adalah seorang yang sangat bijaksana, sederhana, dan penuh dengan kasih sayang. Sebagai mursyid tarekat dan tokoh NU, beliau selalu mengutamakan kepentingan umat dan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu masyarakat. Akan tetapi, pada 1 April 2016, K.H. Abu Chamid wafat. Beliau meninggalkan jejak yang sangat dalam, baik di dunia pendidikan, dakwah, tarekat, maupun dalam kehidupan masyarakat. Oleh karenanya, dedikasi beliau dalam dunia pendidikan dan tarekat serta pengabdiannya di NU terus dikenang. Pondok Pesantren Al-Ikhsan yang beliau dirikan terus berkembang pesat dan saat ini dikelola oleh cucu-cucu beliau.
-Fajrul Alam, lahir di Kebumen, Februari 2001. Kecanduan kopi dan gorengan. Saat ini seorang guru honorer di MI Ma’arif NU Beji, Kedungbanteng, Banyumas dan berkegiatan di SKSP (Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban) Purwokerto. Karya-karyanya terbit di beraneka ragam koran, buku antologi puisi, majalah, dan media online. Sedang berusaha menerbitkan antologi puisi pribadinya