Oleh Sam Edy Yuswanto*
Lelaki muda berparas rupawan itu biasa dipanggil Gus Malik. Nama lengkapnya Muhammad Malik Abdullah. Usianya 21 tahun. Sejatinya ia merasa risih dengan panggilan “Gus” di depan nama aslinya. Selama ini, di sebagian pesantren di Jawa Timur “Gus” memang menjadi panggilan tanda hormat untuk para putra kiai. Sementara “Ning” panggilan hormat kepada putri kiai.
Gus Malik memang berbeda dengan dua saudaranya, Gus Farhan dan Gus Fikri yang raut keduanya terlihat begitu menikmati saat ada orang yang memanggil “Gus”. Terlebih bila disertai dengan membungkuk badan seraya mencium punggung telapak tangan, mereka berdua seolah tak ingin melepaskan tangan yang sedang dicium oleh para santrinya Abah. Abah adalah panggilan takzim buat ayahnya. Para santri juga memanggil Abah. Biasanya ditambahi embel-embel Yai di belakangnya: ‘Abah Yai’.
Selama ini diam-diam Gus Malik kerap memperhatikan ekspresi raut wajah kedua saudaranya yang telah menikah itu saat tengah bercengkerama dengan para santri, warga sekitar, atau saat berpapasan dengan para pengurus pesantren yang dipimpin oleh Abah.
Tentu saja Gus Malik tak pernah membeberkan hal itu pada orang lain. Bagaimana pun, mereka kakak kandungnya yang harus dihormati dan bila memiliki kekurangan atau aib, harus ditutupi. Karena Gus Malik sangat yakin bila dirinya juga memiliki aib serta kekurangan yang bila sampai dibeberkan oleh orang lain tentu ia akan merasa malu.
Apalah kata orang-orang, bila sampai Gus Malik membeberkan sifat kedua saudaranya yang menurutnya terlalu nge-Gus itu. Sama artinya ia mencoreng nama baik saudara-saudaranya yang selama ini ikut membantu para santri mengaji. Gus Malik hanya bisa berharap dan berdoa, semoga ia beserta kedua saudaranya dijauhkan dari sifat-sifat ujub atau merasa berbangga diri lantaran terlahir sebagai putra kiai yang kerap mendapatkan penghormatan berlebihan dari masyarakat dan para santri.
***
“Gus Malik,”
Gus Malik melotot ke arah Niam gara-gara dipanggil Gus. Niam adalah salah satu santri senior yang selama ini menjadi penderek tetap, atau semacam teman khusus yang kesehariannya meladeni segala kebutuhannya.
“Mas Niam lupa, ya? Panggil Mas saja,”
“Tapi, Gus, eh, Mas… nanti kalau,”
“Mas Niam, kan sudah pernah saya bilang, panggil Mas kalau kita sedang berdua atau saat berada di luar pesantren, kalau lagi bareng keluarga dan para santri, Mas Niam boleh panggil saya Gus,” potong Gus Malik panjang lebar.
“Inggih, Mas Malik, siap,”
Tak hanya pada Niam, kepada beberapa pengurus yang dekat dengan Gus Malik, ia juga melarang mereka memanggil Gus. Tentu dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Gus Malik, yakni manggil “Mas” saat sedang berdua, dan manggil “Gus” saat tengah berada di antara keluarga Abah dan para santri.
Sikap dan pembawaan Gus Malik yang sangat jauh berbeda dengan kedua saudaranya itu sontak membuat orang-orang heran tapi justru membuat mereka kagum dan sangat menyukainya. Selain itu, Gus Malik juga gemar membaur dengan para santri. Tak jarang ia ikut makan bareng santri di dapur umum, atau berlama-lama mengobrol dengan para santri di teras komplek dan kantin, dengan tujuan agar tahu apa saja kendala yang dialami oleh para santri yang bermukim di pesantren milik Abahnya.
Bahkan masyarakat di luar pesantren pun terlihat menyukai kepribadian Gus Malik yang ramah dan kerap menyapa mereka lebih dulu. Selain dikenal ramah dan selalu menyapa para warga, ia juga gemar menolong mereka yang tengah kesulitan ekonomi. Misalnya, diam-diam setiap bulan, Gus Malik mengajak Niam berkeliling jalan kaki ke rumah-rumah masyarakat untuk memberikan bantuan pada orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Niam sempat heran dan tak kuasa menahan rasa penasarannya saat suatu hari disuruh membeli satu dus amplop oleh Gus Malik. Setahu Niam, satu dus berisi seratus amplop. Kira-kira buat apa Gus Malik membeli segitu banyak amplop, ya? Batin Niam. Saking tak kuasa menahan penasaran, ia pun bertanya.
“Mas, kalau boleh tahu, amplopnya buat…,”
“Nanti Mas Niam akan tahu sendiri, tapi ini rahasia kita berdua ya, Mas?” Gus Malik memotong pertanyaan Niam. Mendapati jawaban seperti itu malah bikin rasa penasaran Niam kian menjadi-jadi. Tapi ia berusaha menahan diri dan bersabar menunggu jawabannya nanti.
“Oiya, tolong nanti Mas Niam ikut saya keluar sebentar, ya? Saya ingin jalan-jalan sebentar, menikmati suasana pedesaan,” pinta Gus Malik.
“Siap, Mas,”
Sungguh Niam tak menyangka bila amplop-amplop tersebut diisi lembaran uang dan selanjutnya dibagi-bagikan kepada warga di kampungnya yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dari Gus Malik, Niam banyak belajar tentang cara menghormati dan memanusiakan sesama tanpa pandang bulu. Dari Gus Malik pula ia belajar bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Ia berharap kelak bisa mencontoh kedermawanan Gus Malik saat sudah boyong atau mukim ke kota kelahirannya.
***
Suatu hari, Gus Malik mendatangi Niam yang sedang duduk santai di depan kamar bersama teman-temannya. Begitu melihat kedatangan Gus Malik, para santri langsung berebut menyalami dengan sangat takzim sambil berusaha mencium punggung telapak Gus Malik. Sebenarnya para santri sudah hafal bila Gus Malik tak menyukai bila tangannya dicium. Tapi entah mengapa mereka tetap bersikukuh mencium tangan berharap ketularan berkah Gus Malik. Niam diam-diam tertawa geli saat melihat Gus Malik dengan begitu cekatan menarik-narik tangannya sendiri saat hendak dicium oleh para santri.
Satu hal lagi yang dikagumi Niam dari sosok Gus Malik. Gus Malik selalu memanggil para santrinya Abah yang berjumlah sekitar seribu itu dengan embel-embel “Mas” atau “Dik”. Bila dirasa santri tersebut sebaya atau lebih tua darinya, ia akan memanggilnya Mas. Bila dirasa lebih muda, ia akan memanggil Dik. Bagi Gus Malik, memanggil seseorang dengan embel-embel Mas atau Dik merupakan salah satu cara untuk menghormati sekaligus mengakrabi mereka.
“Mas Niam, tolong nanti habis salat Zuhur ketemu saya, ya? Bisa, kan?”
“Nggih, Gus. Bisa,”
“Makasih, Mas,”
“Sami-sami, Mas,” Niam tersenyum dan mengangguk.
Selepas salat Zuhur, Niam pun segera mendatangi kamar Gus Malik yang berada di samping ndalem-nya Abah. Ternyata Gus Malik hendak mengajak Niam ke kota sebelah. Gus Malik ingin ditemani jalan-jalan sejenak, sekadar mengusir bosan.
Mungkin banyak orang yang memandang kehidupan kusmani begitu sempurna, bergelimang harta, dihormati dan semua kebutuhan terpenuhi. Jauh di dalam lubuk hati Gus Malik sering merasa hidupnya monoton dan membosankan. Kalau boleh memilih, ia ingin hidup seperti orang-orang pada umumnya, tanpa ada yang menghormatinya secara berlebihan.
***
“Biar saja saja yang nyetir ya, Mas,”
Gus Malik mengangguk. “Iya, tadinya saya juga mau minta tolong gitu, hehe,” Gus Malik terkekeh. Satu pelajaran yang berhasil didapat Niam hari itu. Ia akan berusaha meniru kebiasaan Gus Malik yang selalu menyertakan kata ‘tolong’ saat meminta sesuatu. Tak hanya itu, Gus Malik juga selalu mengucap kata ‘terima kasih’ usai mendapatkan pertolongan dari siapa pun. Termasuk para santri.
Singkat cerita, dengan mengendarai mobil matic warna putih, Gus Malik dan Niam mengunjungi salah satu wisata pantai selatan yang ada di kota sebelah. Butuh waktu sekitar dua jam lebih sedikit untuk tiba di sana. Sudah cukup lama Gus Malik tak melihat pantai. Terakhir ke pantai ketika ia diajak Abah usai menghadiri undangan pengajian di kota Yogyakarta.
“Wah cocok ini Mas Malik,” ujar Niam saat duduk santai di sebuah saung bambu di tepi pantai. Di pantai tersebut memang difasilitasi saung-saung bambu sebagai tempat berteduh. Sayangnya, masyarakat sekitar dan para pengunjung masih kurang peka dengan kebersihan pantai. Di sana-sini terlihat sampah bekas bungkus makanan dan minuman berceceran.
“Cocok apanya, Mas Niam?” Gus Malik penasaran.
“Ya, cocok diajak Mas ke sini, seumur-umur baru kali ini saya ke pantai. Rumah saya kan berada di pegunungan Mas, jadi kalau ingin ke pantai jauhnya minta ampun, hehehe,” terang Niam.
“Iyakah? Wah, kapan-kapan saya ingin berkunjung ke rumahmu, boleh Mas Niam?”
“Waduh, serius Mas Malik ingin ke rumah saya?”
Gus Malik tersenyum “Eh, kenapa nada bicara Mas Niam kayak keberatan gitu, nggak boleh, ya?”
“Eh, bo… boleh banget, Mas, tapi… rumah orangtua saya jelek, Mas, saya takut Mas nggak kerasan nantinya,”
“Saya ke rumah Mas Niam kan tujuannya ingin menjalin silaturahmi, lagian di sisi Tuhan kita semua sama, yang membedakan hanya ketakwaannya saja,” terang Gus Malik membuat Niam manggut-manggut. Makin kagum ia dengan karakter Gus Malik yang sangat jauh berbeda dengan kedua saudaranya yang lain. Boro-boro bisa ngobrol sedekat ini, tiap berpapasan Gus Farhan dan Gus Fikri yang bisa ia lakukan tak lebih dari sekadar bersalaman dan mencium punggung telapak tangan mereka. Mau bertanya atau menyapa tak berani. Takut salah. Takut dikira suul adab, tak sopan. Bersama Gus Malik, Niam merasa benar-benar dihargai sebagai santri. Sungguh ia merasa sangat beruntung menjadi santri Abah sekaligus penderek Gus Malik.
***
Sepulang dari luar kota, Niam meminta izin pada Gus Malik untuk kembali ke kamar. Gus Malik langsung mengiyakan. Tak lupa ia menyampaikan terima kasih kepada Niam karena telah menemaninya jalan-jalan.
“Saya yang harusnya berterima kasih sama Mas Malik, telah diajak jalan-jalan,” ucap Niam dengan nada sungkan. Gus Malik hanya tersenyum lalu berkata, “Udah sana, katanya mau ke kamar”.
“Hehe, Nggih, Gus, eh Mas,”
Niam pun segera keluar kamar Gus Malik. Di tengah jalan menuju kamar, tak sengaja ia berpapasan dengan Gus Farhan. Niam buru-buru merundukkan badan dan segera sungkem padanya.
“Habis dari mana kamu sama Gus Malik, malam-malam begini baru pulang?” Gus Farhan menatap Niam dengan raut penuh selidik. Nadanya terdengar ketus dan tatapannya begitu menusuk. Niam merasa mati kutu dan akhirnya tak punya pilihan lain selain mengatakan dengan jujur bahwa ia barusan diajak Gus Malik mengunjungi wisata pantai di luar kota.
“Rungokno, yo (dengerin, ya), lain kali kalau diajak Gus Malik dolan-dolan nggak penting, jangan dilayani ya, cari alasan apa gitu, kamu di sini tugasnya ngaji bukan keluyuran,” ucapan yang keluar dari mulut Gus Farhan membikin Niam merasa serba salah dan dilema. Sungguh, karakter Gus Malik sangat jauh berbeda dengan saudaranya.
Niam masih ingat kata-kata Gus Malik beberapa jam lalu, bahwa mengunjungi tempat wisata dapat dijadikan sebagai sarana tadabur atau merenungi keindahan alam ciptaan-Nya. Tapi lain halnya dengan pendapat Gus Farhan yang menganggap hal tersebut sebagai perbuatan sia-sia. Entahlah. Kepala Niam mendadak terasa pening ketika teringat permintaan Gus Malik saat di pantai tadi sore. Katanya, bulan depan ia ingin diantar pergi ke pantai lagi.
***
Puring Kebumen, 16 Juli 2020.
Sam Edy Yuswanto*
*Lahir dan berdomisili di Puring Kebumen Jateng. Tulisannya banyak tersiar di berbagai media cetak, lokal hingga nasional, antara lain: Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Jateng Pos, Radar Surabaya, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, dll. Buku kumpulan cerpen solonya yang telah terbit antara lain; Kiai Amplop, Percakapan Kunang-kunang, Impian Maya, Kaya dan Miskin, dan Filosofi Rindu.