Oleh: Ilham Wahyudi
Bila kemarin adalah musim memetik dan memanen senyum—setelah mantan bosnya menyanggupi permintaannya—maka esok ialah hari bagi buah busuk kesuraman dan juga daun layu kemuraman.
Mahli bin Malik sepatutnya lebih mahir menyembunyikan muka kesusahannya. Bukan bau kecemasan yang pantas ia semburkan, melainkan semerbak wangi harapan yang layak menyeruak. Akan tetapi, Mahli memang lelaki yang tidak terampil menyembunyikan air muka, sehingga mudah percuma orang lain menebak warna hatinya yang bergejolak.
Wajahnya yang sudah keriput itu, sekarang malah lebih mirip kerupuk jangek, berminyak dan kusam. Apa sebab? Apalagi kalau bukan soal bayangan kelam masa depan Abdul Jamil, anak semata wayangnya.
- Iklan -
Memasuki usia yang berat ke tanah, Mahli memang berusaha untuk tidak segaris pun surut merenangi lautan impiannya. Menerbangkan Jamil ke pesawat tinggi pendidikan adalah puncak gunung pendakiannya sebelum hembus nafasnya ditarik ajal. Mahli paham betul uang kertas mestilah jangkung memanjang jika jalan menuju gelar sarjana ingin lepang dilalui anaknya. Namun warta perihal masa baktinya teramat laju mengejar pintu pensiun. Lantas, uang dari mana membiayai titel sarjana sampai melekat di nama anaknya? Soal uang, biar waktu saja yang mengambil peran. Dulu, saat menikahi Marlina, istrinya, Mahli juga tak punya cukup uang, bahkan pekerjaan.
Sahih sekali. Mahli dulu memang tak pernah mengira jika pengangguran sepertinya mampu menikahi Marlina. Namun berkat kecakapannya menyakinkan Marlina dan ayah Marlina, ia pun melenggang manis duduk di kursi pelaminan.
Nasib baik berlanjut. Bermodal kegigihan mencari kerja ke mana-mana, sampai merantau ke kota besar, Mahli akhirnya berhasil menjadi sopir salah seorang pengusaha yang sedang merintis sukses kala itu.
Adalah Tuan Bokalince, penguasaha kaya naik daun yang menggunakan jasa Mahli. Awal Mahli menjadi sopir, bisnis Tuan Bokalince belum ada apa-apanya. Namun sepuluh tahun belakangan, bisnis Tuan Bokalince seperti tak terbendung oleh apa pun dan siapa pun. Beliau tampil bak gurita raksasa yang siap mencengkram dan menerkam semua peluang bisnis.
Kini ketika usia Mahli nyaris memasuki kepala enam dan bisnis Tuan Bokalince sudah semakin merajalela menjalar, ia malah dipensiunkan. Dan sebagai imbal jerih kesetiaan Mahli, sejumlah uang pesangon dan sebuah mobil yang dulu biasa dipakainya untuk mengantar Tuan Bokalince di awal-awal merintis bisnis, sudah pula berganti pemilik; menjadi milik Mahli.
Tuan Bokalince sesungguhnya tidak bulat hati memensiunkan Mahli. Tetapi, setahun belakangan sebelum maklumat pensiun mendarat di daun telinganya, Mahli acapkali berada dalam situasi pertaruhan nyawa ketika menyopiri Tuan Bokalince. Bahkan bukan hanya nyaris bertabrakan, sampai menabrakan pun pernah. Nasib elok tak ada korban jiwa; baik yang menabrak atau yang ditabrak. Tak ingin kemudian hari Mahli dihantam petaka, Tuan Bokalince pun menuntaskan tugas mulia Mahli.
Akan tetapi beberapa bulan setelah pensiun, mobil itu Mahli jual. Alasannya, selain belum membutuhkan mobil untuk keperluannya sehari-hari, Mahli belakangan malah gentar mengendarai mobil pasca pensiun. Lagi pula biaya perawatan mobil, kan tak tipis. Ketimbang tekor diperawatan, mending mobilnya dijual dan uangnya ditabung buat rencana kuliah Jamil. Sementara uang pensiun dari Tuan Bokalince, Mahli putar untuk modal usaha Marlina membuka warung nasi kecil-kecilan.
Sejak pensiun, Mahli benar-benar menjadi pengangguran. Ia mau tak mau cuma bergantung dari usaha yang dirintis istrinya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mahli amat mahfum, ia tiada daya lagi memburu-menguber kerja setelah pensiun. Siapa pula yang ingin menggunakan tenaga lelaki yang nyaris tenggelam. Untung Marlina tak selawas Mahli; cukup kuat berdagang nasi.
Belum lama usaha warung nasi istrinya berjalan, naas menghampiri hidup Mahli. Bakar adik ipar Mahli lancang mengundang petaka datang. Sepulang dari pasar mengantarkan kakaknya, Bakar menabrak seorang siswa sekolah dasar yang sedang menyeberang. Tak tanggung-tanggung, siswa itu harus dioperasi karena kakinya patah tebu. Roboh semua impian Mahli. Uang hasil penjualan mobil yang ia rancang untuk biaya kuliah Jamil, terpaksa bergeser fungsi menjadi obat penawar siswa yang ditabrak Bakar. Itu belum termasuk biaya perawatan luka-luka Marlina dan Bakar, akibatnya Mahli dipaksa berutang pada saudara dan tetangga.
¤ ¤ ¤
Waktu pendaftaran mahasiswa baru tinggal beberapa minggu lagi. Jamil sudah ancang-ancang ingin kuliah di jurusan komunikasi. Ia memang sudah lama bercita-cita menjadi jurnalis. Menurutnya, kerja jurnalis itu keren. Betapa tidak, jurnalis di mata Jamil seumpama corong rakyat dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan. Dan dia ingin sekali menjadi corong bagi orang-orang yang tertindas dan tak mendapatkan keadilan.
“Pak, uang pendaftaran kuliah Jamil sudah ada?” selidik Jamil.
Mahli terdiam. Dikaisnya janggut lebatnya sembari mencari jawaban. Semua uang: jual mobil, uang pensiun, bahkan uang hutang sudah kandas, bisik batinnya memantul ke telinganya. Namun, tidak ingin melihat Jamil dipeluk kecewa, ia pun buru-buru menjulurkan jawaban.
“Sudah. Dua hari lagi uangnya bapak berikan,” jawab Mahli lempang.
Mendengar jawaban bapaknya, Jamil pun beringsut ke kamar. Namun dalam hati Jamil khawatir, sebab air muka ayahnya bukan air muka yang menyenangkan hati. Jamil hanya bisa pasrah sambil berdoa, moga dua hari penantiannya menerbitkan mekar senyum dari bibir ayahnya yang tampak makin keriput.
Mahli kembali mengais janggutnya yang lebat dengan jemarinya yang mulai terlihat berkerut-kerut—seperti sedang melacak jawaban yang tercecer entah di mana. Tetapi, jawaban yang laksana peta jalan keluar kebuntuan pikirannya, tak juga mampu ia temukan. Hampir meledak rasanya batok kepala Mahli memikirkan. Terbayang uang penjualan mobil tempo hari yang lumayan tebal jumlahnya, membuatnya berandai-andai, sekiranya tak terjadi kecelakaan pasti tak akan sepening ini, pikirnya setengah menyerah.
Dalam keputusasaannya, melintas wajah Tuan Bokalince, bosnya yang baik budi. Sepertinya Tuan Bokalince adalah peta jalan keluar dari sandera kebuntuan yang mengurungnya. Apalagi sewaktu ia pamit pensiun, Tuan Bokalince pernah berpesan agar Mahli tak sungkan meminta bantuan dan pertolongan bila ia buntu mencari jalan keluar.
Mungkin memang saatnya meminta bantuan beliau, pikir Mahli. Maka, dengan harapan yang masih membumbung, ia pun memberanikan diri menelepon mantan majikannya itu.
“Baiklah. Nanti saya minta sekretaris saya mengirimkan uang ke rekening Pak Mahli. Sudah jangan khawatir, Jamil saya pastikan akan kuliah!” kata Tuan Bokalince yang paham kesulitan Mahli dan tak ingin Mahli terlampau lama terbenam dalam pikiran kelam.
“Terima kasih. Semoga tuan dan keluarga selalu diberikan sehat dan kesuksesan,” jawab Mahli dengan doa tulus.
Keesokan hari selepas duha, Mahli pergi ke bank memastikan uang Tuan Bokalince sudah mendarat selamat di rekeningnya. Semalam selepas isya, sekretaris Tuan Bokalince mengabarkan jika uang yang dibutuhkan Mahli sudah ditransfer.
Berbunga-bunga hati Mahli tatkala melihat saldo tabungannya berubah gendut. Uang yang masuk ternyata sepuluh kali lipat dari harga mobil pemberian Tuan Bokalince yang ia jual. Uang sebanyak itu, sangat cukup membiayai kuliah Mahli sampai selesai dan membayar utang-utangnya. Bahkan kalau pun ia mau pergi umrah bersama istri dan anaknya esok hari, uang pemberian Tuan Bokalince, pun masih cukup.
Sepanjang jalan pulang ke rumah, Mahli tak berhenti mengucapkan syukur seraya mendoakan mantan bosnya itu dalam hati. Beliau bukan hanya baik saat ia masih bekerja, tetapi setelah pensiun, pun masih tetap baik dan peduli kepada Mahli.
Tapi, setiba di rumah, wajah Mahli mendadak keruh. Apa hal? Bukankah barusan perkara yang belakangan ini melilit-memilin kepalanya sudah berhasil ia urai?
Lama Mahli terpaku. Terbayang wajah Jamil anaknya yang ia janjikan kemarin.
“Apa betul berita itu, Bu? Tidak salah lihat, kan?” selidik Mahli.
“Bapak lihat saja nanti. Pasti ada lagi beritanya. Soalnya ada menteri juga yang tertangkap, Pak,” balas Marlina meyakinkan.
Tak lama berselang, televisi yang menyala kembali memberitakan peristiwa tangkap tangan seorang menteri dengan seorang pengusaha besar di sebuah lobi hotel mewah. Mahli benar-benar terpukul; bagai petinju yang terkena tubi uppercut. Berita tentang pengusaha di televisi itu senyata orang yang dulu selalu ia antar ke mana pergi.
Pikiran Mahli semakin balau, liar melompat ke berbagai kemungkinan. Salah satunya soal uang pemberian Tuan Bokalince. Ia khawatir uang yang sudah menjadi miliknya akan dipersoalkan kemudian hari. Seperti yang sudah jamak terjadi, transaksi keuangan koruptor pasti akan diselidiki. Tidak hanya itu, ia pun bisa terseret-seret dalam drama korupsi Tuan Bokalince. Lalu, bagaimana nasib kuliah Jamil?
Entahlah! Biar waktu saja yang menjawab. Bukankah Mahli sudah mahir menanggung godam petaka?
Akasia.
ILHAM WAHYUDI. Lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU Timur, salah seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur, dan seorang fundraiser profesional di Adhigana Fundraising. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan ada yang ditolak redaksi. Buku kumpulan cerpennya “Ha Ha Hi Hi” akan segera terbit.