Oleh: Salman Akif Faylasuf *
Beberapa waktu lalu beredar video pembacokan guru oleh murid di Sekolah. Melansir dari Tribun-Video.com/TribunJateng.com, detik-detik Ali Fatkhur bersimbah darah seusai dibacok siswanya berinisial AR, terekam dalam sebuah video amatir. Tampak dalam video Ali Fatkhur hendak dilarikan ke rumah sakit dengan bantuan sejumlah guru lainnya.
Terlihat, seragam yang dikenakan korban sudah penuh darah. Guru MA YASUA Demak mengalami tersebut mengalami luka cukup serius dibagian lehernya seusai dibacok menggunakan senjata tajam (sajam) jenis celurit (lebih jelasnya silahkan tonton video.
Dari kejadian ini membuktikan bahwa sang murid tidak mempunyai adab dan nir empati. Orangtua dan para pendidik mesti mawas diri, karena bisa jadi kesalahan pola asuh dan didik selama ini. Orangtua gagal membentuk anak sholeh dan sholehah karena membiarkan mereka dididik oleh zaman. Tak terkecuali, sistem pendidikan juga gagal mencetak pelajar bermoral (karena membiarkan hedonisme dan budaya liberal masuk ke lini pendidikan).
- Iklan -
Seharusnya, murid atau remaja sebagai tonggak estapet masa depan seharusnya disiapkan secara matang dengan memberikan penanaman akidah yang kokoh dan moral yang baik. Krisis adab yang melanda para pelajar Indonesia mencerminkan gagalnya pendidikan saat ini menciptakan generasi yang beriman dan bertakwa.
Bahkan, ironisnya, badan Narkotika Nasional (BNN) juga melaporkan hasil survei bahwa ada 2,3 juta pelajar yang mengkonsumsi narkoba. Tidak sedikit pula pelajar putri yang menjalankan profesi sebagai PSK. Bahkan ada pelajar yang malah menjadi mucikari dengan menawarkan teman-temannya kepada para lelaki hidung belang.
Pertanyaannya adalah bagaimana cara membentuk generasi yang bermoral (berakhlak)? Mengingat, sudah saatnya kita menyelamatkan para pelajar (remaja) dari krisis akhlak. Mereka adalah harapan masa depan umat ini. Karena itu, jangan sampai remaja saat ini terperosok ke dalam kubangan lumpur sekularisme, hedonisme dan premanisme.
Sekilas tentang akhlak
Kata khuluq, jika tidak dibarengi dengan adjektifnya, maka ia selalu berarti budi pekerti yang luhur, tingkah laku dan watak yang terpuji. Sedang dalam buku yang lain dalam menjelaskan pengertian akhlak Quraish Shihab mengatakan, bahwa kata akhlak walaupun terambil dari bahasa arab (yang biasa berartikan tabiat, perangai, kebiasaan bahkan agama). Namun, kata itu tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Justru yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam al-Qur’an surat Al-Qalam ayat 4. Allah Swt. berfirman:
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
Artinya: “Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qalam [68]: 4).
Penting dicatat, bahwa Rasulullah Saw. sendiri membawa misi untuk menyempurnakan akhlak. Hal ini sebagaimana sabdanya:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
Artinya: “Sesungguhnya, aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Ahmad).
Hadits ini menjadi salah satu bukti otentik bahwa Nabi Muhammad Saw. lahir sebagai pembawa Islam yang penuh rahmat dan perbaikan akhlak. Peradaban itu terus berkembang sehingga manjadikan Islam sebagai agama yang diminati dan digemari. Perkembangannya sangat pesat, diterima oleh mayoritas kalangan.
Kalaupun misalnya ada yang menolak, hal itu bukan atas dasar ketidaksenangan mereka kepada akhlak Rasulullah Saw., akan tetapi atas dasar fanatisme pada keyakinan sebelumnya, kepentingan yang terusik, atau faktor lain. Akhlak menyangkut hubungan makhluk Khaliq dan hubungan makhluk-makhluk dalam tatanan nilai-nilai ilahiyah. Hubungan makhluk Khaliq disebut ibadah, sedangkan hubungan makhluk-makhluk dinamakan mu’amalah.
Adapun sosok manusia yang memiliki komitmen yang paling sempurna dalam melaksanakan, memelihara dan menjaga hubungan tersebut adalah Rasulullah Saw. Sedangkan puncak dari hubungan tersebut terletak pada shalat. Makanya cukup beralasan, bila Rasulullah Saw. mengetengahkan keteladanan yang paling utama untuk didikuti adalah shalat yang beliau lakukan.
Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika. Kenapa demikian? Karena etika hanya dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Sementara itu, akhlak lebih luas maknanya dari pada yang telah dikemukakan terdahulu, serta mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah.
Misalnya yang berkaitan dengan sifat batin maupun pikiran. Akhlak inilah mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah Swt., hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa).
Membentuk pendidikan akhlak
Menarik apa dikatakan oleh Habib Husein Bin Ja’far Al-Hadar, bahwa “Secantik-cantiknya orang, sekaya-kayanya orang, seningrat-ningratnya orang kalau tidak punya akhlak pasti mentok tiga bulan, enam bulan atau satu tahun. Selebihnya bosen. Karena makanan batin kita itu bukan uang, bukan jabatan, bukan peningratan, tapi kebaikan akhlak yang agung.”
Syahdan, pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. John Dewey salah seorang filsuf dari Amerika Serikat yang dikenal sebagai kritikus sosial tentang pendidikan menyatakan, bahwa pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi social, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup.
Setidaknya, pernyataan ini mengisyaratkan bahwa pendidikan adalah suatu yang niscaya dalam kehidupan manusia. Sesederhana apapun kehidupan manusia, namun ia tetap memerlukan pendidikan. Dalam arti lain, adanya kehidupan dan komunitas manusia di tentukan oleh aktivitas pendidikan di dalamnya.
Berbeda dengan Al-Ghazali yang mengartikan pendidikan yaitu, menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik. Dengan demikian, pendidikan adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk melahirkan perubahan-perubahan progressive pada tingkah laku manusia.
Dari sini sudah jelas bahwa, substansi dari pendidikan adalah pendidikan akhlak. Bisa dikatakan juga bahwa pendidikan akhlak dan pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh seorang pendidik untuk membentuk tabiat yang baik pada seorang anak didik, sehingga terbentuk manusia yang taat kepada Allah Swt. Pembentukan tabiat ini dilakukan oleh pendidik secara kontinue dengan tidak ada paksaan dari pihak manapun.
Lalu bagaimana metodenya?
Syahdan, berkenaan dengan metode pendidikan ada tiga aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, adalah aspek yang berkaitan dengan tujuan utama pendidikan islam dalam pembentukan karakter khalifah. Peranan pendidik adalah aktif untuk pembentukan karakter ini, tidak dibenarkan anak-anak dibiarkan saja.
Kedua, adalah berkenaan dengan berbagai metode yang tersebut di dalam al-Qur’an seperti lemah lembut, memulakan dengan yang mudah, memilih waktu yang tepat, deduksi, cerita dan lain-lain. Sementara aspek ketiga adalah berkenaan dengan penggerakan (motivasi) yang melibatkan ganjaran dan hukuman.
Ibn Miskawaih mengatakan, bahwa dalam mencapai akhlak yang baik, maka pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-adat wa al-jihad) untuk meperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa.
Tentu saja, latihan ini terutama diarahkan agar manusia tidak memperturutkan kemauan jiwa al-syahwaniyyat dan al-ghadabiyyat. Karena kedua jiwa ini sangat terkait dengan alat tubuh, maka wujud latihan dan menahan diri dapat dilakukan antara lain dengan tidak makan dan tidak minum yang membawa kerusakan tubuh, atau dengan melakukan puasa.
Tetapi, apabila kemalasan muncul, maka latihan yang patut dilakukan antara lain dengan bekerja yang di dalamnya mengandung unsur yang berat. Misalnya mengerjakan shalat yang lima atau melakukan sebagian pekerjaan yang baik yang di dalamnya mengandung unsur yang melelahkan.
Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya sendiri. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah, pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Maka dengan cara ini, seseorang tidak akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin kepada parbuatan buruk dan akibatnya yang dialami orang lain.
Tak hanya itu, cara mengajarkan akhlak dapat dilakukan dengan Taqdim al-Takhalli an al-Akhlaq al-Madhmumah thumma Tahalli bi al-Akhlaq al-Mahmudah, yakni dalam membawakan ajaran moral atau al-Akhlaq al-Mahmudah adalah dengan jalan Takhalli (mengosongkan atau meninggalkan), al-Akhlaq al-Madhmumah (akhlak yang tercela), kemudian Tahalli (mengisi atau melaksanakan ) dan al-Akhlaq al-Mahmudah (akhlak yang terpuji). Dalam pengajaran akhlak itu, haruslah menjadikan iman sebagai pondasi dan sumbernya. Iman itu sebagai nikmat besar yang menjadikan manusia bahagia di dunia dan akhirat.
Sederhananya, metode-metode dalam pembentukan akhlak diantaranya adalah, olah jiwa, pembiasaan, keteladanan dan lingkungan yang sehat. Jika hal ini semuanya terlaksana dengan baik, maka penanaman pendidikan akhlak akan berjalan mulus, dan begitu sebaliknya. Sehingga para murid tidak hanya memperoleh prestasi-prestasi keilmuan secara akademik, melainkan juga mapan secara akhlak. Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga merupakan kontributor tetap di E-Harian Aula Online, Jawa Timur.