Cerpen karya Erwin Setia
Malam terakhir ketika Mardi Zulfu mengimami salat Isya di Masjid Al-Hidayah, jumlah jemaahnya hanya dua butir kepala: lelaki tua setengah buta yang dianggap gila oleh masyarakat sekitar dan seorang bocah bermata juling yang selalu berteriak ketika mengucapkan ‘amin’ sampai telinga Mardi Zulfu pengang. Selepas salat, Mardi Zulfu memantapkan keputusannya: ia akan berhenti menjadi ustaz. Ia tidak akan lagi mengumandangkan azan, mengimami salat, atau mengisi pengajian. Ia menganggap semua itu percuma, sebab makin lama jemaah salat dan pengajiannya semakin menipis. Mardi Zulfu tahu putus asa adalah sikap tercela, tapi ia memilih untuk dianggap putus asa ketimbang terus-menerus beraktivitas dalam keterpaksaan. Lagi pula ia sudah punya rencana lain. Ia akan banting setir jadi cerpenis. Dari seorang lelaki asing yang dijumpainya dalam suatu perjalanan di atas bus, ia pernah mendengar kisah seorang wanita muda berparas menawan mendapatkan hidayah setelah membaca sebuah cerita pendek di koran minggu.
“Apa betul seseorang bisa mendapat hidayah karena membaca cerpen?” tanya Mardi Zulfu meminta kepastian.
“Kau sama sekali tidak salah dengar dan aku sama sekali tidak salah bicara,” kata lelaki asing itu dengan senyum mengembang. “Meskipun kita baru bertemu hari ini, percayalah, aku tidak sedang berbual. Apalagi kudengar kau seorang ustaz. Mana mungkin lah aku berdusta kepada orang alim sepertimu? Bisa-bisa aku masuk ke neraka terdalam.”
- Iklan -
Percakapan dengan lelaki asing itulah yang terngiang di kepala Mardi Zulfu ketika ia melangkah keluar dari masjid. Ia memandangi masjid yang besar dan lengang itu dengan nanar. Dalam hatinya ia berjanji akan kembali datang ke masjid untuk bersujud penuh syukur, kelak ketika ia sudah berhasil menulis ratusan cerpen dan membuat ribuan orang terkena cahaya hidayah yang terpancar dari cerita-cerita karangannya.
Dini hari itu juga, bermodal laptop yang ia peroleh setelah menjuarai lomba menghafal alquran bertahun-tahun lampau, Mardi Zulfu duduk di kursi kerjanya, mengetik dengan serius. Biasanya pada jam-jam seperti itu Mardi Zulfu salat tahajjud dan membaca beberapa lembar ayat alquran. Tapi kali ini ia fokus menggarap sebuah cerita pendek perdananya. Mardi Zulfu tak begitu merasa berdosa telah meninggalkan salat tahajjud yang biasa dikerjakannya, sebab ia tahu Tuhan pasti memaklumi niat baik di balik aktivitasnya menulis cerpen. Tidak mungkin, kan, Engkau, wahai Tuhan, menghukumku hanya karena aku menulis sebuah cerita yang berpotensi mendekatkan orang-orang kepada-Mu? Demikian suara dalam hati Mardi Zulfu.
Sebelum memutuskan menjadi cerpenis, Mardi Zulfu telah mencari tahu banyak hal tentang cerpen. Ia membaca beberapa buku teori penulisan cerpen, cerpen-cerpen terbaik karangan penulis dalam dan luar negeri, juga ulasan-ulasan dan kritik-kritik atas cerpen-cerpen terdahulu. Sebagaimana ia dahulu amat tekun ketika menuntut ilmu agama, seperti itu jugalah yang Mardi Zulfu lakukan ketika mendalami cerpen. Ia terpesona pada cerpen-cerpen bagus sebagaimana dulu ia terpesona pada kisah-kisah nabi dan orang-orang saleh.
“Kurasa orang asing yang kutemui di bus itu tidak salah. Cerpen memang bisa menjadi jalan hidayah bagi banyak orang!” gumam Mardi Zulfu di tengah kesunyian malam.
Ia selesai menulis cerpen pertamanya satu jam sebelum Subuh. Ia merasa puas. Kelegaan menerpa hatinya, jenis kelegaan yang lazim ia rasakan sewaktu menyelesaikan suatu ibadah yang mulia. Saking puasnya, ia ketiduran. Dan seperti cerpenis pada umumnya, ia kesiangan salat Subuh. Ia baru bangun sewaktu jendela kamarnya sudah terang-benderang dirampak sinar matahari. Pada mulanya Mardi Zulfu menyesal. Ia merasa berdosa karena telat salat Subuh. Tetapi begitu mengingat penyebab dirinya kesiangan, pelan-pelan ia menghibur diri. Ia yakin Tuhan akan memaafkan keterlambatannya. Ia terlambat menunaikan salat Subuh bukan karena melakukan hal tidak bermanfaat atau berbuat maksiat, tetapi menulis cerpen yang ia niatkan sebagai sarana untuk mengantarkan orang-orang kepada jalan kebaikan dan keselamatan. Jika Tuhan bisa memaafkan seorang pezina yang bertaubat, kenapa Tuhan tidak bisa memaafkan seorang cerpenis yang terlambat salat? Begitulah Mardi Zulfu berkilah.
Hari-hari pertamanya sebagai cerpenis berjalan selancar pencernaan orang-orang tanpa riwayat sakit perut. Ia sudah menghasilkan beberapa cerpen yang menurutnya cukup baik untuk menjadi perantara orang memperoleh hidayah. Memang, di sejumlah bagian cerpen-cerpennya ia merasa ada yang janggal atau kurang rapi. Tentu saja ia juga melakukan suntingan dan revisi. Akan tetapi kesempurnaan tetap tak tercapai. Tepat ketika ia merasa cerpen-cerpen itu sudah mendapatkan bentuk terbaiknya (meskipun masih memiliki celah), Mardi Zulfu yang pandai menghibur diri berucap, “Jika hadis-hadis Nabi saja ada yang daif dan palsu, kenapa pula cerita-ceritaku, yang hanya orang biasa, harus hadir dalam wujud yang sempurna? Bukankah kesempurnaan hanya milik Tuhan?”
Sambil terus merangkai cerpen demi cerpen, Mardi Zulfu tak henti membaca cerita-cerita karangan penulis lain. Ia juga berkorespondensi dengan sejumlah cerpenis yang namanya ia dapatkan dari internet. Beberapa penulis ia sapa baik-baik lewat media sosial. Ia bertanya tentang cerpen dan semacamnya. Ada penulis yang membalas pesannya dengan ramah, ada yang membalas dengan kecut, dan ada yang tidak membalas apa-apa. Apa pun balasan yang ia terima atau tidak terima dari penulis-penulis yang ia sapa, Mardi Zulfu selalu berdoa agar para penulis itu mendapat balasan terbaik dari Tuhan (atau dari entah siapa pun itu, jika si penulis yang bersangkutan Mardi Zulfu ketahui sebagai orang tak bertuhan).
Soal cerpenis yang tak bertuhan sebenarnya agak memberatkan kepala Mardi Zulfu, namun ia memilih untuk tidak memikirkannya terlalu jauh. Setiap orang toh boleh memilih, pikir Mardi Zulfu, dan aku memilih untuk menjadi cerpenis yang akan mengantarkan pesan-pesan kebaikan untuk mendekatkan para pembacaku kepada Tuhan.
Mardi Zulfu adalah seorang pembelajar yang baik. Ia bukan hanya mempelajari cara menulis cerpen, tapi juga cara menyebarkan cerpen ke khalayak. Sebab itulah tujuan utamanya: menghadirkan cerita-cerita yang akan dibaca orang lain dan membuat orang-orang itu tersentuh hatinya. Mardi Zulfu mengirim cerpen-cerpennya ke berbagai media massa. Kadang-kadang ia membagikannya secara cuma-cuma di media sosial atau grup-grup publik. Ia bahagia sekali saat mendapat respons-respons positif. Ia ingin menangis saat membaca pengakuan seseorang di kolom komentar yang merasa tercerahkan setelah membaca cerpennya. Ia juga ingin menangis saat sebuah cerpennya dimuat di media nasional. Dan ia juga ingin menangis saat mengetahui salah satu media yang memuat cerpennya ternyata tak menyediakan honor. Untuk soal terakhir, Mardi Zulfu memperingatkan kepada dirinya sendiri untuk tak mengejar keuntungan material. Aku harus ikhlas, kata Mardi Zulfu kepada dirinya sendiri, karena hanya cerpen-cerpen yang datang dari hati yang ikhlas yang akan merasuk ke hati pembaca.
Meskipun sudah menyerahkan diri sepenuhnya kepada alam hidup seorang cerpenis, bukan berarti Mardi Zulfu meninggalkan semua kebiasaan yang ia lakukan tatkala masih seorang ustaz. Ia tetap menunaikan salat lima waktu, walau belakangan sering telat. Ia tetap membaca alquran, walau lebih banyak membaca cerpen. Ia juga masih sesekali mengajar privat baca alquran, terutama saat honor cerpennya tak kunjung cair. Ia juga beberapa kali menghadiri pengajian yang diisi oleh ustaz-ustaz ternama. Salah seorang ustaz yang dikenalnya sejak lama pernah menegurnya, “Ustaz Mardi Zulfu, aku perhatikan kok kamu sudah lama tidak muncul di Masjid Al-Hidayah? Apa ada masalah denganmu?”
“Tidak ada apa-apa, Ustaz. Aku baik-baik saja. Aku hanya beralih profesi.”
“Maksudmu apa, Ustaz Mardi Zulfu?”
“Aku bukan lagi seorang ustaz. Sekarang aku memutuskan menjadi cerpenis.”
Si ustaz hanya bisa tercenung dan menatap Mardi Zulfu dengan raut wajah geli sekaligus jijik, terutama ketika mendengar dua suku kata terakhir yang diucapkan Mardi Zulfu.
Dan memang saat ini Mardi Zulfu lebih dikenal sebagai seorang cerpenis. Kalau dulu para kenalannya menamai kontaknya “Ustaz Mardi Zulfu”, sekarang mereka menamainya “Cerpenis Mardi Zulfu”. Mardi Zulfu senang-senang saja dengan sebutan itu. Terlebih kini cerpennya sudah menyebar di mana-mana. Sudah banyak orang yang membaca karya-karyanya. Dan Mardi Zulfu juga yakin sudah banyak orang yang mendapat hidayah atau setidaknya tersentuh hatinya ketika membaca cerpen-cerpen karangannya. Itu berarti misinya berhasil. Dan Mardi teringat pada janji yang dulu pernah ia ikrarkan.
Setelah sekian purnama, akhirnya Mardi Zulfu kembali mendatangi masjid. Ia datang pada waktu Isya. Mardi Zulfu nyaris pingsan saat mendapati Masjid Al-Hidayah begitu ramai. Jemaah memadati masjid sampai ke saf terakhir. Ia sukar percaya bahwa ini adalah masjid yang sama dengan yang dulu pernah diimaminya sehari-hari, yang terakhir kali ia menjadi imam hanya dengan dua orang jemaah. Mardi Zulfu merangsek ke saf pertama. Ia tidak tahu siapa yang malam ini menjadi imam. Ia hanya mengikuti gerak sang imam, lalu sujud lama sekali dengan penuh syukur pada sujud terakhir—seperti yang dulu ia janjikan jika ia telah berhasil menulis ratusan cerpen.
Beberapa menit selepas salat, sang imam menghadap ke arah para jemaah. Ia berdiri dan memberikan sebuah ceramah. Ceramah itu berisi pesan perihal pentingnya dakwah. Sang imam juga menyampaikan sebuah cerita mengenai seorang wanita muda berparas menawan yang memperoleh hidayah setelah mendengarkan sebuah ceramah di masjid. Sesaat sesudah mendengar cerita tersebut, Mardi Zulfu memandangi lekat-lekat sang imam. Ia merasa pernah melihat lelaki asing itu di suatu tempat pada suatu waktu.
“Siapa nama orang itu?” tanya Mardi Zulfu kepada jemaah yang duduk di sebelahnya sembari menunjuk sang imam yang masih berceramah.
“Kau tidak kenal dengan dia? Dia ustaz kondang. Namanya Zulfu Mardi. Dulu dia kerjanya menulis cerita pendek, tapi sejak beberapa waktu lalu ia memutuskan berhenti jadi cerpenis dan banting setir jadi ustaz,” sahut orang yang Mardi Zulfu tanyai berpanjang lebar.
“Zulfu Mardi? Mantan cerpenis? Sejak kapan dia jadi imam di sini?”
“Sejak imam yang lama, yang aku sudah lupa namanya, tidak lagi menjadi imam.”
Mendadak hati Mardi Zulfu terasa panas.
“Kau tahu, semenjak dia jadi ustaz di sini, masjid ini menjadi ramai. Banyak orang tertarik dengan ceramahnya. Banyak orang yang mengaku mendapat hidayah melalui perantara dia. Ustaz Zulfu Mardi memang hebat,” lanjut jamaah itu ketika Mardi Zulfu tak berkata apa-apa.
Makin panas hati Mardi Zulfu. Mardi Zulfu mengamati lebih saksama sang imam dan eureka!, Mardi Zulfu sekarang ingat siapa sebenarnya orang itu.
“Itu kan orang yang dulu kutemui di bus!” gumamnya.
Sesungguhnya Mardi Zulfu ingin mengepruk kepala orang itu, tapi ia mengurungkannya karena sadar ia tidak mungkin melakukan itu di depan banyak orang yang terlihat sangat menaruh simpati kepada Zulfu Mardi—yang namanya membuat Mardi Zulfu jengkel, karena mirip sekali dengan namanya, hanya beda peletakan nama depan dan belakang.
Mardi Zulfu buru-buru pulang ke rumah. Di depan laptopnya yang berkarat dan alquran yang sudah mulai berdebu, Mardi Zulfu diserang dilema: Apakah sebaiknya aku tetap menjadi cerpenis atau kembali menjadi ustaz? (*)
Tambun Selatan-Bekasi, 12 Maret 2022
*ERWIN SETIA lahir pada 14 September 1998. Penulis lepas. Menulis cerpen dan esai. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, dan Detik.com. Cerpennya terkumpul antara lain dalam antologi bersama Dosa di Hutan Terlarang (2018) dan Berita Kehilangan (2021) Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14 atau melalui surel: erwinsetia2018@gmail.com.