Cerpen Ilham Wahyudi
Meski kedua mata Abdul Jamil telah buta, ia tetap nekat ingin bertemu Marlina tali jantungnya.
Pada malam ketika bulan penuh membulat, Abdul Jamil memutuskan keluar dari rumah. Baru beberapa langkah dari pintu, tubuhnya yang sudah bagai tengkorak hidup itu berulang kali tersungkur mencium tanah. Namun niat menemui Marlina tak segaris pun surut ke belakang.
Cinta memang ajaib dan menakjubkan. Ia selalu berhasil melahirkan hal-hal yang tak terduga. Secara kasat mata, semua pasti sepakat Abdul Jamil tidak akan mungkin berhasil menemukan Marlina. Bahkan sekiranya kedua mata Abdul Jamil mendadak sembuh, pun mustahil. Tetapi siapa yang mampu menasehati orang yang jatuh cinta?
- Iklan -
Sudah tiga hari, tiga pula malam Abdul Jamil berjalan—kadang juga merangkak—mencari Marlina. Orang-orang yang melihat Abdul Jamil banyak yang jatuh kasihan. Mereka sering bertanya, ke mana tujuan Abdul Jamil. Tetapi Abdul Jamil tidak pernah menjawab sebuah alamat. Ia hanya menyebut nama Marlina. Bukankah Marlina adalah tujuan? Lantas, apa pentingnya lagi sebuah alamat?
Engkau pasti akan bertanya, bagaimana mungkin orang yang seperti tengkorak bisa berjalan—kadang juga merangkak—di luar rumah sendirian? Jika benar itu pertanyaanmu, maka sahih engkau masih buta akan cinta Abdul Jamil.
Nyaris sepekan Abdul Jamil mencari Marlina. Namun sang kekasih belum ia temukan. Sungguh tubuhnya tak layak lagi didirikan, tapi tenaga dan semangatnya tidak berkurang. Malah semakin bertambah-tambah.
Sepanjang pencariannya, Abdul Jamil sering mengalami peristiwa-peristiwa ajaib.
Suatu malam ketika hujan lebat, Abdul Jamil yang kedinginan mendadak mendapat tawaran berteduh dari seorang lelaki. Orang itu juga memberi Abdul Jamil selimut, dan makanan.
Keesokan hari saat Abdul Jamil terbangun, lelaki itu menghilang entah ke mana. Anehnya lagi, selimut serta rumah tempatnya berteduh seperti raib bersama hujan malam itu.
Lain waktu, pernah juga ketika Abdul Jamil duduk beristirahat di bawah pohon besar, tangan Abdul Jamil tak sengaja menyenggol sebuah ceret. Abdul Jamil yang kehausan tentu sangat gembira. Sebelum ia meminum air dalam ceret, Abdul Jamil sempat bertanya, siapa pemilik ceret itu. Tapi hanya hening yang membalas tanyanya. Haus pun semakin mengepit kerongkongan Abdul Jamil. Sambil meminta maaf, ia minum air dalam ceret. Setelah dahaganya melonggar, Abdul Jamil kembali berjalan mencari Marlina.
Pada sebuah persimpangan jalan yang sepi, ketika kaki Abdul Jamil membentur sebuah batu, seorang yang entah dari mana menghampirinya. Orang itu sangat mirip dengannya. Dari wajah, tinggi badan, dan warna kulitnya, semua sama persis. Mungkin kondisi tubuhnya saja yang terlihat menjadi pembeda.
Hei, bagaimana Abdul Jamil tahu, bukankah dia dalam kondisi buta? Entahlah. Namun saat orang itu menyentuh pundaknya, tiba-tiba saja satu wajah dan perawakan melintas dalam pikiran Abdul Jamil.
“Mengapa Anda begitu mirip denganku?” spontan Abdul Jamil bertanya. Orang itu tersenyum, semacam tahu dengan rasa penasaran Abdul Jamil.
“Syukurlah, matamu yang lama tertidur mulai mampu melihat. Mata itu lebih terang dan jelas untuk melihat, maka berhati-hatilah!” jawab orang itu.
Abdul Jamil bingung. Bukan hanya pada jawaban orang itu, siapa orang itu pun sungguh membingungkan Abdul Jamil. Namun saat Abdul Jamil ingin mengajukan pertanyaan, orang itu menghilang begitu saja. Berulang kali Abdul Jamil memanggil, tapi panggilannya tak terjawab.
Abdul Jamil nyaris putus asa. Ia sempat menaruh harapan pada orang itu: ia berharap orang itu mau membantunya menemukan Marlina. Dalam keputusasaannya sekelebat wajah Marlina muncul memanggil Abdul Jamil. Ia tersadar, dan mulai paham akan jawaban orang itu. Bukankah kini matanya telah mulai mampu melihat? Bahkan melihat apa yang tidak mampu orang lain lihat. Lantas, untuk apa lagi orang lain membantunya mencari Marlina?
Hari-hari selanjutnya yang entah, di sebuah daerah yang semua tanaman tampak terlihat tumbuh subur, Abdul Jamil bertemu pula dengan seorang lelaki tua yang seluruh rambut dan bulu-bulu di tubuhnya telah memutih. Lelaki tua itu juga sangat mirip dengan Abdul Jamil.
”Apakah kau lelah anak muda?” Sebuah pertanyaan terdengar entah dari mana. Apakah lelaki tua itu yang bertanya pada Abdul Jamil, atau itu pertanyaan dari dalam dirinya sendiri? Lama Abdul Jamil bimbang-menimbang.
“Tubuhku mungkin lelah dan menderita, tapi jiwaku terasa semakin bebas merdeka,” jawab Abdul Jamil.
Lelaki tua itu tersenyum. Abdul Jamil pun melanjutkan pencariannya. Kini, lelaki tua itu bagai masa lalu yang telah Abdul Jamil tinggalkan, dan pencariannya pada Marlina adalah masa depan yang sedang ia tuju.
Berbulan-bulan sudah Abdul Jamil berjalan. Pakaiannya mulai terlihat lusuh, robek dan bolong-bolong, seolah menjadi penanda jauh sudah jarak pencariannya. Ia juga sudah tidak memakai alas kaki lagi. Tak terhitung berapa banyak luka serta bekas luka di kaki Abdul Jamil. Dan ia masih bersetia berjalan mencari Marlina.
Ketika berjalan di sebuah lembah yang penuh angin, kaki Abdul Jamil menyentuh tepian aliran sungai yang dipenuhi batu-batu besar. Di salah satu batu, ia duduk beristirahat. Saat sedang membasuh wajahnya, kedua tangan, kepala serta kedua kakinya, mendadak melintas dalam pikirannya wajah seorang kakek-kakek yang juga mirip dengannya. Ia melihat kakek-kakek itu sedang membangun sebuah rumah yang tak asing dalam ingatannya. Rumah siapakah itu, batinnya.
Rasa ingin tahu yang tak lain adalah fitrah manusia, mendorong Abdul Jamil berdiri, dan mendekati rumah itu. Tetapi baru beberapa langkah kaki ia lajukan, kakek itu buka suara.
“Aku sedang membangun rumah untukmu. Lanjutkan saja pencarianmu! Nanti kau juga akan kembali ke tempat ini,” kata kakek itu.
Abdul Jamil terkejut. Namun cepat ia tersadar pada tujuannya mencari Marlina. Selesai mengucapkan salam, ia pun kembali melanjutkan pencariannya.
Akan tetapi, baru beberapa saat ia berjalan menuju sebuah bukit, seorang anak muda dari belakang memanggil, dan memintanya berhenti.
Abdul Jamil tak peduli. Ia terus saja berjalan. Keanehan pun kembali terjadi, anak muda yang memintanya berhenti itu, tiba-tiba saja sudah menghadangnya dengan sebuah tongkat tepat di dada Abdul Jamil.
“Mau kemana kau, kenapa terburu-buru? Apa yang kau kejar dari keterburu-buruanmu?”
Abdul Jamil berhenti. Saat ia ingin bertanya siapa anak muda itu, lagi-lagi seketika itu pula dia raib. Sungguh ia mengenal suara anak muda itu, begitu pula dengan tongkat yang menghadangnya.
Tidak ingin terjebak dalam lingkaran pertanyaan tentang anak muda itu, Abdul Jamil lanjut menaiki bukit. Di atas bukit, tampaklah semua yang di bawah menjadi kecil. Abdul Jamil mendapatkan sebuah pemahaman: semakin tinggi tempat seseorang berdiri, maka semakin tampaklah ia apa-apa yang tersembunyi selama ini. Berbekal pemahaman itu, ia melanjutkan pencarian Marlina urat nadinya.
Hari-hari terus mendaki serupa pemahaman Abdul Jamil dalam pencariannya pada Marlina. Di sebuah dataran tinggi yang dingin, mata batinnya menangkap sosok seorang guru yang sedang duduk mengajari murid-murid membaca. Saat tekun mendengarkan sang guru memberi pengajaran, batin Abdul Jamil mendadak merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa salah seorang murid sang guru seperti sedang mengasah sebuah pisau. Untuk apa pisau itu?
Abdul Jamil gelisah. Dan kini kegelisahan itu menelurkan ketakutan yang memenuhi dadanya, tapi ia tidak tahu apa penyebabnya. Melihat Abdul Jamil gelisah, sang guru itu berhenti mengajar, lalu mendekati Abdul Jamil.
”Apa-apa yang sudah tertulis tidak akan bisa kau ubah. Lanjutkan saja pencarianmu!” kata guru itu sambil tersenyum.
Abdul Jamil semakin paham. Ia kembali tersadarkan pada kesadaran awalnya mencari Marlina. Sekuat tenaga, ia melanjutkan pencariannya,
Tahun-tahun telah berganti. Entah sudah sejauh mana Abdul Jamil meninggalkan rumah. Akan tetapi Marlina cahaya hatinya belum juga ia temukan. Tubuhnya semakin ringkih tinggal tulang. Pakaiannya juga sudah nyaris hancur. Dalam keadaan yang menyedihkan itu, seseorang menghampirinya.
“Mari ikut denganku!”
Kemudian seseorang itu menuntunnya ke sebuah rumah.
Tiba di dalam rumah, mendadak mata Abdul Jamil dapat melihat. Ia seperti mendapatkan sepasang mata baru yang cerlang dan jernih. Mata yang dapat menembus lapisan apa saja yang menghadang.
Puas menikmati ketakjubannya, Abdul Jamil mulai memerhatikan seisi rumah. Ia seperti mengenali rumah itu. Mengapa rumah ini mirip sekali dengan rumah yang dibangun kakek itu, batinnya berbisik. Ia juga melihat semua orang yang ia temui dalam pencariannya pada Marlina ada di hadapannya. Ia heran. Sungguh semakin heran saat matanya tiba-tiba terantuk pada wajah yang selama ini ia cari; ia rindukan sepenuh hati.
“Selamat datang. Di sinilah tempatmu. Jangan takut, semua memang telah terhubung. Bersihkan dirimu dan makanlah setelahnya!” kata seseorang itu yang wajahnya bercahaya bagai rembulan.
Abdul Jamil tersentak.
“Kau bilang mau mencari Marlina, tapi kenapa dari tadi kau diam saja Abdul Jamil?” tegur Mahli sambil berlalu.
Akasia 11CT
*ILHAM WAHYUDI. Lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU dan seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan ada yang ditolak. Buku kumpulan cerpennya “Kalimance Ingin Jadi Penyair” akan segera terbit.