Cerpen Latif Nur Janah
Nyaris semua makmum salat Magrib petang itu tercengang dalam posisi tangan masih bersedekap. Setelah ayat keempat surah Alkafirun dilantunkan Mbah Rosidi, ada jeda sekitar tiga detik sebelum seseorang di baris paling depan melanjutkan ayat berikutnya. Tentu dengan maksud mengingatkan Mbah Rosidi. Tetapi, Mbah Rosidi justru mengulang ayat ketiga hingga dua kali.
Tentu saja, kejadian itu tak biasa. Banyak orang bertanya-tanya, apa yang membuat Mbah Rosidi sampai lupa bacaan ayat pada surah yang tergolong pendek itu.
Mbah Rosidi merebah di balai-balai menjelang sore keesokan harinya. Seharian ini, badannya terasa letih benar. Padahal ia tak pergi ke ladang. Ada sesuatu yang tengah mengusik hatinya. Sesuatu yang membuat hari-harinya gelisah. Sesuatu yang membuatnya begitu gugup memimpin Magrib petang sebelumnya.
- Iklan -
Empat puluh hari yang lalu, selepas menuntaskan salat malam, Mbah Rosidi tak bisa memejamkan mata. Padahal ketika itu masih pukul dua dini hari. Ia memutuskan untuk menambah rakaat salatnya. Namun, tetap saja, hatinya merasa resah. Pikirannya terpusat pada mimpi yang baru saja membungai tidurnya.
Dalam mimpi itu, datang padanya seorang lelaki sepuh berjubah putih. Sebagian rambutnya yang juga putih, tertutup oleh serban yang melilit kepalanya. Laki-laki itu berjenggot. Memberi senyum padanya. Mbah Rosidi membalas senyumnya, meski dibalut rasa penasaran. Lelaki itu tak mengucapkan apa pun. Tak bertanya apa pun. Juga tak memerintahkan apa pun. Yang terjadi kemudian, laki-laki itu melesat ke atas bagai seberkas cahaya putih. Dan hilang di kegelapan angkasa.
“Semoga pertanda baik, Pak,” ucap istri Mbah Rosidi mendengar cerita suaminya.
Mimpi itu berulang kembali sepuluh hari setelahnya. Mbah Rosidi lantas bercerita kepada istrinya sehabis salat malam. Istrinya sedikit terperangah. Sebab, ia sendiri tak pernah mengalami mimpi yang sama persis dua kali. Apalagi, saat itu Mbah Rosidi terlihat begitu gugup. Baju putihnya sampai basah di bagian leher.
“Mungkinkah Izrail akan datang padaku?” Mbah Rosidi menggumam. Ia seperti tak sadar berkata demikian.
“Itu pasti, Pak. Tetapi tak ada yang tahu waktunya.”
“Maksudku, dalam waktu dekat ini.”
“Bapak iki ngomong apa? Umur dan maut sepenuhnya kuasa Allah,” istri Mbah Rosidi terheran-heran.
Mbah Rosidi memang kuat soal firasat. Istrinya tahu persis. Setahun yang lalu, kecelakaan bus membuat anak mereka terpaksa dioperasi lantaran patah bagian kakinya. Malam sebelum itu, Mbah Rosidi berkata pada istrinya hatinya gelisah tanpa sebab. Meski ia sudah berzikir berulang-ulang, kegelisahan itu tak mau pergi. Malah semakin memuncak tepat ketika kecelakaan itu terjadi.
Semua orang desa tahu, Mbah Rosidi seorang ahli ibadah. Tanah yang ia wakafkan untuk berdirinya masjid adalah salah satu bukti nyata. Padahal, seperti semua orang tahu, Mbah Rosidi bukan orang yang hidup bergelimang harta. Tanah wakaf itu pun warisan dari orang tuanya.
****
Mbah Rosidi hampir tertidur di balai-balai saat azan Magrib berkumandang.
“Astaghfirullah,” ucapnya.
Jarang sekali ia tidur sehabis Asar, waktu yang tidak baik untuk memejamkan mata. Apalagi sampai terdengar azan Magrib.
Ia lekas bersuci, lalu pergi ke masjid. Bermunajat sebentar sebelum mengimami salat Magrib. Magrib berjalan selayaknya sehari-hari sebelumnya. Jemaah hampir memenuhi barisan. Semua khusyuk dalam penggalan Arrahman. Tak mereka ketahui bahwa di balik lantunan itu, hati Mbah Rosidi sedang gaduh. Di rakaat terakhir ketika berdiri dari rukuk, badan Mbah Rosidi terasa ringan dan sedikit gemetar. Lantunan ayatnya berangsur pelan hingga banyak orang mengira Mbah Rosidi lupa bacaannya lagi.
Tetapi itu tak berlangsung lama. Mbah Rosidi membaca kembali ayat dengan lancar setelah gemetaran di tubuhnya hilang. Entah apa yang terjadi pada dirinya saat itu. Mimpi itu kembali menyerang ingatannya di saat ia memimpin zikir.
“Bapak tidak apa-apa, kan?” tanya istrinya seusai dari masjid. Mereka tengah duduk berdua di balai-balai.
“Entahlah, Bu. Aku hanya teringat mimpiku itu. Tiga hari yang lalu, aku bermimpi lagi,” Mbah Rosidi terdiam. Matanya memandang jauh ke arah bulan sabit yang terhalang dedaunan.
“Kalau benar Izrail akan datang kepadaku, semoga senyum laki-laki itu membawa pertanda baik. Na’uzubillah, bila aku mati dalam keadaan iman tak ada di hatiku.”
“Apa Bapak takut?” Mbah Rosidi terkejut dengan pertanyaan istrinya. Kali ini, ia benar-benar seperti tertodong.
“Tidak, tentu saja. Bukankah bekalku sudah banyak, Bu?” Mbah Rosidi teringat wakaf tanahnya dan santunan yang ia berikan pada anak yatim setiap bulan. Juga kebiasaannya menjenguk setiap orang yang sakit di desa. Tanpa sadar, ia menghitung semua amal itu bagai kupon yang sudah terkumpul banyak.
“Astaghfirullah, Pak. Kebaikan kita bukan untuk diingat-ingat. Bukankah Bapak yang selalu bilang demikian?”
Mbah Rosidi tertegun. Ia sungguh malu telah berkata demikian. Bukan saja terkesan ia tidak ikhlas melakukannya, semua yang ia ucapkan barusan malah mempertegas setipis apa iman di hatinya.
Demi membuang segala ketakutan akan mimpinya itu, Mbah Rosidi lebih sering berdoa dan dzikrulmaut, mengingat mati. Ia memperbanyak mengingat Allah dan memperbanyak amal ibadah. Berangsur-angsur, hatinya mulai tenang.
Di tengah ketenangan itu, terdengar lewat pengeras suara di masjid, ada seorang warga meninggal dunia. Buru-buru Mbah Rosidi pergi takziah. Tetangganya itu, meninggal saat pulang bekerja mengayuh becak. Sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi tak mampu dihindarinya di perlintasan. Kabar yang mengalir dari mulut ke mulut, si tukang becak itu sudah seminggu ini terlihat murung dan lebih banyak diam saat di pangkalan.
“Ia bermimpi buruk beberapa malam ini, Mbah. Ia ketakutan sekali,” kata istri tukang becak di tengah tangisnya.
Mbah Rosidi bergegas pulang. Ia bercerita pada istrinya. Terlihat sekali ia gelisah meskipun tak ada yang tahu, apa gerangan mimpi yang telah dialami tukang becak itu. Dan tentu saja, ia mati bukan karena mimpi.
Istrinya menanggapi dengan wajah datar walau sedikit heran. Jauh di dalam hati, istri Mbah Rosidi merasa sangat takut. Sama sekali bukan takut kehilangan suaminya. Sepenuhnya ia percaya pada kuasa Allah bahwa semua manusia akan kembali kepada-Nya. Yang ia takutkan adalah sikap suaminya yang aneh dan terlihat enggan meninggalkan dunia. Dan sikap seperti itu, sejatinya bukan milik seorang ahli ibadah.
Dini hari itu, istri Mbah Rosidi tak mendapati suaminya bangun untuk salat malam. Ia tak mendengar gemericik air keran seperti yang sering ia dengar saat suaminya bersuci.
Melihat tidur Mbah Rosidi begitu lelap, istrinya tak sampai hati membangunkan. Setidaknya, setelah percakapan sepulang takziah, Mbah Rosidi tak pernah mengungkit perihal mimpinya lagi.
Sendiri, istri Mbah Rosidi merampungkan dua rakaat tahajudnya dalam khusyuk yang penuh. Setelahnya, ia berzikir sebentar dan terhenti ketika mendengar Mbah Rosidi seperti mendengkur. Terdengar lirih, halus, dan sesaat saja. Ia amati suaminya dari atas sajadah, lalu cepat-cepat mendekatinya. Dibangunkannya suaminya itu. Tak ada reaksi.
“Pak, bangun, Pak. Waktunya Tahajud,” bisik istri Mbah Rosidi akhirnya. Masih tak ada reaksi.
Tubuh Mbah Rosidi diguncang-guncang oleh istrinya. Jemari istrinya kemudian refleks meraba pergelangan tangan Mbah Rosidi.
“Innalillahi wainna ilaihiraji’un,” ucap istri Mbah Rosidi. Lirih sekali.
Dalam mimpinya menjelang dini hari, lelaki sepuh itu datang lagi kepada Mbah Rosidi dengan senyum yang sama. Jubah dan serban putih yang sama. Tanpa ucapan, pertanyaan, atau perintah apa pun. Ia melesat seperti cahaya putih ke langit dengan satu entakan kaki. Dan saat itulah, ada yang berangsur-angsur hilang dari raga Mbah Rosidi. ***
Gemolong, 2019-2021
*LATIF NUR JANAH lahir 1990. Menulis fiksi dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.