Cerpen Yuditeha
Aku masih ingat, setelah dinyatakan lulus sidang tesisku waktu itu, Ustaz Albani memintaku menemui beliau di pondok tamu. Dengan ditemani santri putri, aku menghadap beliau. Sampai di sana, Ustaz Albani rupanya sudah menungguku yang ditemani Ustaz Al-Mutallaq. Sebelum bertemu beliau, aku menduga apa yang ingin beliau sampaikan mungkin tentang kelanjutan nasibku usai lulus dari Universitas Madinah ini.
Aku merasa dugaanku tidak meleset, karena di perbincangan awal, Ustaz Albani memang menanyakan itu. Kepada beliau aku menyampaikan alangkah bahagianya bila setelah menyelesaikan studi aku pun juga bisa bekerja di Tanah Suci ini.
“Kau tidak ingin pulang?” tanya Ustaz Albani.
- Iklan -
“Saya sudah cocok di sini, Ustaz.”
“Sebenarnya bukan itu yang ingin kubicarakan, tapi aku merasa perlu menanyakan itu dulu,” sahut Ustaz Albani.
Waktu kudengar perkataan beliau itu, sedikit aku terhenyak dan memikirkan apa yang sesungguhnya beliau ingin sampaikan. Belum selesai usahaku menduga-duga, Ustaz Albani sudah menambahkan penjelasan, jika jawabanku atas pertanyaan-pertanyaan beliau tidak sesuai dengan inti dari apa yang ingin disampaikan, beliau tidak akan melanjutkannya. Perkataan beliau yang baru saja disampaikan membuatku semakin penasaran.
“Kau sudah tahu Karim?” tanya Ustaz Albani kemudian.
Sesungguhnya aku pernah dengar ada beberapa orang dengan nama itu, tapi karena takut salah, akhirnya kuputuskan menjawab tidak tahu. Aku menggeleng pelan.
“Dia dari Pesantren Kalioso.”
Aku menggeleng lagi. Jujur, bahkan aku belum tahu di mana itu Kalioso.
“Begini.” Ustaz Albani berhenti sejenak sebelum melanjutkan bicaranya. Beliau mengatakan, jika aku memang ingin tetap di Madinah, beliau menyarankanku untuk menikah dengan Karim. Saat itulah namamu mulai biasa terdengar di telingaku. Sementara aku belum mengiyakannya, Ustaz Albani terus bicara, memberi penjelasan tentang siapa dirimu lebih detail, termasuk informasi kalau kamu salah satu pengajar di Universitas Madinah juga, hingga lambat laun gambaran tentang bagaimana dirimu mulai akrab dalam bayanganku, sampai akhirnya kita benar-benar kesampaian menikah.
Dan sekarang, meski hal itu telah lama berlalu, tapi rasanya seperti baru kemarin terjadi. Aku menyadari apa yang kita jalani adalah setapak untuk mengarungi kebahagiaan. Bahkan kini kita sudah dikaruniai seorang putri yang manis. Aku bahagia hidup bersamamu. Tapi entah mengapa, sejak dua bulan ini hatiku dilanda gundah, lebih tepatnya pada saat kamu mengatakan ingin kembali ke Indonesia. Merujuk apa yang kamu sampaikan, kamu memang mengakui berubah pikiran, karena dulu kamu sudah pernah menyampaikan ingin tinggal di Tanah Suci ini selamanya. Hal itu sudah menjadi tekadmu, mengabdikan hidupmu di sini. Bahkan dulu kamu bilang, akan jadi kebahagiaan teramat dalam jika telah sampai waktumu berpulang bisa disemayamkan pula di sini. Meninggal dan dimakamkan di Tanah Suci, sudah menjadi idamanmu sejak muda. Dan tentu saja aku sepakat dengan apa yang kamu sampaikan karena dari dulu hal itulah yang juga menjadi impianku. Sejujurnya karena pemikiranmu itulah yang semakin membuatku bahagia bersamamu.
Terus terang, berubahnya keinginanmu itulah yang membuatku gelisah, karena aku berpikir jika kita kembali ke Indonesia, bagaimana dengan kesucian hidup kita selanjutnya. Seperti yang tentu kamu tahu, kondisi di sana sangat berbeda dengan di sini. Belum lagi jika apa yang menjadi kemampuanmu tentang kerohanian tidak bisa menjadi berkah di sana. Karena pemikiran itu aku ingin kita tetap di sini, karena yang kuyakini, tempat ini telah menjamin kesucian hidup kita.
Tapi anehnya ketika pemikiranku itu kusampaikan kepadamu, kamu memang tidak menyangkalku, tapi kamu juga mengutarakan pendapat lain. Kamu mengatakan, meski kita berada di tanah yang paling suci pun bukan lantas berlaku otomatis terhadap kesucian hidup kita. Kamu bilang, kesucian itu tidak berada di mana-mana. Kesucian itu ada di hati dan perilaku kita. Entah apa yang menyebabkan kamu bisa bersikap sangat berbeda dengan dirimu yang dulu. Keherananku tentang konsep kesucianmu itu juga pernah kamu singgung ketika menyampaikan alasanmu, mengapa kamu ingin pulang ke Indonesia.
Kamu sepakat denganku, kondisi Indonesia memang berbeda dengan Tanah Suci ini, tapi buru-buru kamu menambahkan bahwa perbedaan itu bukan dalam keperluan untuk kriteria membandingkan mana yang lebih baik di hadapan Allah.
“Terkhusus kesucian, sepantasnya hanya Allah yang pantas menilainya,” katamu.
Kamu juga berterus terang, perbedaan yang kamu bilang semata karena penilaian dari keduniawian, yang hal itu terkait kenyataan kita berdua lahir dan dibesarkan di Indonesia. Dan rencanamu kembali ke Indonesia ada hubungannya dengan itu. Kamu bilang, Indonesia ibarat ibu kandung, di mana kita sudah selayaknya menjunjung kehormatannya, semacam bakti anak yang dikehendaki Allah. Kamu juga bilang, sesaleh dan sesalihahnya seorang anak adalah anak yang berbakti pada orang tuanya.
“Aku ingin berarti bagi Indonesia,” lanjutmu waktu itu.
Ah, apakah bisa begitu, sebuah negara diibaratkan bagai seorang ibu? Tapi ketika pertanyaan itu kulontarkan kepadamu, kamu bukan lantas mendebat, tapi juga bukan berkehendak menyerah. Di kesempatan lain kamu menjelaskan. jika pun tidak berarti begitu, paling tidak ketika kita pulang ke Indonesia, kita ingin menjadi seorang anak yang saleh dan salihah. Di sana kita akan merawat kedua orang tua kita. Kapan lagi kita bisa membalas kebaikan dan keluhuran orang tua kita? Bahkan terkhusus kepadaku kamu bertanya, tidak adakah keinginan diriku untuk merawat pemakaman ibu, dan mendoakannya agar jalan ke surga dilapangkan Allah.
Aku jadi bertanya-tanya, mengapa setiap kali berbicara denganmu, aku selalu tidak bisa mempertahankan apa yang menjadi kehendakku. Kupikir aku bukan kalah, karena aku perhatikan kamu juga tidak bernafsu untuk mengalahkanku. Bahkan aku cenderung selalu terpukau setiap kali mendengar penjelasan-penjelasanmu, meski pada awalnya aku selalu tidak sepaham dengan apa yang kamu sampaikan, tapi entah mengapa pada akhirnya aku seperti tidak bisa mengelak kebenaran yang kamu sampaikan.
Mungkin kamu menyadari, beberapa perempuan seringkali lemah bila berada dalam ranah diskusi, tapi kupikir perempuan sangat kuat memegang teguh terhadap apa yang diyakini, tentu tak terkecuali aku. Karena kenyataannya setiap kali kamu menentukan kapan kita akan kembali ke Indonesia, aku selalu bisa mencari alasan hingga akhirnya rencana itu tidak kesampaian. Pada intinya aku selalu berhasil menggagalkan rencanamu untuk kembali ke Indonesia, dan tampaknya meski kamu mungkin sudah menyadari hal itu, tapi kamu tetap tidak ingin memaksakan kehendakmu. Sampai hari ini pun sesungguhnya aku punya kepercayaan diri, meski kamu ingin kembali ke Indonesia, tapi kamu tetap tidak mampu membawaku pergi. Kamu tidak akan meninggalkanku sendirian di sini, karena kamu pernah mengatakan, sebesar apa pun keinginan kamu tapi jika tidak bersamaku, kamu tidak akan menjalaninya. InsyaAllah, pemikiran itulah yang aku yakini, paling tidak sebelum aku memenuhi panggilan Ustaz Albani kali kedua ini.
Sebenarnya, ketika Ustaz Albani memintaku untuk menghadap beliau, aku tidak pernah menduga apa yang beliau sampaikan ternyata perihal perselisihan pendapatku denganmu. Ketika aku sampai di pondok tamu, Ustaz Albani yang ditemani Ustaz Al-Mutallaq rupanya sudah menungguku.
“Aku hanya ingin menyampaikan satu hal kepadamu. Aku sangat yakin Karim adalah imam yang baik, dan imam yang baik tidak akan mencelakakan makmumnya.”
Mendengar hal itu dadaku langsung bergetar, dan belum sempat getaran itu mereda, Ustaz Albani sudah menambahkan.
“Selamanya, manusia itu makhluk lemah, selalu membutuhkan banyak kesadaran agar tidak jatuh dalam sikap buruk. Kurasa bulan suci ini waktu yang baik untuk kita berserah pada Allah.” Perkataan Ustaz Albani rasanya tak sanggup kudengar lagi. Detik itu juga aku ingin berlari dan bersimpuh di hadapanmu. Tapi entah kenapa, kakiku rasanya berat kuangkat, dan yang bisa kulakukan hanya berulangkali menyeka air mata. ***
*Yuditeha. Pegiat Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Telah menerbitkan 17 buku. Buku terbarunya Sejarah Nyeri (Marjin Kiri, 2020), dan Tanah Letung (Nomina, 2020)