Oleh Ilham Wahyudi
Pada malam sebelum Mahli pergi ke istana menemui Sultan, tidak sekejap pun ia berhenti berselawat sampai akhirnya tertidur dan bermimpi bertemu Baginda Nabi Muhammad SAW. Dalam mimpi itu Baginda Nabi mengelus kepala Mahli dan menyuruhnya menemui Sultan.
Awalnya Mahli ragu perihal mimpinya itu. Apa benar pria berpakaian putih bersih dengan wajah bercahaya bagai purnama itu adalah Baginda Nabi? Namun keesokan hari setelah ia menceritakan mimpinya pada Halima istrinya, Mahli pun yakin jika lelaki dalam mimpinya itu adalah Baginda Nabi.
”Apa yang Nabi katakan kepadamu wahai suamiku?”
- Iklan -
”Nabi mengatakan Sultan berhutang karena tak berselawat padanya. Sehingga Nabi tak…” mendadak Mahli berhenti. Sepertinya ada yang mengetuk pintu.
”Lanjutkan dulu ceritanya, suamiku. Nanti saja pintunya kita buka,” minta Halima yang penasaran.
”Tidak istriku! Barangkali yang mengetuk itu butuh pertolongan kita segera.”
Halima tak menjawab lagi. Ia langsung bergegas ke arah pintu. Dan ketika pintu terbuka, ternyata Tuan Badrun yang berdiri bercekak pinggang.
”Mana suami Anda?” tanya Tuan Badrun.
”Ada di dalam, Tuan. Sebentar saya panggil,” jawab Halima.
Sayup Mahli mendengar suara Tuan Badrun. Ia pun keluar dari kamar dan berjalan ke arah pintu.
Di depan pintu Tuan Badrun tampak gusar.
”Silakan masuk tuan,” sapa Mahli dengan hangat.
”Tak perlu tuan, di luar saja,” jawab Tuan Badrun datar.
”Maaf Tuan Badrun, gerangan apakah tuan datang ke rumah saya? Bukankah saya berjanji pada tuan esok hari?” tanya Mahli penasaran.
”Ya, benar. Tuan memang berjanji esok hari. Tapi saya khawatir kalau esok hari tuan tetap tidak akan mampu membayar semua hutang tuan,” jawan Tuan Badrun.
”Mengapa tuan sampai berpikir begitu? Lagi pula kalau esok hari saya tidak mampu membayar semua hutang saya, rumah ini bisa tuan sita seperti kesepakatan kita tempo hari.”
”Maaf Tuan Mahli, saya kebetulan tadi lewat pasar. Saya melihat toko tuan tutup. Bagaimana saya percaya kalau tuan besok bisa melunasi semua hutang tuan jika hari ini saja tuan tidak berniaga. Lagi pula wajar saya khawatir. Sebab meskipun rumah ini jaminannya, saya lebih senang jika tuan membayar hutang tuan dengan uang kontan. Jujur saat ini saya sedang membutuhkan uang kontan Tuan Mahli,” kata Tuan Badrun beralasan.
”Kalau begitu saya minta maaf Tuan Badrun. Saya telah membuat tuan khawatir. Tapi sekali lagi saya katakan, besok akan saya usahakan untuk melunasi semua hutang saya.”
”Tapi bagaimana caranya? Hari ini saja tuan tidak berniaga. Uang dari mana? Benar-benar tidak masuk akal,” kata Tuan Badrun agak meninggi.
”Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah, Tuan Badrun. Hari ini saya akan menagih hutang ke istana, semoga Sultan berkenan membayar hutangnya,” jawab Mahli tenang.
Tuan Badrun heran dengan jawaban Mahli. Jangan-jangan Mahli sudah gila karena pusing memikirkan hutangnya. Tak mau terjadi apa-apa pada dirinya, Tuan Badrun buru-buru pamit pulang.
***
Setelah berpakain rapi dan wangi, Mahli pun bergegas menuju istana menjumpai Sultan. Sebelum pergi ia berpesan kepada Halima agar terus berselawat kepada Baginda Nabi.
Seperti halnya Halima, di jalan menuju istana, Mahli juga tak berhenti berselawat sambil memohon ampun kepada Tuhan atas dosanya yang telah lalai hingga sampai terjerat hutang kepada rentenir. Ya, Mahli memang kalap saat itu. Bagaimana tidak, semua barang perniagaan Mahli dibawa kabur orang kepercayaannya yang tak lain adalah pamannya sendiri. Ia benar-benar bangkrut, hancur dan harus memulai semuanya dari nol—karena sama sekali tidak memiliki modal, Mahli pun nekat meminjam uang kepada Tuan Badrun. Entah setan apa yang membisiki hati Mahli saat itu. Tapi yang jelas, Mahli akhirnya jatuh terperosok dalam kubangan lumpur hutang. Padahal ia amat paham bahwa hutang adalah salah satu pintu pembuka riba. Dan riba adalah perbuatan menantang Tuhan dan Baginda Nabi berperang.
Pinjaman dari Tuan Badrun bukanlah pinjaman cuma-cuma belaka. Bunga? Pasti! Kalau tidak bagaimana dia akan mendapatkan keuntungan dari ’kebaikannya’ meminjamkan uang itu. Meskipun bunganya tak seperti rentenir kebanyakan, tapi tetap saja pinjaman itu berbunga dan memiliki jangka waktu pembayaran.
Sejak itu Mahli sungguh-sungguh insyaf dan bertaubat. Setiap malam sebelum tidur ia selalu berdoa dan berselawat sambil menangis memohon kepada Tuhan agar diselamatkan dari jerat hutang Tuan Badrun. Kadang sangking berharapnya, Mahli bisa berdoa dan berselawat hingga menjelang subuh. Tentu juga diselingi dengan salat malam yang khusyuk.
***
Di depan gerbang istana, Mahli dihampiri seorang prajurit penjaga bertubuh tinggi kekar. Mahli pun menyampaikan maksudnya. Namun penjaga istana tak mengizinkan Mahli bertemu Sultan. Perdebatan pun terjadi hingga akhirnya kesabaran prajurit penjaga sampai di puncak. Tetapi di saat bersamaan, Sultan yang ingin keluar istana melihat kegaduhan mereka. Sultan pun menghampiri dan bertanya kepada si prajurit.
”Apa yang terjadi wahai penjaga?” tanya Sultan.
”Maaf Sultan. Sepertinya orang itu stres. Segera akan saya suruh pergi,” jawab prajurit istana sambil memberi kode kepada temannya agar menyeret Mahli segera.
”Kenapa engkau suruh pergi? Panggil ia kemari, aku ingin berbicara padanya!”
Prajurit penjaga terkejut mendengar perintah Sultan. Mendadak dia merasa ceroboh karena mencoba mengusir Mahli. Prajurit itu pun gegas membawa Mahli ke hadapan Sultan.
”Apa yang membuatmu datang ke istana wahai anakku?” tanya Sultan.
Mahli tak langsung menjawab. Ia masih merasa tak percaya bisa berbicara langsung pada Sultan. Sehingga Sultan pun bertanya kembali.
”Gerangan apakah kau datang ke istana, anakku?”
”Ee…ee…hamba…”
”Katakan saja! Tidak usah kau sungkan, anakku!”
”Begini Sultan yang mulia, sebelumnya hamba memohon maaf karena sudah membuat keributan di depan pintu gerbang istana,” Mahli berhenti sejenak menarik nafas kemudian melanjutkan ceritanya kembali. ”Sungguh tak ada keberanian sedikit pun pada diri hamba untuk menghadap yang mulia Sultan. Namun karena hajat hamba begitu mendesak, maka hamba tak punya pilihan selain harus menemui Sultan”
”Apakah hajatmu wahai, anakku?”
”Hamba ingin menagih hutang kepada Sultan,” jawab Mahli cepat.
Sultan dan semua yang ada di tempat itu pun terkejut.
”Maaf anakku, aku berhutang apa kepadamu? Dan kapankah itu terjadi? Sungguh aku hanyalah manusia biasa, tolong sebutkan jika aku memang melupakan hutangku kepadamu wahai anakku,” tanya Sultan penasaran.
”Begini ceritanya Sultan. Hamba sesungguhnya adalah seorang pedagang di sebuah pasar. Ketika wabah melanda negeri kita beberapa bulan yang lalu, usaha hamba mengalami kerugian dan nyaris bangkrut. Hamba yang kalap dan tak berpikir panjang akhirnya terjebak pada pinjaman kepada seorang rentenir…”
”Tuan, tak usah berputar-putar! Sampaikan saja kapan dan di mana Sultan berhutang kepada tuan,” potong penasehat Sultan tak sabar.
”Biarkan ia bercerita penasehat! Lanjutkan anakku! Ceritakan saja seluruhnya kepadaku. Aku akan setia mendengarkannya,” Sultan menengahi.
”Setiap malam hamba selalu berselawat dan berdoa kepada Allah agar dosa hamba diampunkan dan semua hutang hamba mampu hamba bayar. Hingga sampai tadi malam hamba terus berselawat dan berdoa memohon agar mendapatkan jalan keluar dari lilitan hutang. Dan di antara kelelahan hamba berselawat, hamba tertidur. Kemudian hamba bermimpi berjumpa Baginda Nabi Muhammad SAW. Dalam mimpi itu beliau memerintahkan hamba menagih hutang kepada Sultan. Beliau berkata Sultan tak berselawat kepadanya tadi malam, sehingga beliau tak…”
Tiba-tiba Sultan meminta Mahli berhenti. Kemudian berselawat. Lalu meminta penasehat mengambilkan sekantung koin dinar dan memberikannya kepada Mahli. Betapa terkejut Mahli tatkala Sultan memberinya sekantung dinar. Padahal ia belum menyelesaikan ceritanya. Bukankah bisa saja ia berbohong? Tapi Sultan tak sedikitpun ragu akan cerita Mahli. Malah Sultan kembali meminta Mahli melanjutkan ceritanya.
”Lanjutkan anakku! Apa yang Baginda Nabi sampaikan?”
”Baginda Nabi mengatakan bahwa ia tak…”
”Cukup!”
Sultan meminta Mahli kembali berhenti. Dia juga kembali berselawat dan kemudian memberikan Mahli sekantung koin dinar lagi. Tentu saja Mahli semakin heran. Mengapa setiap Mahli ingin menyelesaikan pesan Baginda Nabi, Sultan malah memintanya berhenti berbicara. Lalu memintanya kembali melanjutkan cerita.
”Apa yang Baginda Nabi katakan, anakku?”
”Nabi mengatakan ia tak…”
”Cukup!”
Sultan meminta Mahli berhenti kembali dan memberikan Mahli sekantung koin dinar lagi. Sudah tiga kantung koin dinar yang Mahli dapat dari ceritanya itu. Kalau sekantung berisi 1000 koin dinar saja, maka seluruh hutang Mahli akan lunas. Tapi mana mungkin Mahli menghitung isinya di depan Sultan. Maka ia pun berdoa dalam hati agar koin pemberian Sultan cukup untuk melunasi semua hutangnya.
”Lanjutkan anakku! Apa yang Baginda Nabi katakan?”
”Nabi mengatakan ia tak…”
”Cukup!”
Kembali Sultan meminta Mahli berhenti lalu memberikan Mahli sekantung koin dinar lagi. Melihat Mahli sudah empat kali mendapatkan sekantung koin dinar, penasehat Sultan pun angkat bicara.
”Tuan, apakah belum cukup koin itu untuk membayar semua hutang-hutang tuan?” tanya penasehat Sultan pada Mahli.
”Cukup. Sudah cukup tuan,” jawab Mahli terbata-bata sambil memohon pamit kepada Sultan.
”Selamat tinggal, anakku” kata Sultan kepada Mahli.
Mahli pun memberi hormat, lalu pergi meninggalkan istana. Sesaat setelah Mahli pergi, penasehat Sultan buka suara.
”Sultan, sungguh saya khawatir ia akan mengambil semua koin-koin dinar Sultan,” kata penasehat Sultan buka suara.
”Apa yang kau katakan penasehat? Aku bersumpah demi Allah, andai ia meminta seluruh hartaku dan kerajaanku, aku pasti akan berikan kepadanya,” Sultan berhenti sejenak, lalu melanjutkan ceritanya. ”Aku bekerja semalaman, penasehat. Aku tertidur di atas mejaku dan terlupa membaca selawat kepada Baginda Nabi. Padahal selama ini aku tidak pernah sekali pun lupa membaca selawat kepada Nabi. Aku sungguh-sungguh telah melakukan kesilapan, semoga Allah mengampuniku,” suara Sultan terdengar berat.
***
Sementara itu, di rumah Halima tampak gelisah menunggu Mahli pulang. Sehingga ketika mendengar pintu diketuk, dia pun buru-buru membukakan pintu.
”Alhamdulillah. Syukurlah kau sudah pulang suamiku. Aku pikir Sultan menahan engkau. O, ya bagaimana suamiku, apakah Sultan percaya?” tanya Halima penasaran.
”Masuklah dulu istriku. Tak elok bicara di depan pintu,” jawab Mahli.
Mahli dan istrinya pun masuk ke dalam rumah.
Di dalam kamar, Mahli pun kembali menceritakan semua peristiwa yang terjadi sejak ia keluar rumah hingga akhirnya sampai kembali ke rumah. Tak ada satu pun peristiwa yang Mahli rahasiakan, termasuk tatkala semua uang pemberian Sultan terpaksa Mahli berikan kepada seorang tua yang mengaku memberikan Mahli pinjaman melalui paman Mahli.
”Jadi bagaimana besok hutang kita dengan Tuan Badrun, suamiku?”
”Entahlah istriku. Aku juga tidak tahu. Jujur aku sudah menyerah. Aku hanya bisa berdoa semoga Allah menolong kita,” jawab Mahli sambil matanya berkaca-kaca.
***
Pagi-pagi saat Mahli dan Halima sedang minum teh, Tuan Badrun datang membawa surat perjanjian hutang Mahli.
”Tuan Badrun. Mari masuk tuan, minum teh dengan kami,” ajak Mahli.
”Terima kasih Tuan Mahli. Saya tidak banyak waktu. Kedatangan saya cuma ingin memastikan tuan membayar hutang atau tidak. Bagaimana tuan, apakah uangnya sudah ada?” tanya Tuan Badrun tak sabar.
”Maaf tuan, sebenarnya uang itu sudah ada. Namun kemarin uang itu terpaksa saya berikan kepada seseorang karena…”
”Sudahlah Tuan Mahli. Sudah sering saya bertemu orang seperti tuan. Lebih baik tuan susun barang-barang tuan dan silahkan angkat kaki dari rumah ini. Karena mulai hari ini, rumah ini menjadi milik saya,” kata Tuan Badrun memotong pembicaraan Mahli.
Mahli dan Halima hanya bisa terdiam. Mereka pun pasrah tak membantah atau memohon agar diberi waktu lagi. Tadi malam mereka sudah ikhlas kalau hari ini rumah mereka terpaksa berpindah kepemilikan. Mereka sadar ini semua akibat jerat hutang berbunga. Tapi mereka masih bersyukur Tuhan membalasnya di dunia. Bayangkan kalau di akhirat, betapa merugi mereka.
Akan tetapi, sungguh, manusia tak ada yang pernah tahu rencana Tuhan. Saat semua barang sudah Mahli keluarkan, mendadak paman Mahli datang dengan puluhan ekor unta dan beberapa kuda. Di atas unta-unta itu tergantung bermacam ragam barang-barang perniagaan. Seperti karavan yang akan pergi berniaga ke negeri seberang. Mahli yang sudah bersiap-siap pergi dari rumah terkejut dengan kehadiran pamannya.
”Wahai paman, gerangan apakah kau datang kemari? Anakmu ini sudah tak memiliki apa-apa lagi,” kata Mahli pasrah.
Air muka paman Mahli mendadak sedih. Dia menduga Mahli pastilah menganggapnya ingin meminta uang atau ingin berniat jahat. Padahal kedatangannya hari itu semata-mata untuk mengembalikan semua harta Mahli yang pernah dia larikan.
”Ya, anakku, maafkanlah pamanmu ini. Dosaku di masa lalu telah membuatmu begitu membenciku. Tapi demi Allah, hari ini aku datang bukan untuk membuatmu bersedih. Aku hanya ingin mengembalikan semua yang menjadi hak dan milikmu anakku,” jawab paman Mahli.
”Maksud paman? Aku sungguh tak menegerti,” tanya Mahli bingung.
”Anakku, semua unta dan barang yang tergantung di tubuh unta itu adalah milikmu. Itu semua adalah barang perniagaanmu yang dulu aku bawa pergi. Perniagaanku yang tak lain adalah milikmu itu atas izin Allah berkembang pesat sehingga barangnya semakin banyak. Aku juga sudah mengumpulkan uang yang aku pinjam dengan menggunakan namamu. Dan ini semua atas pertolongan Allah. Tanpa petolonganNya tidak mungkin hati ini tergerak untuk mengembalikan semua milikmu, anakku,” kata paman Mahli sambil berlinang air mata.
Mahli sungguh-sungguh tak menyangka jika selawatnya tadi malam dijawab Tuhan dengan pertolongan yang tak terduga. Dengan linangan air mata Mahli memeluk tubuh tua pamannya. Kemudian bersama-sama sujud di tanah.
Sementara itu, Tuan Badrun yang bersiap-siap mengunci rumah Mahli, terheran-heran ketika melihat puluhan unta lengkap dengan barang perniagaannya parkir di depan rumah Mahli. Berulang-ulang dia hitung jumlah unta itu sampai dia lelah dan jatuh terduduk di tanah.
”Hei, unta siapakah ini? Unta siapakah ini?” tanya Tuan Badrun tak berbalas.
Akasia 11CT
*ILHAM WAHYUDI. Lahir di Medan, Sumatera Utara, 22 November 1983. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU dan Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Beberapa cerpennya telah nimbrung dalam antologi serta dimuat koran-koran, dan majalah. Buku kumpulan cerpennya “Kalimance Ingin Jadi Penyair” akan segera terbit.