Cerpen Iin Farliani
“Kaukah orangnya?” Lea masih menunggu perempuan muda di hadapannya itu menanggapi pertanyaan yang sudah berulangkali ditanyakan. Aku yakin ia Iras, pikir Lea. Kain tenun yang dikenakannya cukup membuat tampilannya lebih dewasa dari umur yang sebenarnya, tetapi hal ini tak mengingkari kenyataan bahwa ia masih tetap seorang perempuan muda.
“Iras yang dahulu menjadi Dacil di sekolah. Dacil atau Dai Cilik. Berceramah setiap hari Jumat.” Sebenarnya Lea ingin menimbang untuk tidak menyebut lagi sebutan “Dacil” itu. Mungkin Iras merasa tidak nyaman. Ia sudah menunjukkan raut muka tak enak. Garis-garis horizontal tampak di dahinya. Tapi, akhirnya Lea mengulang kembali agar Iras lantas menjawab meski hanya sekenanya.
Iras meminta diri dengan sopan. Ia berlalu dari tempat Lea berdiri. Menghampiri model-model cantik dalam balutan busana muslim yang berbahan utama kain tenun ikat itu. “Kain tenun dalam pandangan umum sering lebih dilekatkan pada busana yang hanya dikenakan saat acara-acara resmi. Lihatlah tema pameran busana muslim tahun ini yakni rancangan dari tenun ikat. Tenun ikat juga bisa dirancang sebagai busana santai yang bisa digunakan jalan-jalan atau sekedar berkumpul di rumah bersama sanak famili.” Pembukaan dari ibu pejabat yang disambut tepuk tangan meriah. Selanjutnya acara pameran berlangsung. Di antara busana yang dipamerkan ada busana muslim berwarna hijau gading yang Iras sendirilah perancangnya.
- Iklan -
Tidak pernah terbayangkan. Lea menggelengkan kepala. Tapi, kenyataan ini memperoleh perhatian yang istimewa. Seorang perancang busana yang masih muda telah berkembang cukup jauh. “Ia dahulu adalah Dacil di sekolah kami. Iras namanya,” kata Lea sambil memperhatikan dari jauh peristiwa potret-memotret antara Iras dengan modelnya.
Belasan tahun silam, Iras adalah Dacil terbaik di sekolah. Ia pun sering mewakili sekolahnya ke berbagai macam lomba. Lea bekerja sebagai guru di sekolah itu. Ia melihat setiap hari Jumat, Iras mendapat giliran berdiri di mimbar, memberi ceramah dengan beragam topik yang membuat para guru terkagum-kagum. Ia juga membuat teman-teman sebayanya terpana. Mengapa Iras begitu hebat? Darimana muncul ide-ide untuk memberi ceramah seputar “La Taghdob (janganlah marah): keutamaan menahan amarah yang diajarkan Rasulullah”. Ada juga tema “Keutaman makan dengan menggunakan tiga jari yang disunahkan Rasulullah”. Ia masih bocah berumur sembilan tahun kala itu. Seseorang pasti membimbingnya untuk memilih tema A bukan tema B, atau mendahulukan tema C ketimbang tema D.
Dalam satu kesempatan Iras juga memberi ceramah dengan tema yang sering didengar yaitu kepatuhan pada orangtua. Alih-alih membawakan cerita Malin Kundang sebagai contoh, Iras memilih menarasikan kisah Sampuraga. Ia memancing tawa hadirin ketika membawakan ceramahnya dengan penuh penghayatan sambil menirukan logat kental dialog Sampuraga.
Sebagai guru pendatang di sekolah itu, Lea awalnya merasa heran sekaligus takjub ketika mengetahui sekolah baru tempatnya bekerja memilih muridnya secara bergilir sebagai Dacil di hari Jumat dan kebanyakan di antara mereka adalah murid perempuan.
Lea melihat lagi ke arah Iras yang masih sibuk bersama seorang model perempuan dewasa yang Lea taksir tinggi tubuhnya kira-kira 170 cm. Cukup jangkung untuk seorang model. Tubuhnya semakin menjulang oleh sepatu hak yang dikenakannya. Ia mengenakan busana rancangan Iras. Berbahan kain tenun yang terdiri dari blazer panjang hingga mencapai lutut, celana panjang longgar yang sisi satu seperti diarsir dengan motif rumit dan sisi satunya lagi dibiarkan polos. Di dadanya melintang sebuah selempang berwarna senada.
Lea terkagum-kagum dengan bekas muridnya itu tiap kali menyadari Iraslah yang merancang dan menjahit sekaligus busana yang dikenakan sang model. Iras berdiri berdampingan bersama model itu. Busana mereka berwarna sama. Tubuh mungil bersanding dengan tubuh menjulang. Ia tampak membenam di antara ketinggian tubuh itu. Tapi, hal itu semakin menunjukkan betapa mudanya Iras. Masih berada di pucuk kemudaan yang baru akan menuju hari-hari bermekarannya.
“Tapi kupikir, Ibu pasti salah orang.” Begitulah kata-kata yang kemudian terucap ketika akhirnya di penghujung pameran busana, Iras duduk satu meja dengan Lea. Hari mulai memasuki malam. Di langit masih tersisa semburat senja tampak dingin dan muram.
“Tapi kau Iras, bukan?” Lea bertanya tak sabar.
“Aku Iras. Ya benar namaku Iras. Tapi, maaf Bu. Aku Iras yang berbeda. Tidak seperti yang Ibu maksud. Aku tidak pernah sekolah di tempat Ibu mengajar. Juga tidak pernah menjadi… Apa itu tadi? Menjadi Dacil? Aku ingat jelas, aku bukan jenis anak berbakat seperti itu. Dulu bahkan aku cenderung pemalu!” Iras tersenyum lalu menyesap tehnya. Dalam pandangan Lea, senyum itu tidak seturut dengan tatapan matanya. Tatapan mata Iras lebih mencerminkan kesan yang meledek sekaligus rasa kasihan dalam waktu bersamaan. Seolah berkata, “Aduh malangnya Nyonya tua di hadapanku ini! Seorang yang benar-benar pikun!”
Tapi, tidak! Lea bersikeras. Aku masih ingat dengan jelas semuanya. Aku mengingat seterang-terangnya.
“Waktu itu ada perayaan keagamaan di sekolah. Kau yang ditunjuk untuk membawakan ceramah di hari besar itu. Tapi, beberapa hari sebelum perayaan, kau tidak masuk sekolah. Orangtuamu mengirimkan pemberitahuan bahwa kau sakit. Mereka dengan amat menyesal mengabari kau tidak mungkin bisa memenuhi perwakilan sekolah. Kau terkena cacar. Dan harus diam berminggu-minggu di rumah.”
“Aku datang menjengukmu kala itu. Mulanya kepala sekolah menugaskanku untuk menunjuk murid lain sebagai penggantimu. Murid-murid lain mengeluh. Mereka mengatakan hanya memiliki kisah-kisah biasa yang tidak begitu menarik untuk dibawakan sebagai Dacil. Salah seorang di antara mereka secara terang-terangan meminta padaku untuk meminta pertolongan kepadamu. Katanya Iras memiliki buku rahasia yang menjadi sumber inspirasi isi ceramah yang disampaikan selama ini.”
Lea berhenti sebentar menunggu tanggapan Iras. Tapi, Iras justru tetap diam. Sudut matanya naik sedikit memberi isyarat masih ingin mendengar kelanjutan cerita itu.
“Kau ingat buku rahasia apa itu, Iras?”
Iras menggeleng masih tak mengerti. “Buku rahasia apa gerangan?”
“Sebelumnya mari kuceritakan bagaimana kondisimu saat aku dan beberapa kawanmu datang menjenguk. Sekujur badanmu dipenuhi benjolan-benjolan merah bernanah. Kau menyembunyikannya dengan kain panjang yang membalut tubuhmu. Tidak hanya di badan, merambat pula sampai ke muka. Bekas-bekas berwarna kecoklatan bertumpuk-tumpuk dengan bintil-bintil baru. Kau takut ketika kami datang menjenguk. Takut akan menularkan penyakit itu. Tapi, aku bilang tak apa. Mari kita bicara berdua saja di dalam.”
“Di sela-sela pembicaraan kita, kau mengeluarkan buku rahasia itu. Buku yang kaukatakan selama ini menjadi sumber isi ceramahmu. Apa sekarang kau ingat buku itu?”
Iras menggeleng lemah. Sikap duduknya kini lebih tegak. Lea bertanya-tanya, apakah ia kini tertarik dengan ceritaku? Atau ia memasang sikap berjaga-jaga karena mungkin mengira aku telah benar-benar meracau seperti seorang tua yang tumpul ingatannya!
“Buku itu tampak seperti album foto. Tapi, itu hanya sampul depannya saja. Itu adalah sebuah majalah Islam era lama. Lembaran-lembaran buku itu terpisah dan telah susah payah direkatkan kembali lalu dibungkus dengan sampul berbahan keras yang mirip album. Begitulah cara ayahmu merawat buku itu. Dan yang mengejutkan, kau katakan ayahmu telah menemukan buku itu secara tidak sengaja di sekitar tempat sampah dalam perjalanannya pulang dari tempat kerja.”
Iras menarik napas panjang. Wajahnya tertegun beberapa saat seperti baru mencerna sesuatu yang terdengar asing di telinganya. Ia menoleh ke arah panggung di kejauhan. Teman-teman seprofesinya dalam balutan tenun berwarna-warni kini telah beranjak dari panggung dan siap berkemas akan pulang.
“Maaf, Ibu. Saya harus menyusul teman-teman saya. Barangkali di lain waktu kita bisa berbicara kembali.” Iras bangkit dari kursinya. Memohon diri dengan sopan. Lea mendapati sorot mata Iras yang tidak mula-mula tertuju padanya, melainkan seseorang di belakangnya. Lea terkejut melihat suaminya telah berdiri di belakang kursi. Suaminya mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf pada Iras.
“Benar-benar mustahil! Ia bilang tidak ingat sama sekali. Bagaimana mungkin? Apakah masa lalu sebagai pendakwah cilik begitu memalukan untuk seorang perancang busana sepertinya?” Lea menggerutu kesal. Ia masih melihat kepergian Iras yang disambut rengkuhan dari teman-temannya. Tenun ikat itu! Warna hijau gadingnya masih terlihat menyala di mata Lea seturut kepergian Iras.
“Kita pulang. Sudah. Mungkin memang dia bukan Iras. Ayo, pergi.” Ben membantu Lea berdiri dari kursinya. Mereka berjalan menuju tempat parkir mobil.
”Aku ingat semua anak yang pernah menjadi muridku. Aku ingat wajah mereka. Dan anak ini, Iras begitu cepat melupakanku. Mungkin dia malu berhadapan dengan wanita tua sepertiku.”
Ben menyetir dengan hati-hati sambil terus berusaha menenangkan Lea.
“Apa katanya, Ben? Katamu kau juga sempat bertanya padanya. Apakah ia mengatakan sesuatu?”
“Apa katanya?” desak Lea sekali lagi.
Ben hanya menatap ke depan. Ia ingat ketika Lea masih menjadi guru sekolah dulu. Murid-muridnya sering datang ke rumah. Lea menjamu bocah-bocah lucu itu dengan beragam kue lezat dan sirup manis. Lea memperlakukan mereka seperti anak sendiri. Begitu bahagianya ia dahulu. Ben mencoba mengingat apakah ada di antara mereka yang bernama Iras dan seperti apa parasnya. Tapi, sia-sia saja. Ah, barangkali ia kini telah sama pikunnya dengan Lea. Ben tetap terdiam. Membiarkan Lea bercerita terus tentang ingatan-ingatan di masa lalu.
*Iin Farliani, penulis buku kumpulan cerita pendek berjudul Taman Itu Menghadap ke Laut (2019). Lahir di Mataram, Lombok, 4 Mei 1997. Alumnus Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mataram. Sejak tahun 2013 hingga sekarang masih terlibat aktif dalam kegiatan Komunitas Akarpohon Mataram. Sebuah komunitas sastra dan penerbitan buku. Di tahun 2020, ia terpilih sebagai salah satu Emerging Writers MIWF 2020.