Oleh Ida Qudsy Nc
Istilah yang mengakar kuat dari kata “guru” adalah digugu dan ditiru. Istilah sakral tersebut tersemat untuk sosok pendidik, pengajar, pelatih, dan semacamnya. Dikalangan masyarakat pada umumnya, guru menjadi cerminan untuk anak didik dalam berbicara, bersikap, dan banyak hal lainnya. Bahkan, terkadang dianggap mumpuni dalam segala hal.
Padahal, sejatinya guru juga manusia biasa yang tak lepas dari khilaf dan kekeliruan. Makhluk yang terus belajar setiap harinya. Dalam hal pendidikan, sebenarnya bukan hanya murid yang belajar, melainkan guru dan murid saling belajar.
Dari realitas sosial pendidikan yang ada, kewajiban belajar seharusnya disadari semua pihak. Dari segi orang tua, apabila anaknya melakukan kesalahan tidak serta merta langsung membela, namun memberi peluang anak untuk memperbaiki kesalahannya agar jera. Begitupun guru, terus belajar memahami karakter anak-anak tersebut dengan menasehati, memotivasi serta memberikan hal yang jera tanpa melanggar pasal perlindungan anak. Adapun anak didik sendiri juga perlu berbenah diri menyadari kesalahan maupun berupaya belajar lebih baik lagi.
- Iklan -
Bahkan tidak hanya anak saja yang bisa salah, sebagai manusia, terlebih guru juga bisa khilaf dan salah dalam bertutur, besikap dan mengambil keputusan. Namun, sebagai pengajar yang dijuluki guru akan terus mengevaluasi diri dan berupaya menjaga integritas guru supaya layak digugu dan ditiru.
Sejatinya kesalahan maupun kekhilafan dari manapun arahnya adalah sarana untuk terus belajar menjadi pribadi yang lebih baik lagi kedepannya. Selama nafas berhembus adalah kesempatan untuk belajar baik dalam ruang ataupun tanpa ruang.
Di sisi lain, hal yang sering terabaikan adalah adanya kesalahan justru sebagai pengingat bahwa manusia makhluk biasa, bisa salah dan benar. Jikalau salah, itulah salah satu cara Allah membuat manusia agar tidak tinggi hati dan merasa diatas angin. Apalagi sebagai guru memang selayaknya bersikap rendah hati.
Meskipun profesi guru masih jauh dari kesejahteraan, namun masih banyak diminati dikalangan masyarakat. Karena sejatinya mereka bukan hanya memandang dari segi duniawi semata, namun menjadi guru merupakan profesi yang mulia dunia akhirat. Terlebih, menunaikan kewajiban menuntut ilmu dan amanah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dunia pendidikan mengajarkan para guru untuk memandang realitas bahwa dunia pendidikan bukan semata bertumpu pada keseragaman, melainkan keanekaragaman. Kemajemukan pola pikir anak didik, karakter, serta kemampuan. Disitulah guru berpeluang untuk belajar memahami bahwa semua anak berhak mendapatkan pendidikan, kendati karakter dan dan kemampuan masing-masing berbeda satu sama lain. Namun, perhatian kepada setiap anak serta keadilan harus selalu diupayakan.
Apalagi pengaruh adanya globalisasi, perubahan sikap anak-anak semakin tampak karena meluapnya sajian digital dan media sosial secara random. Anak seakan mempunyai dua dunia sekaligus yaitu dunia maya dan dunia nyata.
Banyak sekali tantangan lain bagi para guru, semakin kesini, tantangan semakin besar, apalagi ditengah arus teknologi. Jika para guru tidak berupaya adaptif dan cakap terhadap transformasi digital tentu akan tergilas oleh zaman. Saat ini, sudah banyak media pembelajaran yang mulai beralih perlahan dalam wujud digital. Itulah sebabnya guru bukan semata disebut sebagai pengajar melainkan harus terus belajar.
Sejatinya zaman terus bergulir, menapaki kehidupan yang lebih komplek diera derasnya arus digital, membutuhkan ilmu yang tidak sedikit untuk dapat berdiri kokoh dan agar tidak terseret keruhnya gelombang informasi yang tanpa batas.
Charles Darwin, seorang ahli biologi terkenal, menyatakan bahwa bukan yang paling kuat, bukan yang paling pintar yang bisa bertahan hidup, melainkan yang paling bisa beradaptasi dengan perubahan.
Belajar sendiri bagi umat Islam, diwajibkan dari lahir sampai liang lahat. Oleh sebab itu, tidak ada batasan usia dalam hal belajar. Terlebih sebagai guru karena sejatinya semakin banyak belajar seseorang, semakin dirasa kebodohan yang membelenggu sehingga dirasa semakin banyak ilmu Allah yang belum banyak diketahuinya.
Ibarat menyelam kedasar laut, semakin menyelam semakin tidak tahu letak dasar laut yang begitu dalam. Setiap fase manusia adalah proses belajar ditahap tersebut. Usia bayi sampai balita, anak mulai mengenal dasar-dasar kehidupan dengan ilmu yang paling dasar, diusia bangku pendidikan, anak belajar hal yang sangat penting untuk bekal masa depan, diusia dewasa pasca pendidikan tanpa ruang, manusia terus belajar membaca situasi dari kehidupan yang kompleks.
Setiap perjalanan hidup menuntut manusia untuk senantiasa memahami bahwa segala hal, disamping ikhtiar dan doa, ada kehendak Allah. Oleh sebab itu, sabar dan syukur menjadi dua sayap yang harus dibentangkan. Kesabaran guru paling banyak diperoleh dari anak-anak yang cenderung menguji hati para guru untuk bijak menyikapi keanekaragaman tingkah dan karakter anak. Rasa syukur guru diperoleh dari titipan anak-anak yang dapat menjadi penolong diakhirat kelak.
Hakikatnya guru mendapatkan banyak ilmu dari anak-anak yang dihadapi. Setidaknya setiap pihak menginginkan kebahagiaan dunia akhirat. Pihak orang tua dan guru berharap agar generasi-generasi mereka memiliki masa depan yang penuh keberuntungan dunia akhirat.
Dalam hal ini melibatkan banyak pihak agar turut berbenah diri untuk lebih bijak. Baik dari orang tua, anak didik itu sendiri, guru, bahkan pemerintah. Semua elemen tersebut saling berkesinambungan untuk meraih tujuan pendidikan itu sendiri. Bahkan dalam kitab ta’limul muta’alim sangat masyhur disebutkan bahwa ada tiga elemen keberhasilan santri atau pelajar yaitu guru, orang tua, dan anak itu sendiri.
Pada akhirnya, setiap manusia, baik guru, murid, orang tua, bahkan siapapun yang nafasnya masih berhembus masih selalu Allah beri peluang untuk terus belajar agar lebih baik dari hari kemarin. Mari, sadari bersama pentingnya menata ruang hati, terlebih sebagai guru untuk terus belajar baik dalam ruang maupun tanpa ruang.
Terlebih belajar membuka pikiran, hati dan wawasan bahwa ditengah arus digital manusia harus turut bertransformasi agar tidak tenggelam dan tergilas oleh zaman.
-Penulis adalah Santri Ponpes An-Nawawi Berjan