Oleh Rasyida Rifa’ati Husna
Memang tak dapat dinafikan bahwa pondok pesantren memiliki peran yang sangat penting dalam pendidikan di Indonesia. Terlebih, di tengah derasnya arus zaman yang mengikis moral dan etika, pesantren mampu menanamkan nilai-nilai agama dan moral kepada para santri, sehingga mereka dapat tumbuh menjadi generasi yang berakhlak mulia.
Akan tetapi akhir-akhir ini, berita tentang berbagai insiden yang seharusnya tidak terjadi di tubuh pondok pesantren telah menciptakan stigma negatif di tengah-tengah masyarakat. Tindakan ini tentu saja tidak sesuai dengan visi pesantren sebagai lembaga pendidikan moral. Apalagi dalam beberapa kasus, pelakunya adalah tokoh atau pengajar yang seharusnya menjadi teladan bagi para santrinya.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan pesantren yang ramah anak, sangat pentung untuk menanggulangi masalah tersebut dengan pendekatan yang tegas, serta meningkatkan pengawasan dan evaluasi terhadap praktik-praktik di dalam pesantren. Selain itu, penting pula untuk mengingatkan kembali kepada para tokoh dan muallim bahwa mereka juga memiliki kewajiban berakhlak kepada para muridnya.
- Iklan -
Dalam konteks ini, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, Adab ʼAlim Wa Muta’allim telah membahas tentang etika guru (alim) dalam proses pembelajaran. Meskipun kitab ini tidak secara tersurat menjelaskan kiat membentuk pesantren ramah anak, akan tetapi ajaran yang terkandung di dalamnya mencakup nilai-nilai yang relevan untuk mewujudkan lingkungan pendidikan yang ramah dan kondusif bagi anak-anak.
Menerapkan Prinsip Humanisasi di Pesantren
Prinsip humanisasi atau memperlakukan setiap individu dengan menghargai martabat dan hak-haknya sebagai manusia sangat penting untuk diterapkan di lingkungan pesantren. Hal ini bertujuan untuk menciptakan suasana yang menghargai martabat setiap anggota di lingkungan pesantren, termasuk para santri dengan memberikan perhatian terhadap pembinaan akhlak, kasih sayang, dan perhatian terhadap kesejahteraan seluruh aspek kehidupan mereka.
Sebagaimana yang telah Rasulullah ajarkan, seperti nilai-nilai kasih sayang, empati, dan perhatian terhadap kebutuhan mental maupun fisik. Seperti dalam salah satu hadis, beliau saw. telah bersabda, “Barangsiapa tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari)
Hadis ini mengajarkan pentingnya kasih sayang dalam setiap hubungan, termasuk antara pengasuh, pengajar, pembina, dan santri. Kasih sayang adalah inti dari humanisasi, karena dengan memberikan kasih sayang, seseorang dapat menciptakan hubungan yang positif satu sama lain.
KH Hasyim Asy’ari mengajarkan bahwa seorang pendidik harus mendekati santrinya dengan kelembutan dan cinta kasih, sebagaimana Rasulullah menunjukkan kasih sayangnya kepada para sahabat dan anak-anak. Demikian pula, muallim harus menghindari sikap kasar dan kekerasan atau merendahkan murid, akan tetapi menerapkan prinsip rahmah (kasih sayang) dalam pendidikan, di mana guru harus menjadi pelindung dan pembimbing bagi muridnya.
Pendidikan dengan Keteladanan
Keteladanan dalam sistem pendidikan pesantren memiliki peran yang sangat signifikan dalam mewujudkan pesantren ramah anak. Sebagaimana KH Hasyim menerangkan bahwa pendidik merupakan bapak rohani (spiritual father) bagi para santri yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilakunya yang buruk.
Karena itu, seorang guru yang memiliki akhlak dan adab yang mulia akan lebih mudah untuk mendidik para santrinya. Dalam ini, para muallim harus menjadi teladan baik dalam segala hal, baik dalam cara berbicara, bertindak, dan bersikap.
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari menganjurkan hal yang tidak kalah penting berkaitan dengan proses pendidikan di antaranya ialah guru seharusnya berusaha untuk selalu melakukan introspeksi diri. Seorang pendidik sebelum mengajar kepada muridnya harus mengajar dirinya sendiri, sehingga apa yang akan diajarkan telah ‘dilakoni’ terlebih dahulu..
KH Hasyim juga menganjurkan agar para guru mempergunakan metode pembelajaran yang mudah dipahami bagi santrinya, membangkitkan antusias mereka dengan memotivasinya, memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu, dan lain sebagainya.
Memiliki Kepedulian dan Ikhlas dalam Berkhidmah
Kepedulian guru terhadap santri memegang peranan penting dalam mewujudkan pesantren yang ramah anak. Guru yang peduli, layaknya orang tua kandung kepada anaknya dapat memberikan perhatian yang lebih pada kebutuhan emosional, sosial, dan pendidikan santri.
Menjadi keharusan bagi setiap pengajar memperlakukan santrinya dengan baik sebagaimana ia senang ketika orang lain berlaku baik kepadanya. Begitu juga dengan hal buruk, jangan sampai itu menimpa santri-santrinya sebagaimana dirinya tak ingin keburukan menimpa dirinya. Dengan adanya pendekatan ini, santri akan merasa dihargai dan aman.
Kemudian dengan keikhlasan, juga mendorong guru untuk lebih sabar dan konsisten dalam mendampingi santri, menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman untuk proses belajar mengajar. Hal ini tentu saja berkontribusi pada terbentuknya karakter santri yang baik, disiplin, serta berakhlak mulia sejalan dengan visi pesantren yang tak hanya menjadi tempat menimba ilmu agama, tetapi juga tempat untuk membangun kepribadian yang mulia serta menumbuhkan generasi yang lebih baik kedepannya.
Selain itu, guru juga berperan dalam menciptakan suasana yang inklusif, mengedepankan nilai-nilai kebaikan, serta melibatkan santri dalam kegiatan yang positif, sehingga pesantren dapat menjadi tempat yang mendukung tumbuh kembang mereka secara optimal.
Walhasil, untuk mewujudkan pesantren ramah anak, sebagai pengajar atau muallim akan berusaha mengedepankan hak-hak santri, memastikan mereka terlindungi dari kekerasan, diskriminasi, serta perlakuan yang tidak adil, dan memberikan ruang bagi mereka untuk berkembang secara fisik, mental, dan spiritual. Wallah a’lam.[]
-Alumni UIN Walisongo