Oleh S. Prasetyo Utomo
ADAKAH doa yang mujarab bagi seseorang agar bisa hidup tanpa bekerja? Beberapa hari tinggal di pesantren Abah Ajisukmo, Seto berpikir ingin hidup tanpa bekerja, dan bisa memperoleh rezeki sepanjang hari. Tak pernah kekurangan untuk menghidupi diri sendiri. Ia berharap Abah Ajisukmo berkenan memberinya doa itu.
Seto seorang perantau. Dalam pengembaraannya, ia bertemu Ki Broto, pemilik pedepokan tari. Ki Broto memintanya untuk menjadi santri Abah Ajisukmo, dan bekerja sebagai penambang pasir di sungai lereng gunung. Ia menemukan ketenangan jiwa ketika bertemu Abah Ajisukmo. Lebih tenang lagi jiwanya saat ia mengikuti pengajian. Ia selalu mengingat doa dan ajaran yang menenteramkan kegelisahan hatinya.
Langkah Seto enggan dan berat meninggalkan pesantren. Selalu lebah-lebah terbang rendah di atas kepalanya, berkitar-kitar, mendengung lembut. Ia dikenal sebagai pemikat lebah, pencari madu lebah hutan. Sebelum tinggal di pesantren, ia seorang pengembara, menjelajahi hutan, melacak sarang-sarang madu di dahan-dahan pohon. Kini ia berhenti mencari madu lebah hutan, memilih hidup sebagai penambang pasir, dan menjadi santri Abah Ajisukmo. Sepertinya Abah Ajisukmo belum begitu mengenal dirinya, seorang santri baru, yang tiap pagi mesti berangkat menuruni tebing ke lembah sungai, berada di antara para penambang pasir. Sekali waktu ia pergi menjelajahi hutan untuk mencari sarang lebah, menaklukkan lebah dengan mantra dan asap sabut kelapa. Mempersembahkan madu itu pada Abah Ajisukmo. Ia menemukan kebahagiaan yang tak terduga saat Abah Ajisukmo mengucapkan rasa terimakasihnya menerima sebotol madu lebah hutan.
- Iklan -
Beberapa pick-up sudah menanti di dasar sungai kering, untuk diisi dengan pasir. Seto bekerja pada sang juragan. Ia mendapat upah tiap kali sebuah pick-up dipenuhi dengan pasir yang diangkatinya dengan sekop, sambil menahan napas terengah-engah. Tubuhnya yang kurus menyimpan kekuatan dahsyat, tanpa lelah mengisi bak pick-up dengan pasir bersama dua temannya yang lain.
Tubuh Seto tangguh mengangkati pasir ke dalam bak pick-up. Ia menjadi penambang pasir di sungai yang sempit, yang tak bisa dimasuki backhoe. Dengan tubuh kurus itu ia senantiasa cekatan mengangkati pasir. Ia selalu diolok-olok Glemboh, penambang pasir kekar yang selalu melucurkan kata-kata kasar, memaki, lataran lebah-lebah seringkali mengitari kepalanya. Takut disengat lebah, Glemboh hanya duduk di atas batu, merokok, dan membiarkan Seto menaikkan pasir ke dalam bak pick-up, berlaku sebagai mandor yang berkuasa.
***
LANGIT pagi gelap ketika Seto meninggalkan pesantren, puncak gunung memancarkan awan panas dan abu. Ia melihat orang-orang cemas berangkat ke ladang sayuran. Ia bimbang melangkah melintasi pelataran pesantren. Ketika berpapasan Abah Ajisukmo, ia girang.
“Kau berangkat juga?”
“Kalau tak berangkat, saya tak mendapat upah,” balas Seto, lelaki berumur tiga puluh, dan belum beristri. “Bagaimana kalau Abah memberi saya doa agar bisa hidup tanpa kerja?”
Kening Abah Ajisukmo berkerut. Kemudian lelaki berjubah putih berserban putih itu tertawa. Mungkin tawa yang meledek Seto. Tapi lelaki kurus itu tak peduli.
“Lain kali kuajarkan doa itu,” tukas Abah Ajisukmo. “Kali ini berangkatlah ke sungai!”
Langkah-langkah Seto terasa ringan, lebah-lebah berdengung di atas kepalanya, berkitar-kitar, menyertai kepergiannya. Ia menyimpan ketenangan perasaan mendengar akan memperoleh doa dari Abah Ajisukmo, yang mesti dirapalnya, agar tak usah bekerja, selalu memperoleh rezeki. Ia tak perlu lagi menjadi penambang pasir di dasar sungai kecil di lereng gunung yang sesekali menyemburkan awan panas dan abu. Ia paling tak suka memperoleh perlakuan kasar Glemboh yang membenci lebah-lebah yang selalu mengikutinya.
***
MELANGKAH meninggalkan pesantren, Seto merasa lebih tenang, lebih tenteram. Abah Ajisukmo sudah memberinya doa yang selalu dirapal pada malam menjelang pagi agar tanpa bekerja ia dinaungi rezeki. Dalam beberapa hari mendatang ia berharap akan menemukan rezeki yang mencukupi kebutuhan hidupnya. Ia membawa sekop, berdandan sebagaimana seorang penambang pasir, berkaos lusuh bercelana cendek hitam, dan beberapa ekor lebah berdengung berkitar-kitar di atas kepalanya.
Ia menuruni tanggul sungai, mengikuti jalan pick-up untuk mencapai lembah sungai. Tiga pick-up menanti untuk dipenuhi dengan pasir. Ia bekerja seorang diri. Glemboh belum datang. Begitu pula dengan lelaki setengah baya berkumis tebal, belum juga menampakkan diri. Satu pick-up hampir penuh diisi pasir, Glemboh dan lelaki setengah baya berkumis tebal baru datang. Tanpa perasaan bersalah.
Beberapa ekor lebah berkitar-kitar di atas kepala Seto. Glemboh selalu tak menyukai dengung lebah itu, dan selalu mencoba memburu lebah, membunuhnya dengan hantaman sekop. Kasar dan membenci.
“Jangan kau bunuh lebah-lebah itu!” pinta Seto.
“Aku paling benci lebah! Kalau tubuhku disengatnya, akan kutumpas semua lebah yang mengikutimu!”
“Nanti, kalau kawanan lebah ikut menyerang, tubuhmu tambah bengkak!”
“Kaukira aku takut dengan lebah-lebah itu? Kudengar kau bisa mengendalikan lebah, coba suruh mereka menyerangku!”
Seto tak ingin memenuhi tantangan Glemboh. Tapi lelaki gempal itu terus mengolok-oloknya. Terus membunuh lebah-lebah dengan hantaman sekop. Seto menjauh dari lembah sungai. Mencari batu besar. Duduk. Merapal mantra. Lebah-lebah berdengung melesat dari berbagai penjuru hutan lereng gunung, berkitar-kitar di atas lembah sungai, merubung, dan menyengat Glemboh. Tubuh gempal gemuk itu dirubung dan disengat lebah. Berguling-guling. Lebah terus menyergapnya. Ia berteriak-teriak. Tubuhnya serupa zombie. Dikerumuni lebah-lebah yang terus berdatangan. Lebah-lebah ganas menyengat bersamaan. Dengung lebah yang berdatangan dari dalam hutan melesat cepat sekali, dan memburu tubuh tambun gempal yang berguling-guling kesakitan di pasir. Seto tak menghentikan merapal mantra. Lebah-lebah itu terus berdatangan menyengat tubuh yang tambun gempal itu, hingga tengkurap menyusup pasir. Mengejang. Menahan nyeri tubuh dan rasa ngeri. Teriak-teriak. Lama-kelamaan lelaki gembal itu tak bergerak. Kaku. Seto turun pelan-pelan dari atas lempengan batu. Ia tak menduga bila lebah-lebah hutan itu menciptakan kematian, bukan lagi ketakutan bagi lelaki bertubuh gempal itu.
Penambang pasir setengah baya berkumis tebal tercekam kengerian di kejauhan.
***
PADA hari ke tujuh Seto mendekam dalam sel penjara, dengan tuduhan melakukan pembunuhan terhadap Glemboh, berkunjung Abah Ajisukmo dan Ki Broto menjenguknya. Berhadapan dengan guru ngajinya itu, tubuh Seto menggigil. Ia juga malu berdiri di depan Ki Broto, yang telah membawanya ke pesantren Abah Ajisukmo. Ia menunduk. Tak berani mengangkat muka.
“Maafkan saya, Abah. Saya tak menduga kalau bakal begini kejadiannya.”
“Bukankah keadaan ini yang kauinginkan? Di tempat ini kau menemukan rezeki makan dan minum tanpa kerja,” kata Abah Ajisukmo.
Ketika Abah Ajisukmo meninggalkan tahanan, barulah Seto menyadari betapa ia merindukan suasana pesantren, mendengar pengajian, menyeduh kopi, dan meminumnya pelan-pelan. Ia merindukan melakukan perjalanan dari pesantren ke lembah sungai yang sempit dengan lapisan pasir yang menghampar, yang tak pernah habis dibawa pick-up yang senantiasa berdatangan tiap saat. Ia baru bisa merasakan nikmat nasi bungkus yang dimakannya di atas batu besar ketika lapar menambang pasir, dan mencecap teh manis dari ujung plastik. Ia bisa merasakan betapa nyaman rebah di atas lempengan batu besar, agar punggungnya tak lagi pegal pada sore hari, sebelum ia mandi di sungai kecil itu, dan berjalan pulang ke pesantren. Ia merindukan suara dengung lebah yang berkitar-kitar di atas kepalanya. Ia menunggu putusan pengadilan, akan berapa tahun mendekam di penjara ini: makan dan minum tanpa bekerja.
Ia mengangankan suatu hari dibebaskan dari penjara, kembali ke pesantren, membawa sekop menuruni lembah sungai sempit itu, untuk menambang pasir dari pagi berkabut hingga sore. Ia ingin kembali memasuki hutan, mencari sarang lebah, mengambil madu, dan mempersembahkannya pada Abah Ajisukmo yang menyampaikan rasa terimakasih dengan senyum menenteramkan.
***
Pandana Merdeka, Mei 2020
*S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.