Oleh Muhammad Adib, S.Kom.
Tidaklah profesi ini dikatakan ulama, ustaz apalagi kiai yang disegani para santri. Usaha dakwah yang satu ini lekat dengan keseharian umat terlebih anak-anak dan kaum remaja. Ya, guru ngaji atau guru Al-Qur’an merupakan salah satu contoh profesi ‘akhirat oriented’ yang sarat dengan amal, pahala dan kebajikan. Guru ngaji menjadi benteng pertahanan pertama pendidikan keislaman bagi anak usia dini. Tak hanya ada di desa atau di kampung-kampung, bahkan sudah menyebar hingga di tengah perkotaan. Pengaruh pesat arus globalisasi dan gempuran informasi mau tak mau menyebabkan umat harus memiliki tameng untuk menghadapi ‘ganasnya’ kehidupan dunia.
Paparan perkara duniawi yang setiap hari masuk ke dalam otak kita mulai dari bangun hingga tidur berpotensi merusak keseimbangan ukhrawi. Guru ngaji menjadi secuil oase di tengah kebisingan urusan dunia, bagi mereka yang amnesia bahwa bekal akhirat berupa mempelajari ilmu Al-Qur’an lebih utama daripada mengumpulkan harta dunia tanpa makna apa-apa.
Penulis masih mengingat jelas memori beratnya hidup di jaman 90-an. Pergi pagi untuk berangkat sekolah, siang hari bergegas menuju madrasah dan ba’da maghrib berjibaku dengan mengaji Alif-Ba-Ta/Al-Qur’an di musala. Rutinitas harian yang dirasa super melelahkan yang mengakibatkan minimnya jam bermain kala itu. Rasa malas dan lelah pun terkadang melanda, saat itu pula terkadang tali pinggang atau sesekali jeweran orang tua mendarat di salah satu anggota badan.
- Iklan -
Namun dibalik kerasnya masa itu, ada hikmah tersembunyi yang wajib disyukuri hingga kini. Sebagai contoh bagaimana perbandingan keadaan pemuda terdahulu dengan kondisi generasi muda kita sekarang? Berapa banyak remaja-remaja saat ini yang masih buta huruf Al-Qur’an? Tak tahu rukun islam dan rukun iman bahkan anak SMA di zaman now tak sedikit yang belum mampu untuk membaca kalamullah, padahal inilah yang akan dibawa menghadap Allah. Andaikan waktu bisa diputar kembali, penulis ingin merasakan nikmatnya kehidupan kala masih menggenggam obor saat mengaji.
Modernitas gaya hidup dan perputaran zaman semakin memudarkan nilai-nilai pendidikan agama terutama pentingnya peran guru ngaji dalam mengajarkan Al-Qur’an. Namun ternyata guru ngaji malah mendapat beban yang tak ringan. Sang muallim dituntut untuk membentuk generasi yang qur’ani, lancar mengaji lengkap dengan hukum tajwidnya. Target yang cukup berat, tapi yang lebih berat ialah perkara honor atau upah yang jauh dari kata layak. Honor yang diperoleh guru ngaji mulai dari sejak dulu hingga zaman kecerdasan buatan (AI) saat ini masih tak jauh beda. Sama-sama menerima upah yang tipis, setipis kulit ari. Innalillah…
Guru ngaji kalah pamor dengan guru duniawi
Mohon jawab dengan jujur dalam hati, lebih tinggi mana upah guru ngaji dengan guru les Bahasa Inggris? Atau dengan upahnya guru les Matematika? Semua pasti sudah tahu jawabannya. Upah guru ngaji jelas tak ada apa-apanya dengan guru les Matematika, Bahasa Inggris, seni musik dan lain sebagainya. Bak langit dan bumi, jauh panggang daripada api, guru les duniawi mengantongi gaji berkali-kali lipat dibandingkan dengan guru ngaji. Kalau guru ngaji ikhlas dibayar puluhan hingga beberapa ratus ribu, itupun sudah cukup memberatkan orang tua. Bagaimana halnya dengan guru les tadi? Penulis yakin para orang tua rela dan ridha mengeluarkan jutaan rupiah agar anaknya lancar berbahasa Inggris, ahli memainkan alat musik atau menjadi pakar Matematika ulung seperti Einstein.
Padahal guru ngaji atau guru Al-Qur’an-lah yang kelak akan mengantarkan anak-anak kita ke surga, menghadiahkan mahkota untuk orangtuanya hingga mampu mengeluarkan keluarganya dari ganasnya api neraka. Alangkah zalimnya kita memperlakukan guru yang mulia ini.
Maaf sebelumnya, bukan bermaksud untuk mengecilkan peran guru duniawi, guru les tadi tetap penting dan bermanfaat dalam kehidupan. Sayangnya guru ngaji memiliki keutamaan lebih tinggi dibandingkan dengan guru duniawi tadi, bahkan Nabi Muhammad Sang Uswah pernah bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian ialah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya”. (HR. Al-Bukhari)
Pamor guru ngaji memang tidak sekeren dan sebeken guru duniawi, tapi pahalanya akan terus abadi dibawa sampai mati bahkan hingga kiamat nanti. Amal jariyah yang tiada terputus pahalanya hingga anak cucunya kelak. Masyaallah, kurang mulia apalagi profesi ini walaupun hanya dipandang sebelah mata oleh sebagian besar manusia?
Ikhlas dibayar minimal, dituntut secara maksimal
Motto hidup guru ngaji memang terasa pas dengan motto yang terpampang pada logo Kementerian Agama, yaitu ikhlas beramal. Ya, muallim-muallim kita dengan ikhlas dibayar berapapun untuk jasanya mengantarkan jutaan umat muslim menuju surga-Nya. Lebih masyaallah lagi, beliau-beliau ridha tak dibayar sepeserpun asalkan sukses melihat muridnya tumbuh kelak sebagai Qari/Qari’ah, Hafidz/Hafidzah hingga peneliti Al-Qur’an.
Tuntutan yang maksimal tak menyurutkan semangat membara mereka walaupun dibayar seadanya, semua karena guru-guru kita memahami bahwa mengajarkan Al-Qur’an memang bukan untuk memperkaya diri dan mengenyangkan perut, melainkan bentuk jihad fii sabilillah memberantas kebodohan dan membumikan Al-Qur’an di negeri ini. Tak peduli dibayar setipis kulit ari atau bahkan tak dibayar sekalipun, muallim akan terus mencurahkan seluruh hati dan pikirannya untuk menciptakan generasi penerang cahaya ilahi.
Jangan bersedih wahai guru-guru ngaji di seluruh penjuru bumi, kalianlah manusia terbaik dan termulia di muka bumi, semangat terus hingga nyawa tercabut.
-Pegawai Swasta dan Guru Ngaji, Yayasan Pendidikan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah



