Cerpen Luhur Satya Pambudi
Mobil baru memasuki ibu kota Kabupaten Temanggung, sekonyong-konyong ia berhenti ketika masuk gigi ketiga. Kuinjak pedal gas, tapi kendaraan tak juga maju. Maka segera kubanting setir ke kiri. Syukurlah, mobil masih bisa ditepikan, sedangkan jalan tengah sepi nian. Kunetralkan perseneling, lantas kuinjak pedal gas hingga suara mesin meraung-raung. Kumasukkan gigi pertama, kugas lagi dan kulepas pedal perseneling pelan-pelan, tapi mobil tak bergerak biarpun selangkah.
“Mobil ini bermasalah. Perjalanan kita sementara terhenti,” ujarku pada Ibu, Mbak Tata kakakku, dan Raka adik sepupuku. Mungkin lantaran sudah kesekian kalinya mobil ini mogok, jadi perasaanku sedikit tenang. Teman seperjalananku tiada yang terlihat panik pula.
“Bu, saya mesti telepon siapa dulu?” tanyaku meminta saran.
- Iklan -
“Coba kau hubungi Mbak Lilik, bukankah rencananya mereka ke Temanggung untuk cari pembantu hari ini?”
Tak berapa lama, terhubunglah aku dengan kakakku di Yogyakarta.
“Mbak, jadi ke Temanggung hari ini?” sapaku.
“Wah, kami batal pergi. Ibunya Mas Dedi ingin anak-anaknya kumpul hari ini. Memangnya ada apa, Bud?” Mbak Lilik tentu ingin tahu.
“Mobil kami mogok di Temanggung.”
“Wah, mogok lagi? Sayang, kami tak jadi pergi.”
“Ya sudah. Nanti coba kutelepon Mas Anto di Semarang.”
Tempo hari, kami pernah dibantu Mas Anto ketika kendaraan yang kukemudikan mogok di Magelang. Kami berempat pun keluar dari mobil. Di pinggir jalan, kuhubungi mantan suami kakak sulungku itu.
“Maaf, Dik. Saya belum tentu bisa ke sana. Oh ya, di situ hujankah? Di sini deras sekali,” sahut Mas Anto.
”Di sini terang benderang. Ya sudah, Mas. Mudah-mudahan ada yang bisa membantu kami nanti. Terima kasih.”
Kuperkirakan masalahnya adalah kampas kopling yang sudah tipis dan mesti diganti. Sekian tahun lalu mobil pamanku pernah mengalami masalah serupa. Kebetulan rutenya persis dengan kali ini. Nah, sekarang mobil kami berhenti ketika Minggu pagi, bengkel mobil dan toko onderdil biasanya tutup.
Masih dalam kebimbangan menyusun langkah selanjutnya, tiba-tiba seorang lelaki gemuk berkumis berjalan mendekati kami.
“Ibu, mobilnya mogok, ya? Apa perlu bantuan montir?” tanya lelaki itu ramah. Sekilas wajahnya sangar dengan kumisnya yang tebal.
“Iya, mobil kami mogok. Bapak bisa bantu?” ucap ibuku.
“Kebetulan, montir teman saya tinggalnya dekat sini. Mari, saya antar ke sana.”
Aku dan Ibu begitu saja menyetujui sarannya. Kami berbaik sangka belaka. Beberapa meter menyusuri jalan besar, kami lantas memasuki gang sempit dengan rumah-rumah kecil yang berdempetan. Langkah kami serta-merta terhenti.
“Assalamu’alaikum,” sapa lelaki berkumis itu.
“Walaikumsalam. Ada apa, ya?” sahut lelaki berambut putih yang merupakan pemilik rumah. Ternyata dialah sang montir yang dimaksud.
“Nanti kami ke sana. Tunggu saja,” kata sang tuan rumah. Aku dan Ibu bergegas kembali bergabung dengan Mbak Tata maupun Raka yang menunggui mobil kami.
***
Kami berempat masih berada di pinggir jalan besar. Semakin siang kian banyak kendaraan yang lalu lalang. Sudah setengah jam lebih berlalu, sang montir belum tampak juga. Raka malah sudah sempat berjalan-jalan sendiri dan menikmati bakso khas Temanggung.
Sembari menunggu kuhubungi kerabat yang berada di tempat tujuan kami. Mestinya kami menghadiri acara Syawalan keluarga besar yang berlangsung di sebuah desa di Purbalingga. Kami sendiri tinggal di Yogyakarta. Aku lebih suka melewati rute Magelang, Temanggung, dan Wonosobo saban bepergian ke Purbalingga dan daerah sekitarnya, kendati jalur selatan juga bisa ditempuh. Temanggung merupakan salah satu daerah favoritku, lantaran kotanya bersih, jalannya mulus, hawanya sejuk, dan terasa teduh dengan banyaknya pepohonan di pinggir jalan. Aroma kedamaian terasa dominan di sini.
Akhirnya sang montir datang membawa asa yang dinanti. Ia melangkah gagah dalam kostum khas pekerja bengkel bersama seorang temannya, laki-laki berkumis yang tampak lebih muda. Mereka masing-masing menjinjing kotak perlengkapan kerjanya. Semula mereka mencoba menghidupkan mesin mobil kami, kendati bisa menyala, tapi nyatanya tetap tak bisa melaju. Masalahnya memang pada kampas kopling.
Lama juga menanti mobil kami diperbaiki. Pertama, onderdil yang bermasalah itu dilepas dan perlu waktu nyaris dua jam. Setelah itu, lelaki yang lebih tua mengajakku membeli suku cadang baru. Ibu membawakanku sejumlah uang. Kami berdua naik becak menyusuri jalan di Temanggung. Sejuk nian rasanya naik becak di kota kecil tersebut. Setelah kami mendapatkan yang baru di toko dekat alun-alun, lantas kembali ke mobil kami, ternyata ada masalah lagi. Kampas kopling-nya berbeda ukurannya! Terpaksalah kami mesti kembali ke toko itu. Tapi, aku dipersilakan pergi sendiri dan kuajak Raka bersamaku. Tukang becak yang tadi masih mangkal di dekat kami. Akhirnya kami mendapatkan yang cocok, lalu segera dipasang oleh ahlinya.
Seorang perempuan penjual makanan melewati tempat kami duduk. Bekal makanan kecil yang kami bawa kebetulan sudah tandas.
“Jual apa saja, Bu?” tanya ibuku.
“Ini masih ada baceman dan gethuk. Kalau pecelnya sudah habis,” sahut si penjual makanan. Akhirnya Ibu memborong tahu dan tempe bacem serta gethuk yang masih tersisa di bakul tersebut.
“Wah, enak juga, ya?” celetuk Raka.
“Syukurlah, kita sebetulnya lagi susah, tapi masih bisa merasakan enaknya makanan begini,” ujar Ibu. Kami semua tersenyum setuju.
Aku sendiri mengenang, sudah tiga kali mobil kami mogok di tengah perjalanan. Tapi, baru kali ini tiada keresahan. Kami bisa merasakan sejuknya hawa serta bersihnya lingkungan sekitar, bercanda di pinggir jalan, dan mencicipi lezatnya makanan sederhana. Tentu tak terlupa jua, bagaimana ramahnya warga setempat terhadap kami. Ada saja kemudahan yang diberikan Tuhan ketika mobil kami mogok di sini.
Setelah sekitar tiga jam kedua montir mengutak-atik mobil kami, pekerjaan mereka pun usai. Aku sempat berkonsultasi dengan Mas Anto, pantasnya mereka dibayar berapa. Mereka pun menerimanya dengan senang hati.
“Kami sangat berterima kasih. Kalau tidak ada Anda berdua, entah siapa yang bisa menolong kami,” ucapku.
“Sampaikan salam dan terima kasih kami juga untuk beliau yang membawa Anda kemari,” tambah Ibu sembari menyalami mereka.
Mesin mobil kunyalakan, lantas berjalanlah kembali sang kendaraan membawa kami pulang. (*)
*LUHUR SATYA PAMBUDI, lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di sejumlah media cetak maupun daring, seperti : Horison, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dan kompas.id. Kumpulan cerpen perdananya bertajuk Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku (Pustaka Puitika).