MEMBACA KARANGANYAR
kusaksikan pijar api
dari punggung Lawu
saban pagi.
kudapati sepasang jalak
tak henti-henti menyerukan nama-Mu.
di jendela,
bulan pamit.
selepas menggantung sesubuh penuh.
berwarna kelabu.
kau berseru pergi
dan kudapati kenyataan
bahwa tanah ini telah
dan sudah terbanjur tulah.
- Iklan -
tapi, dalam mekar hati,
kau meyakini:
Karanganyar bukan sekadar tempat singgah,
tapi juga tempat untuk menuliskan banyak kisah.
(Karanganyar, 2019)
CEMORO KANDANG
ladang yang kita tanami
kini penuh.
Batara Surya menanam matahari di sana.
kita memanen siang dan malam
tapi terang dan gelap
tak pernah kita jumpai.
hidup adalah soal tumbuh dan membesar.
tumbuh untuk orang sekitar,
besar bagi hati yang lapang.
selalu, dan akan selalu begitu.
tangan kita menjumput matahari.
membagi sesuap demi sesuap untuk hidup
di kemudian hari.
Batara Surya tak pernah luput menyala dan matikan
pikiran di kepala kita.
(Karanganyar, 2019)
MONGKRANG
ini warna biru?
bukan. itu warnamu.
kenapa aku?
Batara Guru mengusap langit
dengan kuas.
tergambarlah ranum wajahmu.
biru, warna masa depan dan masa lalu.
ketika kau menyadari,
langit pun cemburu.
mengapa sebegitu cerah diriku?
kau tahu,
warnamu warna Uma.
lebih cerlang dari cahaya.
(Karanganyar, 2019)
TUGU NGIPIK
batas dari segala batas
ialah diri yang mampu meredam amarahmu.
Raja bisa saja murka
jika kembang-kembangnya mekar
sebelum waktunya.
kemurkaan adalah wajah
dari amarah
yang meledak
jadi tulah.
Mangkunegaran menanam batas.
tapi, batas adalah akar.
menjulur dan melilit leher kekuasaan.
tak dapat lagi kau hidu mekar kembang.
sebab yang batas dari segala batas
adalah ia yang mampu membatasi diri.
(Karanganyar, 2019)
FRAGMEN WUKIR MAHENDRA GIRI
1/ Hargo Dalem
keagungan tidak hanya tercatat pada babad yang ditampakkan.
tapi selalu dan akan selalu digaungkan ke segala penjuru.
sementara kekalahan adalah segala sesuatu yang sengaja disamarkan.
Prabu Brawijaya V, menepi ke arah tenggelam matahari.
tak lama setelahnya, Majapahit, istananya turut angslup.
kaki menuntun ke arah Wukir Mahendra Giri.
menyepi dan menyerahkan diri.
laku khidmat ditempuh.
menyusuri dan mendaki terjalnya lereng diri.
saban langkahnya menjelma doa.
—langkah ini tak seberapa berat dibanding kekeraskepalaan anakku.
dalam perjalanannya, Sang Prabu bersua dua saudara.
kelak jadi pengikut setia.
—tapi aku tak bisa menjanjikan apa-apa.
kesetiaan tak pernah menuntut balas.
namun tertanam dalam hati dengan jelas.
Dipa Manggala serta Wangsa Manggala mengikuti saban langkahnya.
sampailah ia.
dan kini, berhak untuk menempuh tapa brata.
senyap membelenggu.
dalam samadi itu, wangsit turun dari langit.
wahyu kedaton menunjukkan jalan putramu.
Raden Patah kini berkuasa atas Glagah Wangi.
di sana ia benar-benar jadi diri sendiri.
—langkahnya langkahku juga.
sungguhkah itu?
sebab dalam tuturmu, aku mendengar gelisahmu.
terbukalah matamu.
gugurlah segala kecemasan itu.
tapamu tak sia-sia.
dalam kesadaranmu yang belum sempurnya,
kau bersabda atau barangkali bertitah semata:
—Dipa Menggala, engkau Sunan pilihanku.
empat penjuru menujummu. kini kau berkuasa atas Lawu.
—Wangsa Menggala, kau patihnya, bergelar Kyai Jalak.
tuntunlah ketersesatan mereka.
atas dasar apa kau mengatakannya?
—kesetiaan macam apa yang tak layak dipercayai?
kadang, kegelisahan juga kesetiaan hanya dapat dirasakan,
tapi tak bisa dimaknai.
di Hargo Dalem, kau moksa.
menemui penciptamu yang entah siapa.
meninggalkan segala yang telah usai di dunia.
—sebenarnya seberapa jauh jarak hidup dan mati?
2/ Hargo Dumiling
hidup dan mati ada di antara nyata dan khayalan semata.
sepulangnya Sang Prabu,
pemomongnya diterpa kekecewaan tak menentu.
Sabdo Palon menyusul sirna.
moksa ke surga yang entah di mana tempatnya.
barangkali di langit, barangkali di bumi,
atau barangkali berada pada hati yang kecewa.
telah diwahyukan dari langit.
barang siapa tirakat, akan berbuah berkat.
cegah dhahar lawan guling.
—sabda macam apa yang ampuh menaklukkan ego?
ketakutan ditebar.
sebab kekecewaan tak mampu diredam.
Sabdo Palon murka.
kelak, 500 tahun setelahnya,
Tanah Jawa akan kembali pada pemiliknya.
Punokawan dicipta.
agar ketakutan sirna, lantas dibanjur tawa.
—kuputuskan moksa, sowan Sang Hyang Jagat.
meski sebenarnya Ia tiada di langit, tiada pula di bumi,
namun berada jauh di dalam diri.
tidak semestinya suatu perkara diwujudkan secara nyata.
3/ Hargo Dumilah
kenyataan, tak jauh beda dari pertanyaan
yang tak memiliki jawaban.
seperti halnya telaga, ziarah mengalir lewat doa.
tapi di hari-hari lain, nyala ini bukan api semata.
sebab tabiat buruk dapat mengundang murka.
lidah, bisa saja jadi firman.
namun lebih sering merupa ancaman.
sebab mereka yang moksa kadang menilik petilasannya.
di gunung ini,
setiap langkahmu juga disaksikan Gusti.
“bagaimana cara mujarab untuk mencegahnya?” tanya entah siapa.
—barangkali, nerima ing pandum, jawabnya.
(Karanganyar, 2020)
*EKO SETYAWAN, lahir di Karanganyar, 22 September 1996. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Buku yang telah terbit Merindukan Kepulangan (2017). Memperoleh penghargaan Insan Sastra UNS Surakarta 2018 serta memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Karya-karyanya termuat di media massa.