Cerpen Moh. Romadlon
Lasti terbaring lemah di ruang bersalin, wajahnya berlumur erang. Daksun, suaminya duduk kaku di bibir ranjang. Pikiran lelaki tiga puluan tahun itu begitu kacau. Ia ingin segera mengakhiri beban lara si istri tetapi betul-betul tak tak tahu apa yang mesti dilakukan. Di saat buntu begitu seorang perawat masuk dan memintanya segera ke ruang dokter.
“Bagaimana, Dok?” tanya Daksun setiba di ruang doker.
“Istri Anda harus dioperasi.”
- Iklan -
Ucapan si dokter berwajah dingin begitu datar namun selaksa godam yang menghantam kepala Daksun. Ia tak pernah menyangka sama sekali. Bidan desa yang merujuk Lasti bilang kalau Lasti tidak ada kendala serius, posisi bayi sudah bagus. Lasti hanya butuh dipacu, tidak sampai dioperasi, tegasnya. Namun dokter ini bilang lain. Menurutnya posisi bayi sungsang dan tak akan bisa keluar lewat persalinan normal.
“Apakah tidak ada cara lain, Dok?” Daksun menawar, suara bergetar dan tawar.
Si dokter menggeleng. “Itu jalan satu-satunya dan harus segera.”
Daksun keluar dari ruang itu dengan lunglai. Ia ingin sekali membenturkan kepalanya ke tembok. Cobaan ini betul-betul begitu berat baginya. Uang yang ia sisihkan dengan susah payah dari hasil kerja sebagai kuli panggul selama setahun jelas tak akan cukup untuk biaya operasi yang kata dokter mendekati sepuluh juta. Sementara di kota ini ia hanya perantau, tak ada sanak saudara. Di kampung pun ia tak punya apa-apa atau siapa pun yang bisa diandalkan. Sialnya lagi istrinya tak punya KIS. Tetapi dia tidak mau hanya berpasrah kalah. Aku harus dapat uang, bagaimana pun caranya, harus! pekik hatinya. Ia pun pamit keluar pada istri.
Daksun menuju pasar Kasongan. Di pasar tradisional itulah sehari-hari ia menjajakan tenaganya sebagai kuli panggul. Kali ini ia berharap ada satu dua penjual atau juragan yang mau membantu dirinya. Namun harapan tinggal harapan. Hingga matahari hampir terjungkal di ufuk barat tak ada satu pun yang berkenan memberi lembar-lembar utang padanya. Bahkan tak sedikit dari mereka yang mencibirnya. Makanya kalau mau bikin dipikir dulu, jangan asal tancap, begitu kira-kira.
Sekarang Daksun terkapar di selasar pasar dengan perasan remuk redam. Sementara wajah pucat berlumur erang si istri terus menari-nari di pelupuk matanya. Ia betul-betul tak tahu lagi harus mencari pinjaman pada siapa lagi. Kodrat, preman pasar yang duduk di dekatnya menyodorkan sebungkus rokok. Daksun mengambil sebatang, menyulutnya, lalu menghisapnya dalam-dalam.
“Drat, kira-kira aku harus cari pinjaman ke mana lagi?” ujar Daksun lirih sembari melontarkan asap rokok kuat-kuat.
“Sudahlah, Dak, sampai ke ujung dunia pun tak akan ada yang mau meminjami uang pada manusia-manusia kere seperti kita. Sekarang semua orang hanya peduli pada nasibnya sendiri, perutnya sendiri-sendiri.”
“Terus aku harus bagaimana?”
“Sini…” Kodrat menarik Daksun lebih dekat dan segera berbisik.
“Gila kau!? Aku tak mau!!”
“Kau mau istri dan anakmu mati, hah!”
Daksun menggeleng.
“Ya sudah, menurutku itu jalan satu-satunya.”
Daksun memang bukan orang yang taat agama, salatnya masih sering bolong-bolong tetapi mengikuti saran Kodrat baginya serasa begitu berat. Haruskan kali ini aku melakukannya? Batinnya bimbang.
Namun setelah waktu Magrib lindap di punggung Isa dan Kodrat minggat dengan perempuannya, Daksun memilih menelan kembali kata-katanya. Ia memutuskan mengikuti saran Kodrat; mencuri atau merampok. Meski begitu, dalam hati ia berjanji hanya akan mengambil uang yang kira-kira cukup untuk biaya operasi, untuk menyelamatkan anak dan istrinya.
Daksun segera mencari target. Sesuai petunjuk dari Kodrat, ia harus menyatroni rumah yang besar, yang terlihat sepi dan terpencil, jauh dari rumah-rumah lain. Dan, setelah berjalan cukup jauh Daksun menemukannya. Daksun langsung bersiap-siap. Ia buka kaos oblong dari tubuhnya, lalu ia sulap jadi penutup kepala dan wajah. Sekali lagi ia meraba belati yang terselip di pinggangnya. Belati itu adalah milik Kodrat yang dipinjamkan kepadanya tadi. Dengan langkah super hati-hati ia dekati rumah itu.
Sekarang Daksun sudah sampai di depan pintu utama rumah. Sekali gagang diputar pintu pun terbuka. Ia sempat heran, bagaimana bisa pintu itu tak terkunci. Ah, begitu cerobohnya si pemilik rumah ini, pikirnya. Dengan hati terus berdebar, ia masuk ke ruang tamu. Di ruang tamu yang lampunya masih menyala itu hanya ada sebentang karpet hijau tua, sebuah meja kecil berkaki rendah, dan sebuah almari kayu.
Ia segera membuka pintu almari yang lagi-lagi tak terkunci dan betapa terkejutnya saat tahu isinya. Almari kayu itu penuh dengan tumpukan uang yang tersusun rapi. Melihat uang sebegitu banyak sifat rakusnya mencuat dan tanpa pikir panjang langsung memindahkan semua isi almari ke dalam tas jinjing besar yang, entah karena kebetulan, tergeletak begitu saja di dekat almari. Ia betul-betul lupa niatan awal mencuri.
“Beres!” gumamnya. Lalu ia buru-buru melangkah ke luar.
Namun baru sampai di bibir pintu sebuah suara menghentikan langkahnya. “Kenapa buru-buru, Anak Muda!”
Daksun begitu kaget dan dengan gerak refleks mencabut belati di pinggangnya lalu segera balik badan, siap menyerang sang pemilik suara, siapa pun dia. Kalau ketahuan, pesan Kodrat, hanya ada dua pilihan; membunuh atau dibunuh. Namun seperti semula, tidak tampak siapa pun di ruangan itu selain dirinya.
Terlanjur ketahuan, Daksun menantang: “Siapa pun kau, keluarlah!”
Suara tanpa rupa itu kembali menggema: “Anak Muda, tas itu hanya akan merepotkanmu, tinggalkan saja!”
“Jangan sok tahu, keluarlah, hadapi aku!”
“Aku di samping kananmu.”
Daksun segera menoleh ke kanan dan seketika tersentak. Seorang kakek tua sudah duduk sila menghadap meja kayu kecil berkaki rendah. Saat pandangan mereka beradu, keberanian Daksun mendadak lindap. Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Belati dan tas jinjing di tangannya pun jatuh ke lantai.
“Kemarilah, Anak Muda!”
Daksun seperti tersedot, kakinya bergerak sendiri, melangkah mendekati si kakek misterius itu, lalu duduk dihadapannya dengan posisi duduk tawaruk, duduk dengan posisi telapak kaki kiri dikeluarkan melalui sela kaki kanan dengan pantat menempel di lantai, persis seperti duduknya orang yang sedang melaksanakan tahiyat akhir ketika salat.
“Aku butuh uang,” ujar Daksun, lirih. Kalimat itu pun seperti meluncur begitu saja dari bibirnya.
“Anak Muda, kau tak butuh uang,” timpak si kakek berambut dan berjanggut perak itu tegas. “Kau hanya butuh istrimu bisa melahirkan, kan?”
Daksun mengangguk.
“Segeralah temui dia.”
Lasti berbinar ketika melihat suaminya muncul di pintu kamar.
“Syukurlah kau segera pulang, Kang,” kata Lasti, “Mana airnya?”
Air? Ia memang membawa air putih pemberian si kakek, tetapi bagaimana Lasti bisa tahu. “Bagaimana kamu bisa tahu?” Daksun begitu terkejut.
“Tadi, sebelum kamu muncul, seorang kakek tua mengunjungiku. Dia mengelus perutku tiga kali sembari mulutnya merapal sebentuk doa. Aku tak tahu apa yang dibaca tetapi yang jelas saat itu aku merasa janin di rahimku bergerak lembut. Sebelum pergi dia berpesan: ‘Wanita Muda, sebentar lagi suamimu pulang. Dia membawa air putih untukmu. Minumlah. Bayimu sudah mau keluar.’”
Daksun terkesiap. “Maksudmu kakek tua berambut dan berjanggut putih perak?!”
Lasti mengangguk.
“Sudah lama perginya?”
“Kau masuk dia keluar dari kamar ini. Kau tidak melihatnya?”
Daksun buru-buru menuangkan air dalam plastik itu ke gelas lalu menyerahkan pada sang istri. ”Minumlah, aku akan mencari kakek itu dulu, siapa tahu dia belum pergi jauh, syukur-syukur ada yang melihatnya atau mengenalnya. Aku mau berterima kasih.”
Daksun segera berlari mencarinya, menyusuri semua koridor hingga sampai tempat parkiran tetapi ia tak berhasil menemukannya. Bahkan tak ada satu orang pun yang mengaku melihatnya. Dan ketika kembali ke kamar berurailah air matanya. Sesosok jabang bayi merah sudah terbaring tenang di samping kanan sang istri. Lasti bercerita: Anak kita lahir sesaat setelah kuminum air itu, setelah kau tinggalkan kamar ini. Daksun pun tersungkur dalam sebentuk syukur. Dan, siapa sebetulnya kakek tua itu tetap menjadi misteri abadi bagi ayah dan ibu si jabang bayi berkelamin putri yang kemudian diberi nama Maunah (Pertolongan Tuhan).
Buluspesantren, Februari 2019
*Moh. Romadlon, lahir di Kebmedi, 12 Agustus 1977. Penulis lepas dan pengurus di TBM Sumber Ilmu. Cerpennya telah dimuat di pelbagai media.