Cerpen M Arif Budiman
Awalnya tak ada yang aneh dengan Kong Acin dalam beribadah. Malah ia tampak lebih khusyuk dibanding sebelum pergi ke Tanah Suci. Namun lambat laun orang-orang mulai menilai bahwa Kong Acin mengalami perubahan baik sikap maupun ibadahnya.
Cerita bermula pada suatu pagi. Senang bukan kepalang hati Kong Acin begitu mendengar kabar bahwa ia akan diberangkatkan umrah oleh Haji Amat. Ia mendengar kabar gembira tersebut dari Ustaz Bahar selepas menyapu halaman masjid.
“Apa saya sedang mimpi?” tanya Kong Acin, lalu mencubit kulit lengannya sendiri. “Aduh…” desis Kong Acin.
- Iklan -
“Ternyata saya sedang tidak bermimpi, Pak Ustaz.”
Ustaz Bahar tersenyum melihat tingkah Kong Acin.
“Mimpi apa saya semalam,” ujar Kong Acin dengan wajah berbunga-bunga.
“Memangnya Kong Acin mimpi apa?”
Kong Acin memicingkan mata ke atas, “Ah, perasaan saya tak mimpi apa-apa,” ujar Kong Acin dengan nada ragu. “Hanya saja memang beberapa hari yang lalu saya mimpi melihat ka’bah. Ya, saya pikir hanya sebatas mimpi sebab saya kerap membayangkan berada di sana. Eh, ternyata itu sebuah pertanda. Alhamdulillah…”
“Terkadang mimpi juga ada benarnya ya Kong.”
“Iya Pak Ustaz. Tapi kalau boleh tahu, alasan apa yang membuat Haji Amat memberangkatkan saya ke Tanah Suci?”
“Setahu saya karena pengabdian Kong Acin terhadap Masjid Taqwa ini. Oh ya, memangnya sudah berapa tahun Kong Acin jadi marbut?”
“Sudah lebih dari dua puluh lima tahun Pak Ustaz.”
“Wah, sudah lama juga ya Kong. Saya rasa Kong Acin pantas mendapatkan hadiah itu.”
“Terima kasih Pak Ustaz. Ini benar-benar anugerah bagi saya.”
Matahari mulai menerik ketika Kong Acin mendatangi rumah Haji Amat. Setelah bersalaman, mereka duduk di serambi rumah.
“Sebelumnya mohon maaf Wak Haji. Apa berita yang disampaikan Ustaz Bahar terkait umrah itu benar?”
Haji Amat tertawa ringan, “Tentu saja benar Kong Acin. Untuk apa saya berbohong.”
“Kalau boleh tahu, kiranya apa yang mendasari Wak Haji memberangkatkan saya?”
“Apa ya?” Haji Amat terlihat sungkan untuk menjelaskan. “Yang jelas sebagai tanda terima kasih saya pada Kong Acin. Selain itu, saya hanya menjalankan amanah bapak saya. Beliau pernah berwasiat, jika kelak saya memiliki kelebihan rezeki agar memberangkatkan Kong Acin ke Tanah Suci.”
“Subhannallah. Begitu mulia hati Haji Syukur. Mudah-mudahan beliau dilapangkan kuburnya.”
“Amiin… Oh ya, terkait keberangakatan, Kong Acin akan berangkat dengan beberapa kerabat kami dan beberapa orang kampung tetangga. Nantinya berangkat dari Masjid Taqwa.”
Sepekan kemudian berangkatlah Kong Acin ke Tanah Suci. Sebelumnya tak lupa ia berpamitan ke seluruh pengurus masjid dan para jemaah yang kerap datang ke masjid untuk meminta maaf. Beberapa jemaah tampak berlinang air mata sebab tak kuasa menahan haru.
“Semoga perjalanan Kong Acin lancar. Mulai berangkat hingga kembali ke tanah air dengan selamat,” ucap Bu Hasan sembari mengusap air matanya dengan ujung kerudung.
“Amiin. Terima kasih Bu Hasan.”
“Semoga Kong Acin dapat mengerjakan semua rukun dan sunahnya,” sambung Pak Hambali.
“Amiiin. Terima kasih Pak Hambali. Memang doa bapak-ibu jemaah sekalian yang saya harapkan.”
Setelah bersalaman, berangkatlah Kong Acin beserta rombongannya. Di dalam bus menuju bandara, Kong Acin tak henti-hentinya mengucap syukur dan tak terasa air matanya berlinang. Hal yang selama ini hanya ada dalam khayalannya saja, kini menjadi kenyataan. Meski bukan ibadah haji, baginya tak jadi soal. Toh sama saja. Sama-sama berkunjung ke Tanah Suci.
“Apa ini perjalanan pertama Bapak?” tanya seorang jemaah muda yang duduk satu deret bangku mengaburkan lamunan Kong Acin.
Kong Acin tergagap, lalu menyeka air matanya dengan punggung tangan. “Ah, benar sekali. Ini perjalanan pertama saya.”
“Saya Anam, Pak. Khairul Anam,” ujar anak muda di samping Kong Acin, mengulurkan tangan, memperkenalkan diri.
“Saya Acin. Acin Sumantri. Orang-orang biasa memanggil saya Kong Acin.”
Anam menganggukkan kepala.
“Nak Anam sendiri bagaimana?
Apakah ini perjalanan pertama?”
“Kebetulan ini perjalanan ketiga saya, Pak.”
“Subhannallah… tentunya Nak Anam sudah hafal jalanan di Kota Makkah.”
“He-he-he… tidak juga Pak.”
“Oh ya Nak Anam. Saya ingin tahu. Apa benar segala yang ada dalam batin kita, baik yang buruk maupun yang baik akan ditampakkan di sana?”
“Kata orang-orang sih begitu Pak. Tapi saya sendiri belum pernah mengalami kejadian apa pun.”
Mendengar jawaban Anam, Kong Acin hanya menganggukan kepala.
Sementara itu, bus terus melaju menuju bandara dan Kong Acin tak putus-putusnya mengagungkan asma Allah.
Sepulang dari Tanah Suci, penampilan Kong Acin sedikit berubah. Kepalanya tak lagi ditutup songkok hitam kesayangannya, namun peci putih khas orang-orang Arab. Selain itu, di lehernya juga selalu berselempang serban yang konon pemberian seorang syekh ketika beriktikaf di Masjidilharam. Namun dari semua perubahan Kong Acin, ada hal yang membuat banyak orang bertanya-tanya. Kong Acin kini terlihat pendiam. Bahkan beberapa orang pernah memergokinya tengah menangis seusai berzikir. Mendengar perubahan Kong Acin, Ustaz Bahar pun merasa terpanggil untuk mencari tahu penyebabnya.
“Kalau boleh tahu, apa gerangan yang membuat Kong Acin sering murung?” tanya Ustaz Bahar pada Kong Acin, selepas salat isya.
Mendengar pertanyaan Ustaz Bahar, Kong Acin tak segera menjawab sebab ia terburu disergap batuk. Batuk itulah yang membuatnya beberapa minggu terakhir begitu kepayahan. Setelah batuk mereda, Kong Acin menghela napas panjang. Lalu dari kedua pelupuk matanya meremang.
“Sebenarnya saya tidak ingin cerita dengan siapa pun, Pak Ustaz. Tapi baiklah, barangkali apa yang saya sampaikan ini akan menjawab pertanyaan orang-orang.” Kong Acin kembali menarik napas panjang, “Pada suatu hari setelah tawaf, saya salat dua rakaat di depan ka’bah. Setelah salat, saya sempatkan berzikir sebentar. Saya berzikir sembari memejamkan mata. Seusai berzikir, ketika hendak berdoa dan saya membuka mata, tiba-tiba tampaklah di hadapan saya sebuah taman yang sungguh megah. Di dalamnya berisikan bunga-bunga yang sama sekali belum pernah saya lihat sebelumnya. Burung-burung beraneka warna saling berkejaran, serta sebuah sungai yang aliran airnya begitu jernih. Saat itu saya hanya terdiam melihat keanehan yang datang secara tiba-tiba. Lalu beberapa saat kemudian di bawah sebuah pohon muncul seorang perempuan begitu cantik. Wajahnya mirip sekali dengan almarhum istri saya. Ia mengulurkan tangan seolah mengajak saya untuk masuk ke sana. Tanpa disadari tangan saya menunjuk ke arahnya. Namun semuanya mendadak sirna ketika seorang laki-laki yang tengah tawaf menabrak saya. Saat itu pula keajaiban yang tergambar gamblang di pelupuk mata saya dalam sekejap sirna.
Sejak kejadian itu, saya selalu merenung, Pak Ustaz. Jika istri saya yang salehah itu benar-benar telah masuk surga, saya pun ingin demikian. Maka dalam setiap doa selepas salat, saya selalu ingin dipertemukan dengannya. Saya ingin meninggal dalam keadaan bersujud dan bertemu dengan istri saya, Pak Ustaz.”
Mendengar penjelasan Kong Acin, Ustaz Bahar hanya tertegun. Ia meyakini bahwa apa yang dialami Kong Acin adalah buah dari perjalanan spiritualnya. Tentunya tak semua orang mengalami hal yang sama.
Fajar sidik meremang. Tak seperti biasanya Masjid Taqwa begitu sepi. Meski waktu azan sudah tiba, namun tak terdengar suara Kong Acin berkumandang. Merasa ada yang ganjil, Ustaz Bahar bergegas menuju masjid yang hanya berjarak lima rumah. Sesampainya di masjid, Ustaz Bahar melihat beberapa jemaah tengah mengerumuni Kong Acin.
“Ada apa ini Pak? Bu?”
“Sepertinya Kong Acin susah napas Pak Ustaz. Tadi ketika hendak azan, batuknya tidak mau berhenti, lalu tersengal-sengal” ujar Kang Maman.
“Sebaiknya Kang Maman menggantikan Kong Acin azan.”
Mendengar perintah Ustaz Bahar, Kang Maman pun bergegas azan. Setelah azan usai, lalu disusul ikamah.
“Sebaiknya Kong Acin salat sambil duduk saja,” pinta Ustaz Bahar begitu melihat Kong Acin kepayahan dalam berdiri.
“Tidak Pak Ustaz. Saya masih kuat.”
Ustaz Bahar tak dapat memaksa keinginan Kong Acin. Lalu memapah Kong Acin menuju saf. Salat subuh pun dimulai dengan Haji Amat sebagai imam. Di tengah-tengah salat, batuk kembali mendera dada Kong Acin. Bahkan terdengar begitu dalam. Namun pada sujud kedua rakaat terakhir, batuk Kong Acin tak terdengar lagi. Hingga seluruh jemaah salat subuh mengucap salam, Kong Acin tampak masih dalam posisi sujud. Seluruh jemaah menjadi riuh setelah Ustaz Bahar merebahkan Kong Acin dan mengecek nadinya. Maka nyatalah di hadapan para jemaah bahwa Kong Acin telah tiada.
Kudus, Februari 2020
* M Arif Budiman, lahir di Pemalang, Jateng. Karyanya dimuat di beberapa media massa dan daring. Buku terbarunya Anjing Bersayap Malaikat (2020). Sekarang menetap di Kudus.