Oleh : Isna Nur Isnaini
Bimo masih menyendok nasi dengan sayur bayam di piringnya. Kali ini sendokan terakhir. Piringnya kini kosong. Dari sorot matanya terlihat dia ingin sekali ikut menyendok nasi yang ada di piring Bayu, adiknya, namun diurungkan.
“Mas Bimo mau?” Tanya anak berusia 5 tahun itu. Sepertinya dia tahu kalau Bimo belum kenyang dengan nasi jatahnya tadi.
“Nggak, Dik. Mas sudah kenyang.” Jawabnya berbohong. “Ayo habisin!” Perintah Bimo kepada Bayu.
- Iklan -
Bocah usia 8 tahun itu meminta adiknya untuk menghabiskan nasi yang ada di piringnya. “Hati-hati, jangan tercecer, sayang kalau sampai ada yang terbuang.” Lanjut Bimo.
Nampaknya Bayu paham, dengan hati-hati disendoknya nasi di piring yang terbuat dari kaleng itu. Kedua bocah itu makan hanya dengan sayur bayam, tanpa lauk apa-apa.
Surti yang melihat kedua anaknya makan dengan lahap, sangat senang. Segelas air putih yang diteguknya tadi sudah cukup mengisi perutnya. Dia sengaja tidak ikut makan nasi bersama anak-anaknya karena jika dimakan bertiga, maka tidak akan kenyang.
Hari ini Surti hanya masak satu setengah cangkir beras saja karea hanya itu yang tersisa. Tidak ada lagi bahan makanan lain yang bisa dia berikan kepada anaknya atau sekedar untuk mengganjal perutnya yang juga pengen diisi.
“Anak-anak sholeh, habis makan langsung wudhu dan sholat ya, Nak.” Perintah Surti pada anak-anaknya.
“Iya Mak.” Jawab Bimo dan Bayu hampir bersamaan.
“Emak mau ke rumah Bu Ratna. Kalian main bersama ya, jangan berantem. Bimo jaga adik ya, Nak.”
“Iya Mak. Emak mau nyuci lagi di sana?”
“Iya, Alhamdulillah Bu Ratna minta Emak nyuci baju yang sudah kotor sama sekalian gosok baju yang dua hari lalu Emak cuci. Katanya juga mba Kinan minta Emak bantu beresin kamarnya.”
“Wah! Mba Kinan pulang, pasti nanti kita dapat oleh-oleh ya Mak. Mbak Kinan kan baik, Mak.” Ucap Bimo
“Hush…tidak boleh berharap begitu. Kalau dikasih, Alhamdulillah. Kalau tidak ya tidak apa-apa. Emak diminta kerja di sana saja sudah syukur. Jadi kita besok bisa beli beras dan lauk untuk makan.” Jawab Surti.
“Benar Mak. Beras kita kan habis ya Mak. Untung Bu Ratna kasih kerja, jadi ada upah buat belanja.” Lanjut Bimo.
“Mak, kapan kita makan ayam, Mak? Kemarin Ruri makan ayam paha, Mak. Bayu pengen.” Rengek Bayu yang kemarin melihat temannya makan dengan lauk paha ayam.
“Sabar ya Nak! Nanti kalau Emak sudah punya uang pasti kita makan paha ayam. Kalau belum ada, kita makan yang ada dulu ya Nak.” Lanjut Surti.
“Iya Bayu. Jangan buat Emak sedih. Kalau Bayu minta dan emak nggak punya uang, nanti emak nangis kayak dulu itu.” Ucap Bimo ikut merayu adiknya agar tidak merengek.
“Sudah, sekarang sholat trus main ya. Nggak usah keluar rumah, di dalam saja mainnya.”
“Ya, Mak.” Jawab kedua anak itu hampir bersamaan.
Surti menghela napas panjang. Dua hari lalu kedua anaknya memang sempat melihatnya menangis. Rengek Bayu yang minta es krim seperti yang dipegang temannya, hanya bisa dijawab Surti dengan tetesan air mata.
Bukan tidak mau membelikan, tetapi memang tidak ada uang sama sekali. Sisa upah yang diterima dari cuci gosok sudak habis dibelanjakan beras dan sabun. Lauk saja tidak terbeli. Dua hari ini anak-anaknya hanya makan dengan sayur bayam yang di petik dari pekarangan rumah tua tempatnya tinggal.
Sebenarnya ada saja orang yang peduli padanya. Bahkan keluarga Bu Ratna, termasuk Kinan, anak semata wayang bu Ratna yang kuliah di luar kota, sangat baik. Namun mau berhutang, rasanya sangat malu. Hutang-hutang sebelumnya, belum sedikitpun dibayar. Keluarga bu Ratna tidak pernah menagihnya, tapi karena terlalu sering merepotkan, membuat Surti sungkan.
Kinan, gadis cantik itu juga sangat baik. Sudah berkali-kali kedua anak Surti mendapat hadiah, buku, pakaian, makanan dan mainan setiap Kinan pulang saat libur kuliah. Meski anak tunggal, Kinan sangat mandiri. Sembari kuliah dia mengajar les. Uang dari honor mengajar les itu yang sering dibelikan berbagai barang untuk anak-anak Surti.
**
“Yu Surti, anak-anak mana?” Tanya bu Ratna saat melihat perempuan kurus itu memasuki halaman rumahnya.”
“Mereka berdua di rumah, Bu.”
“Lho kenapa nggah diajak. Nggak apa-apa kok dibawa ke sini, biar main di sini pas Yu Surti kerja. Kalau di rumah berdua kan kasian juga.”
“Nggak usah, Bu. Biar mereka di rumah saja. Kalau ikut ke sini, saya takut nanti mereka bikin berantakan dan merusak barang-barang, Bu.” Jawab Surti.
“Yon dak to Yu, nanti mereka berdua kan bisa main di depan pas Yu Surti kerja.”
“Terima kasih, Bu. Takutnya nanti malah merepotkan bu Ratna sama mba Kinan. Maklum, anak-anak saya agak susah dinasehati, apalagi di sini lihat barang-barang yang tidak ada di rumah.”
“Biasa itu, Yu, namanya juga anak-anak. Ya sudah, Yu Surti sudah makan apa belum? Makan dulu ya Yu, sebelum kerja.”
Meski sebenarnya lapar, namun Surti enggan menerima tawaran untuk makan dari bu Ratna. Mendapat pekerjaan dan bisa membawa uang untuk makan bersama anak-anak saja, rasanya sudah sangat senang.
***
“Assalamualaikum” Surti membuka pintu sambil mengucap salam. Tentengan yang berisi beras, mie, gula dan teh dari Bu Ratna diletakkan di meja.
“Mak, Emak pulang.” Teriak Bayu.
“Kok lama, Mak?” Tanya Bimo.
“Iya, tadi banyak pekerjaan yang harus Emak selesaikan.”
“Nih dari Mba Kinan.” Surti menyodorkan satu plastik lainnya yang disambut Bayu.
“Wah roti..roti.” Bayu nampak meloncat kegirangan sambil membuka plastik yang diberikan oleh Emaknya.
“Mak pasti capek ya, Mak?” Tanya Bimo. Bocah itu memang sangat perhatian kepada ibunya. Sejak beberapa tahun terakhir, bocah itu terlihat lebih dewasa dari usianya.
“Aku pijit ya Mak.” Tanpa menunggu jawaban dari Emaknya, Bimo memijit lengan Surti. “Kalau aku sudah besar, pasti aku akan bantu Emak kerja, cari uang biar kita setiap hari punya beras untuk makan, biar Bayu juga bisa jajan seperti temannya. Mak, kalau bapak datang, pasti Emak tidak perlu capek kerja. Kapan bapak datang, Mak?”
Pertanyaan Bimo sontak membuat Surti bingung. Dia juga tidak tahu, harus menjawab apa.
Entah kapan, Bimo harus tahu, namun Surti tidak tega untuk mengatakan pada anak sulungnya itu. Kenyataan hidup yang harus mereka jalani terlalu pahit untuk anak-anaknya. Itu yang membuat sampai sekarang Surti tidak tega berterus terang.
“Iya Bimo, tapi sekarang Bimo kan masih kecil, jadi biar emak yang bekerja. Bimo belajar saja, ngaji dan bantu emak jaga Bayu. Nanti kalau sudah besar, baru mikir kerja. Jawab Surti.
“Terus, kalau bapak, bagaimana, Mak. Kapan bapak pulang dan nyusul kita ke sini?
Surti menarik napas panjang, tidak sanggup memberi jawaban. Pikiran perempuan itu kembali ke beberapa tahun silam ketika bersama kedua anaknya mulai meninggalkan kampung halaman dan merantau.
Kepindahannya ke kota ini sejak empat tahun lalu, sebenarnya atas keinginan ayah Bimo. Suami Surti itu tidak mau anak-anaknya menanggung malu sebab diledek oleh teman-temannya. Karena itu dia meminta Surti untuk mengajak anak-anak pergi jauh dari kampung halamannya.
Jika tetap di sana, akan ada orang yang mengatakakan pada Bimo dan Bayu apa yang sebenarnya tidak terjadi. Hal itu bisa membuat kedua anak yang tidak berdosa itu bakal menjadi bahan olok-olokan teman-temannya.
Tetap di kampung halaman juga bukan keputusan baik menurut Surti. Sejak kejadian itu, tidak ada keluarga yang peduli padanya. Semua menganggap suaminya adalah penjahat dan anak-anaknya, Bimo dan Bayu, tumbuh dari benih penjahat.
Menjelaskan kepada orang yang tidak mau paham juga percuma. Surti sudah berkali-kali menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun tidak ada satu keluarga pun yang percaya. Mereka tetap menganggap suaminya sebagai penjahat.
Itu yang membuat Surti mantap merantau hanya berbekal cincin kawin yang dijualnya untuk ongkos dan menyambung hidup sementara, membeli makanan dan menyewa rumah petak yang dihuninya sampai sekarang.
“Sabar ya Nak, nanti bapak pasti datang ke sini” Hibur Surti yang membuat Bimo diam. Sejak merantau memang Surti harus bekerja keras.
Selain mencukupi kebutuhan hidup, Surti harus membayar uang kontrakan rumah yang sebenarnya tidak seberapa, namun cukup berat baginya. Beruntung pemiliknya sangat baik. Meski sering terlambat membayar sewa, tidak pernah menagih atau mengusir mereka.
Kondisi keuangan pemilik rumah tua, yang lebih tepat disebut petakan itu memang juga tidak bagus sehingga tidak bisa membantu lebih. Namun dengan memberi banyak kelonggaran waktu membayar kepada Surti, sudah sangat membantu ibu dua anak itu. Bahkan tidak jarang pemilik kontrakan itu juga membagi makanan untuk anak-anak Surti.
Malam semakin larut. Bimo dan Bayu sudah tidur di dipan reot, satu-satunya tempat tidur di rumah itu. Surti membuka sebuah amplop berisi foto. Foto bapak dari anak-anaknya.
“Baru 4 tahun, Mas. Masih 10 tahun lagi kamu menjalani hukuman yang tidak seharusnya kamu jalani. Aku ikhlas Mas. Semoga kamu di sana juga tabah dan selalu bersabar.” Bisik Surti pada foto yang dipegangnya.
Nampak gambar suaminya, Bimo yang baru berusia 4 tahun dan Bayu yang masih bayi. Itu adalah foto terakhir keluarga mereka sebelum bencana itu datang.
Banu, suaminya, yang membantu menyelamatkan korban perampokan, tanpa sengaja menusuk pelaku saat membela diri. Akibatnya sang pelaku tewas. Banu yang bermaksud menolong justru menjadi tersangka dan terpaksa harus mendekam di penjara.
Anehnya, keluarga korban perampokan yang ditolongnya itu tidak membela Banu. Keluarga Surti juga menyalahkan Banu dan mengucilkan karena menganggapnya telah berbuat aib.
Keluarga Banu pun tidak ada yang bisa diharapkan. Lelaki yang menikahi Surti itu bahkan tidak tahu dimana orang tuanya karena sejak kecil diasuh oleh orang lain yang juga tidak bisa berbuat banyak. Orang tua angkat Banu hanyalah lelaki renta yang juga tidak mempunyai daya untuk membela Banu.
“Dunia memang tidak adil, Mas. Aku tahu kamu orang baik. Apa yang kamu lakukan sebenarnya untuk menolong orang lain, namun sayang, kamu menolong orang yang salah. Kamu harus jadi korban. Keadaanlah yang membuat semua tidak terlihat. Tidak apa Mas, aku ikhlas. Nanti pasti ada waktunya kita akan bersama dan bahagia. Aku yakin, Mas. Kelak jika anak-anak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mereka akan bangga dengan bapaknya.”
Surti mengusap air mata yang mulai jatuh di kedua pipi yang semakin tirus. Tatapannya kosong. Banyak yang dipikirkan perempuan kurus itu. Beban hidupnya entah sampai kapan akan berakhir. Bertemu makanan setiap hari dan bisa memberikan lauk untuk anaknya sudah menjadi hal yang sangat istimewa.
Namun tidak ada yang disesali oleh Surti. Perempuan itu masih ingat, ketike melepas suaminya untuk dibawa masuk ke balik jeruji besi, Banu sempat menyampaikan nasehat. Sesulit dan sesusah apa pun dalam hidup, jangan pernah menyalahkan takdir dan jangan pernah menyesal berbuat baik, meski mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan.
Nasehat Banu menguatkan Surti. Itu juga yang selalu diajarkan pada kedua anaknya, tidak pernah lelah untuk membantu orang lain meski hidup dalam kemiskinan.
Dibalik beban dan cobaan hidup yang dihadapinya, Surti masih bersyukur. Di perantauan ini banyak orang baik yang ditemuinya. Tanpa minta pun, banyak diantara orang yang sebenarnya bukan siapa-siapa Surti, tapi dengan tulus membantunya. Surti yakin, Allah tidak akan memberi cobaan tanpa ada jalan untuk melewatinya.
ISNA NUR ISNAINI adalah ibu dua anak yang setelah resign dari bank, fokus sebagai penulis. Tulisannya dimuat di berbagai media online dan cetak dalam bentuk esai, opini, humor dan cerpen.