Cerpen Yuditeha
Sudah hampir dua pekan, lelaki itu datang ke pemakaman ini. Waktu dan apa yang dia lakukan hampir sama. Siang hari, saat matahari tepat di atas langit, dia muncul di tikungan jalan menuju pemakaman. Ketika memasuki pintu masuk pemakaman, dia turun dari sepeda, lalu menuntunnya menuju pusara itu. Sampai di sana, dia menyandarkan sepeda di pohon kemboja yang kebetulan berada di dekat pusara yang dimaksud.
Dia mengambil setangkai mawar putih yang ada di keranjang sepedanya, untuk diletakkan di dekat pusara. Lantas dia duduk di sana cukup lama, mungkin berdoa, atau sedang mengajak bicara roh jenazah yang ada dalam makam itu. Setelah dirasa cukup, dia kembali mendekati sepeda, mengambil beberapa buku, dan alat tulis di keranjangnya. Mulailah dia menulis di bawah pohon kemboja. Seharian dia di sana. Jika tidak sedang menulis, dia membaca buku.
Aku masih ingat, pertama kali lelaki itu datang. Setelah menyadarkan sepedanya di pohon dekat pintu masuk pemakaman, dia menemuiku.
- Iklan -
“Seharian saya akan di sana,” katanya sembari menunjuk sebuah makam.
“Makam baru itu?” tanyaku. Jenazah yang dikubur di makam itu memang baru tiga hari, seorang perempuan paruh baya.
Lelaki itu mengangguk. “Bolehkah saya bawa sepeda saya ke sana?” tanyanya kemudian.
Spontan aku melihat sepeda miliknya, lalu melihat ke arah pusara yang dia maksud. Sebelum aku menanggapi, lelaki itu telah lebih dulu menjelaskan, dia akan hati-hati menuntun sepedanya ketika lewat di antara makam. Karena aku merasa tidak ada gelagat yang mencurigakan, akhirnya kupersilakan.
Setelah itu, aku sengaja tidak mengajaknya bicara, karena aku tidak ingin mengganggu apa yang sedang dia lakukan. Meski aku sebagai penjaga makam berhak untuk itu, tetapi karena dari awal aku tidak mendapati sesuatu yang aneh, hingga kubiarkan saja. Intinya selama dia tidak mengganggu, tentu saja tidak menjadi masalah.
Namun, lambat laun aku heran mengapa dia melakukan itu, tiap hari mengunjungi makam, seharian menulis, dan membaca di sana. Kupikir mungkin perlu juga sesekali aku mengajaknya berbincang, setidaknya sekadar basa-basi. Sesungguhnya rasa penasaranku lebih mengenai jati dirinya, karena seingatku, ketika acara pemakaman, lelaki itu tidak ada.
Masih jelas ingatanku, usai pemakaman, keluarga duka sempat memperkenalkan diri kepadaku, suaminya, dua anak perempuan remaja, bahkan kakeknya turut serta. Namun aku tidak melihat lelaki itu berada di antara mereka. Hal itulah yang membuatku bertanya, siapa sesungguhnya dia.
“Boleh saya ikut duduk di sini, Pak?” Lelaki itu datang membuyarkan lamunanku.
“Tentu saja.”
Rupanya di luar sedang gerimis. Biasanya jika sedang hujan, lelaki itu berteduh di makam yang ada rumahnya, tidak jauh dari makam perempuan itu. Di sini, di rumah yang kupakai untuk berjaga, meski bukan bangunan bagus, setidaknya bisa menaungi kami dari gerimis yang mulai menderas. Kami bicara banyak, dari perihal basa-basi hingga ke hal pribadi. Dari situ pula kami berkenalan. Lelaki itu bernama Kama.
“Saya Maksim,” kataku menjawab perkenalannya.
Dari hal yang sempat kami bicarakan, ternyata Pak Kama mantan suami perempuan yang mati itu. Aku jadi berpikir, dua perempuan remaja yang dulu datang apakah putrinya. Pak Kama seperti tahu apa yang kupikirkan, karena tanpa kuduga dia menjelaskan bahwa ketika masih berstatus suami istri belum sempat dikaruniai anak. “Kami berpisah baik-baik,” tambahnya.
“Bapak masih mencintainya?”
Pak Kama tak segera menjawab. Kupikir-pikir, pertanyaanku memang sedikit lancang.
“Mungkin waktu itu kami masih saling cinta.”
“Kenapa Bapak tidak yakin?” Lagi-lagi pertanyaan spontanku kurasa bersifat menekan. Ingin rasanya menghapusnya, tetapi terlanjur terucap, dan dia sudah mendengar.
“Semua karena salah saya.”
Ah, pertanyaanku mengingatkan peristiwa yang membuatnya tidak nyaman. “Maaf, saya tidak bermaksud membuat Bapak bersedih.”
Dia menggeleng. “Tidak. Tidak apa-apa. Bahkan mungkin lain kali saya akan ceritakan jika Bapak berkenan.”
Tentu saja aku langsung mengatakan, tidak masalah. Perbincangan sore itu berakhir hampir bersamaan hujan mulai mereda. Sebelum pergi, Pak Kama sempat bertanya kepadaku, dan hal itu sedikit membuatku kaget. “Pak Maksim masih punya keluarga?”
Gantian aku yang tidak segera menjawab. Terlintas dalam benakku kisah tentang meninggalnya istriku karena sakit yang tak bisa disembuhkan, Ah, mungkin lebih tepatnya karena aku tidak cepat tanggap dengan sakitnya yang waktu itu sudah parah.
“Istri saya telah lama meninggal,” jawabku.
“Maaf.”
“Tidak masalah.” Bahkan selanjutnya aku menjelaskan bahwa letak makam istriku dekat dengan makam mantan istri Pak Kama. Aku dan istriku dikaruniai seorang anak laki-laki, tapi anak itu pergi meninggalkanku karena marah. Dia menganggap aku telah menyia-nyiakan ibunya. Akhirnya keluar juga apa yang selama ini tidak pernah kuceritakan kepada orang lain. Entah mengapa kepada Pak Kama hal itu meluncur begitu mudahnya.
Sebelum Pak Kama berlalu, dia sempat menguatkan aku. Pada saat itu ingatanku masih tertuju kepada nasib keluargaku. Terlebih perihal anakku yang sampai sekarang tidak mau kembali. Aku hanya bisa berdoa, semoga anakku selalu sehat, dan bahagia dengan keluarganya. Tapi apakah dia sudah berkeluarga? Jika sudah, itu artinya dia benar-benar sudah tidak menganggapku ada.
Keputusanku dulu melamar kerja sebagai penjaga makam ini sesungguhnya bukan semata masalah pekerjaan. Aku lebih nyaman di sini, karena pikiranku bisa teralihkan dari kisah sedih tersebut. Selain itu, di makam ini aku bisa selalu dekat dengan makam istriku. Itulah satu-satunya cara penebusan atas kelalaianku dulu.
Kok malah aku yang jadi kepikiran tentang masa lalu. Namun, perkenalanku dengan Pak Kama memang yang membuat aku mengingatnya. Namun karena itu perasaanku sepertinya menjadi lebih baik. Ketika aku tidak pernah cerita kepada orang lain sebenarnya justru bisa jadi bumerang bagi pikiranku.
Hari ini Pak Kama sedikit terlambat, lewat tengah hari dia baru sampai di makam. Seperti biasanya, memasuki area makam, dia menuntun sepedanya. Sesampai di sana, mengambil setangkai mawar putih dan menaruhnya di dekat pusara. Dia duduk di dekat makam itu cukup lama, lantas kembali mendekati sepeda, mengambil buku, dan mulai menulis di bawah Pohon Kemboja. Seharian dia di sana. Jika dia tidak menulis, dia membaca. Aku penasaran dengan latar belakang Pak Kama. Mungkinkah dia penulis? Setahuku hidup penulis selalu dekat dengan buku.
“Hari ini saya mengurungkan niat untuk melanjutkan menulis, Pak,” ujar Pak Kama mengagetkanku.
“Kenapa, Pak?”
“Saya ingin membayar utang kepada Bapak.” Pak Kama tersenyum.
“Utang?”
“Tentang cerita saya saat bersama mantan istri.”
Oh. Kemudian dia mulai bercerita. Rupanya benar dugaanku, dia penulis hebat. Katanya, jika ingin jadi penulis yang sukses harus fokus. Menurutku bukan hanya menulis, di bidang lain pun membutuhkan itu. Tapi aku mengerti, mungkin yang dia maksud, di dunia menulis ada sesuatu yang berbeda.
“Dulu saya ambisius dan kaku,” katanya.
“Semua punya salah, Pak. Saya pun begitu.”
“Tapi untuk Pak Maksim ada yang masih hidup.”
“Saya tidak paham.”
“Anak Bapak. Meskipun pergi tapi dia masih hidup.”
“Sama saja Pak, dia tidak sudi menerima saya.”
“Kekerasan hati seseorang ada batasnya. Seperti hati kita.”
“Siapa yang dulu meninggalkan? Bapak atau istri Bapak?”
“Sayalah yang salah. Saya yang menghendaki dia pergi dari hidup saya. Tapi rupanya apa yang saya kejar adalah kebahagiaan semu. Bertahun-tahun saya menyesali itu. Dan pada waktunya saya ingin kembali, dia sudah bersama orang lain.”
“Sekarang Bapak sudah berada di dekatnya.”
“Tapi dia sudah tidak ada. Hanya beginilah cara menebus kekecewaan saya.”
“Pak Kama, tidak berkeluarga lagi?”
“Sesungguhnya cinta saya hanya untuk dia, Pak.”
Dadaku terasa sesak mendengar perkataan Pak Kama. Seperti ada yang mengharu di lubuk jantungku. Kecintaan yang begitu besar tidak kesampaian. Sesungguhnya kami adalah orang-orang tua yang kesepian. Aku bisa merasakan kesepiannya, terlebih karena aku juga punya rasa itu. Meski kasusnya sedikit beda tapi kesepian jenis apa pun tampaknya sama.
“Jika Pak Maksim berkenan, ikutlah tinggal di rumah saya, agar rumah itu tidak terlalu sepi,” ujar Pak Kama sembari tersenyum.
“Tapi,” tanggapku belum selesai, dia sudah menyahut.
“Kita akan pergi ke makam ini bersama-sama, dan pulang juga bersama.”
Aku tidak segera menanggapi.
“Semoga tidak ada istilah terlambat untuk sebuah persahabatan,” katanya lagi.
Pertemuanku dengan Pak Kama bukan hanya meringankan aku dari tekanan rasa bersalah, bahkan juga mengangkatku menjadi saudara, mengangkat harkat dan martabatku sebagai manusia. Kami saling membantu, bahkan pada saat aku tidak enak badan, dengan senang hati Pak Kama bersedia menggantikan aku berjaga sendirian di makam.
***
Hari ini Pak Kama menggantikan Pak Maksim menjaga makam. Dari sekian pengunjung makam, di antaranya datang seorang pemuda bersama istri dan bayinya yang masih digendong. Makam yang mereka ziarahi tidak jauh dari tempat Pak Kama duduk. Karenanya, Pak Kama mendengar perkataan pemuda itu dalam doanya. “Maafkan aku, Bu. Selama ini aku tidak menjumpai Ibu karena kebencianku pada Bapak. Sekarang aku sadar, tidak seharusnya aku membenci Bapak. Kepergian Ibu sudah takdir Allah. Semoga Ibu, dan Bapak sudi memaafkan aku.” Ketika sampai perkataan itu, Pak Kama langsung menoleh ke arah pemuda itu. (*)
Catatan:
Saudade adalah perasaan nostalgia mendalam dan berkepanjangan terhadap orang yang dicintai, di mana keberadaannya tidak diketahui karena mungkin pergi, hilang, atau meninggal.
*Yuditeha. Penulis tinggal di Karanganyar. Pendiri Komunitas Kamar Kata