Cerpen Erwin Setia
Babi-babi memenuhi Kampung Suci. Pagi itu, belum lama setelah mentari nongol di timur cakrawala, warga berhamburan dari rumah masing-masing dengan wajah tegang. Mereka seolah-olah menerima kabar perang saudara akan terjadi. Para lelaki muda dan bapak-bapak menenteng senjata. Ada yang membawa parang, kelewang, golok, pedang, bahkan senapan. Kampung Suci yang biasanya setentram desa-desa dalam buku sekolah mendadak menjadi panggung bagi jiwa-jiwa yang dijerat amarah. Tak ada satu wajah pun menyiratkan senyum. Semuanya melotot dan bernafsu menyerang. Ketika seorang warga mula-mula berteriak bahwa ada babi memasuki kampung mereka—kampung yang dilihat dari namanya saja begitu sakral—orang-orang tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Mereka tak akan membiarkan hewan najis itu menginjakkan kaki di Kampung Suci. Tidak walaupun hanya sesaat atau setengah saat.
Seorang warga memekikkan seruan. “Bunuh! Bunuh!” ujarnya. Tanpa perlu pertimbangan lama-lama, orang-orang bersenjata itu berlarian menuju kawanan babi di lapangan kampung. Mereka berlari sambil mengacungkan senjata seperti sedang mengejar maling ternak. Sedang babi-babi itu belum melakukan apa pun semenjak kedatangan mereka sesaat selepas subuh. Mereka tidak menggerumus rumput, tidak mengusik ternak warga, tidak berak di tanah. Mereka hanya berputar-putar sambil sesekali berusaha menengok langit, kendati itu adalah suatu hal mustahil bagi seekor babi.
Pedang salah seorang warga hampir saja menyabet seekor babi, namun sebuah suara membatalkan sabetan itu. Itu adalah suara Sumiran, kepala kampung sekaligus orang paling dihormati oleh seluruh warga.
- Iklan -
“Berhenti! Berhenti! Jangan teruskan!”
Lelaki berjenggot runcing dengan kepala berseliwer uban tipis itu mendekati warga yang masih erat memegang senjata masing-masing. Ia menyuruh mereka untuk tenang dan tak tergesa-gesa bertindak. Orang-orang yang tampaknya sudah tak sabar menggunakan senjata yang biasanya hanya tergantung di sudut-sudut kamar mundur dan melonggarkan genggaman mereka. Mereka mengiyakan perkataan Sumiran. Bagaimanapun, selain statusnya sebagai kepala kampung, Sumiran adalah orang paling tajir dan paling paham ilmu agama di Kampung Suci. Fakta-fakta tersebut membuat seluruh warga bukan hanya menghormati lelaki yang berdirinya sudah tak terlalu tegap itu, tapi juga mengagumi dan memujanya. Sumiran bagai mesiah bagi penduduk kampung. Ia adalah orang paling banyak menyumbangkan segalanya untuk keperluan Kampung Suci: harta, ilmu, waktu, dan tenaga. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi warga untuk membangkang terhadap apa pun yang diucapkan Sumiran.
“Agama memerintahkan kita untuk selalu bersikap tenang dalam menghadapi segala sesuatu,” kata Sumiran bijak. “Termasuk ketika menghadapi babi-babi liar yang entah dari mana datangnya.”
“Tapi mereka hewan najis dan terlaknat, Tuan Sumiran. Kita harus segera membasminya!” seru seorang lelaki muda seraya menggoyang-goyangkan parang di genggamannya.
“Sama saja. Kita harus periksa dulu babi-babi ini.”
Dengan mengenakan sarung tangan putih yang telah disiapkannya sejak dari rumah, Sumiran menghampiri salah seekor babi. Ia menghitung jumlah babi yang muncul mendadak ke Kampung Suci. Ada delapan ekor babi. Delapan bukan angka asing bagi Sumiran. Ia punya ingatan khusus tentang angka delapan. Delapan kali pergi haji, delapan kali menyumbang untuk pembangunan masjid, delapan rakaat salat yang dilakukannya tiap sepertiga malam terakhir, delapan warung makan miliknya, dan delapan kali pemberangusan para pelaku kemungkaran yang pernah dilakukannya.
Ia memperhatikan seekor babi di hadapannya. Seekor babi gemuk berwarna merah muda yang sangat segar dan terlihat sehat. Ia menarik moncong babi dengan keras seolah-olah memang begitulah satu-satunya cara bersikap kepada babi. Lalu ia menatap sepasang mata babi itu. Ia menatapnya dalam-dalam dan tiba-tiba tubuh Sumiran reflefks melompat ke belakang. Mata babi itu jernih, tegas, dan tak berkedip. Seperti mata manusia. Seperti mata seseorang yang pernah dilihatnya. Sumiran mengingat-ingat sesuatu. Ketika ia menyadari ingatan itu—ingatan yang hanya dirinya ketahui—seketika mata Sumiran mencelat dipenuhi api kecemasan sekaligus kebengisan.
Sumiran berbalik badan. Dengan suara tuanya yang masih lantang, ia berseru, “Serang babi-babi itu! Bunuh mereka karena mereka adalah makhluk najis yang harus diberantas dari bumi Allah inI!”
Merasa mendapat komando, puluhan orang yang memang pada awalnya sudah diselimuti amarah sampai ke ubun-ubun gegas berlari menuju babi-babi. Meskipun orang-orang bersenjata dan bermata neraka itu kian dekat, babi-babi itu bergeming. Hewan-hewan berparas polos itu serupa terdakwa yang pasrah dengan segala hukuman yang akan mereka dapatkan.
Detik-detik lewat. Dengan beringas orang-orang itu menghajar babi-babi dengan golok, parang, kelewang, dan pedang mereka. Ada pula yang mengambil jarak untuk menembakkan senapan mereka ke tubuh-tubuh gempal binatang tak berleher itu. Bunyi hantaman benda tajam dan tembakan bergelegar di seantero lapangan. Para wanita dan anak-anak mengintip dari jendela rumah peristiwa pembantaian babi-babi.
Beberapa lama berselang kebisingan senjata-senjata itu berakhir. Orang-orang ngos-ngosan dan bergerak mundur. Begitu pula Sumiran yang wajahnya penuh debu dan terlihat kepayahan. Sumiran dan para warganya terheran-heran dengan apa yang mereka saksikan secara terang-benderang di hadapan mereka sendiri. Babi-babi itu tak terluka sedikit pun. Bahkan babi-babi itu tetap berada di tempat sama sebagaimana sebelum Sumiran dan para warga menyerang. Warga dibuat tambah terkejut saat mereka melihat senjata-senjata di tangan mereka. Parang yang penyok, pedang patah, kelewang bengkok, golok terlepas dari sarungnya, juga senapan yang mendadak rusak dan peluru-peluru berceceran di antara babi-babi.
Mereka menggeleng-geleng dengan tangan gemetar ketakutan. Mereka bertanya-tanya kepada Sumiran, mengapa bisa jadi seperti ini. “Aku tidak tahu kenapa usaha amar makruf nahi mungkar kita gagal seperti ini. Tapi kita sama-sama tahu, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia bisa menghendaki apa pun terjadi, bahkan sekalipun tak bisa dinalar oleh otak kita,” timpal Sumiran berusaha menjawab keheranan warga.
Sumiran memungut pedangnya, pedang yang telah memisahkan delapan kepala dari delapan tubuh. Ia bersiap melakukan penyerangan sekali lagi, seorang diri. Ia melangkah, meloncat, dan menebas babi-babi itu satu demi satu. Tak seperti tadi, babi-babi itu kali ini bergerak. Mereka berpencar searah mata angin mengepung Sumiran di tengah-tengah. Kemudian, secara bersamaan mereka berlari dan menyeruduk Sumiran. Tubuh renta itu pun terdesak moncong babi-babi gemuk. Lalu tubuh Sumiran terlempar sejauh beberapa meter.
Babi-babi itu menghampiri Sumiran yang mengaduh sambil memegangi lambungnya. Mereka menatap mata Sumiran. Sumiran menyambut tatapan itu. Moncong babi-babi bergerak seakan hendak mengatakan sesuatu. Mereka benar-benar berbicara, namun hanya Sumiran yang dapat mengerti. Setelah babi-babi selesai bicara, Sumiran tergagap-gagap.
“Kau Juan? Kau Malindo? Kau Gufron? Kau Yohan? Kau Ayatullah? Kau Jebrel? Kau Sunarto? Dan kau Abdul Wahab?”
Sumiran menyebut nama-nama itu sambil menunjuk satu per satu babi-babi yang berbaris di hadapannya. Para warga yang hanya menguping dan menyaksikan Sumiran dikeroyok babi-babi tergemap melihat tingkah Sumiran dan mendengar nama-nama yang disebutnya. Nama-nama itu adalah nama-nama pendatang yang dulu mereka vonis—karena provokasi Sumiran—sebagai penganut ajaran sesat dan kufur. Orang-orang itu kemudian menghilang tanpa seorang warga pun tahu ke mana perginya. Saat ada warga bertanya, Sumiran hanya bilang, “Orang-orang itu sudah berada di tempat di mana mereka pantas tinggal di dalamnya.”
Tidak ada yang tahu bahwa orang-orang itu, setelah warga arak keliling kampung dalam keadaan telanjang sambil mereka teriaki sesat dan kafir, lalu diserahkan kepada Sumiran, Sumiran menyeretnya ke ruang bawah tanah rahasia di rumahnya. Ia mengikat orang-orang itu dengan rantai. Lalu ia mengambil pedang kesayangannya dan memenggal kepala mereka tanpa ampun. Sesudah melakukan itu, Sumiran merasa telah melakukan jihad akbar, sebuah amalan yang pahalanya tak dapat diterka. Ia pun ketagihan melakukannya dan ia sudah memenggal delapan kepala—angka yang sama dengan jumlah keberangkatannya ke tanah suci. Ia menguburkan mayat-mayat itu seadanya. Sebab ia menganggap mereka sesat dan kafir, jadi ia tak segan-segan memperlakukan mereka seperti binatang. Seperti babi. Itulah yang dikatakannya sebelum menebas kepala orang-orang terlaknat itu. “Kau adalah babi. Bedanya kau punya ukuran leher yang cukup untuk membuatku bisa memenggal kepala kafir laknat seperti kau dengan leluasa.”
Babi-babi itu mendekat kepada tubuh Sumiran yang tak berkutik. Mereka menginjak-injak muka, dada, perut, selangkangan, dan kaki Sumiran. Mereka juga menggerogoti tubuh Sumiran. Sumiran meraung kesakitan dan memohon ampun sebagaimana yang pernah orang-orang yang dulu ia anggap sesat dan kafir lakukan kepadanya. Dahulu Sumiran tak menghiraukan raungan dan permohonan itu. Kini berganti babi-babi tak memedulikan raungan dan permohonan Sumiran. Mereka makin beringas menyeruduk, menginjak, dan menggigit Sumiran.
Sementara warga Sumiran tak melakukan suatu apa. Bahkan, berdoa pun mereka sepertinya lupa, saking terkejut dan takutnya dengan apa yang sedang mereka saksikan. Junjungan mereka dihabisi oleh segerombolan binatang najis!
Babi-babi itu belum usai juga mengeroyok Sumiran. Raungan Sumiran memudar, lalu lenyap. Babi-babi itu menjauh dari tubuh Sumiran. Di antara para lelaki muda dan bapak-bapak bersenjata, diam-diam menyusup para wanita dan anak-anak. Seluruh warga Kampung Suci berkumpul di lapangan. Mereka semua menyaksikan sesuatu yang tak pernah mereka perkirakan. Di sana, di atas tanah berlumpur, seseorang yang begitu mereka puja dan hormati telah menjelma menjadi seekor babi. Seekor babi yang mati dengan tubuh bersimbah darah. (*)
ERWIN SETIA, lahir tahun 1998. Penulis lepas. Aktif menulis cerpen dan esai. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com. Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14 atau melalui surel: erwinsetia2018@gmail.com.