Cerpen Faruqi Umar
“Aku masih tidak percaya,” desahnya.
Di ruang tamu dalam temaram lampu bohlam, Tarun duduk merenung. Mata tuanya berkaca-kaca. Beberapa pertanyaan sedari tadi berkelebat di kepalanya. Sebagai bapak, tentu ia mengenal Sari lebih daripada siapa pun. Ia hafal betul kebiasaan anaknya, dan ia selalu bangga padanya. Tetapi kabar itu telah membuatnya sedih. Ia tak lagi nafsu makan dan menjadi susah tidur. Sementara istrinya, Sutihah, sudah berhari-hari menangis.
“Tidak usah bersedih, kita belum tahu pastinya seperti apa.” Tarun meyakinkan istrinya untuk tenang, sebab semua kabar yang ia dapat dari beberapa tetangga yang pulang dari kota belum tentu benar.
- Iklan -
Di luar, angin kemarau berembus. Krasak suara blarak siwalan saling bertabrakan. Dingin semakin tajam. Krik-jangkrik di sawah tegalan. Lenguh sapi tetangga. Aroma nira semerbak lengket di hidung. Sedangkan Tarun, dengan kecemasan menggunung mulai meraih sebatang kretek, menyulutnya, lalu menghisapnya dalam-dalam seperti menghisap kesedihan. Asap meliuk-liuk di ruangan kecil berlantai plester dan beralas tikar itu.
Ruangan sarat kenangan yang dindingnya dihiasi lukisan para wali, kalender tahunan dan foto keluarga itu, seketika tampak suram di mata Tarun. Di foto keluarga berbingkai kayu jati segi empat itu, Tarun tampak religius dan berwibawa, dengan setelan baju putih lengan panjang, sarung kotak-kotak dan peci putih, ia sambil menggendong Sari kecil. Sementara Sutihah memakai kebaya bermotif bunga-bunga dan manik warna-warni, menggamit lengan Tarun, senyumnya rekah ke arah kamera.
***
Segala yang telah berlalu, kini tiba-tiba tampak terang di matanya. Ia juga ingat, dulu, ketika terjaga malam-malam karena Sari menangis. Anaknya baru umur tiga bulan waktu itu. Ia meraihnya, lalu menggendongnya. Kemudian ia mengganti popoknya yang penuh air kencing. Setelah itu, Sari kecil kembali tidur dalam dekapannya, dalam lantunan selawat yang ia suka.
Tarun senang sekali ketika gigi Sari mulai tumbuh, dan tampak semakin lucu. Dan waktu, seperti selalu terburu-buru. Sari kecil mulai belajar berjalan pada usianya yang kedelapan bulan. Tarun, yang senang melihat pertumbuhannya segera menyiapkan acara selamatan turun tanah.
Kadang, bila Tarun melihat Sari sedang bermain di halaman dengan anak-anak tetangga, terbesit rasa takut di benaknya. Ia khawatir tidak bisa menjadi bapak yang baik, tidak mampu mencukupi kebutuhan gizinya, apalagi tidak mampu memberikan pendidikan yang baik untuk buah hatinya itu.
Sejak itu, bagi Tarun, tak ada waktu untuk bersantai-santai. Ia bekerja sangat keras. Ia semakin semangat menyadap nira di pohon siwalan, pagi dan sore. Sebetulnya, tidak hanya nira yang ia hasilkan dari pohon siwalan itu, tapi juga buah siwalan yang biasa ia jajakan ke seantero kampung. Malamnya, ia masih belum istirahat. Ia menganyam blarak siwalan pilihan yang sudah dikeringkan itu menjadi tikar, dan nanti akan dijualnya ke para tetangga dan petani tembakau.
“Apa yang harus kita lakukan, Pak?” tanya Sutihah membuyarkan lamunan Tarun. Matanya sembab.
Tarun belum memiliki jawabannya. Sedari tadi, pertanyaan yang sama juga mengendap di kepalanya. Ia berpikir apa yang bisa ia lakukan. Bagaimana kalau cerita orang-orang mengenai anaknya itu benar adanya. Sebagai bapak, tentu, ia orang pertama yang harus bertanggung jawab. Bagaimanapun ia bapaknya. Ia pula yang dulu mengizinkan Sari melanjutkan kuliah ke kota. Padahal istrinya sudah melarang. Selain khawatir dengan biaya kuliahnya, Sutihah juga khawatir bila tak bisa memantau aktivitas anaknya dari dekat.
“Kota itu tempatnya orang-orang hebat. Apa kau tak ingin anak kita sukses? Apa kau mau Sari menjadi seperti kita?” simpul Tarun waktu itu.
“Aku hanya tak ingin jauh dari anakku,” jawab Sutihah.
“Aku pun begitu.”
“Lalu?”
“Aku lebih ingin anakku jadi orang hebat dan sukses.”
Tentu, Tarun tak menyangka akan seperti ini. Ia kembali bertanya-tanya, apakah ia telah salah mendidik anaknya selama ini? Apakah salah jika seorang bapak ingin melihat anaknya sukses? Apakah salah jika seorang bapak tidak ingin melihat anaknya mewarisi kerja berat bapaknya sebagai penyadap nira, dan menjajakan jualannya ke kampung-kampung, yang belum tentu laku dibeli? Atau bernasib sama seperti para tetangganya petani tembakau, yang sering dikibuli para pengepul?
“Kita tidak bisa terus diam seperti ini.” Sutihah seperti tidak sabar.
Istrinya tidak ingin anak semata wayangnya terlampau jauh menyimpang. Ia tidak ingin terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Sementara Tarun masih menghisap rokok itu sambil
berpikir keras. Matanya masih berkaca-kaca. Kenangan akan Sari kembali berkelebat di benaknya.
***
Dulu, sejak masuk madrasah sampai lulus sekolah menengah atas, Sari selalu juara kelas. Nilai mata pelajarannya paling bagus dari teman-temannya. Ia juga pandai mengaji. Tidak ada sedikit pun gelagat ia akan menjadi seperti sekarang, seperti yang diceritakan orang-orang yang datang dari merantau.
Sari nyaris tak pernah membuat mereka berdua, sebagai orang tuanya, sedih dan kecewa. Ia selalu jadi kebanggaan keluarga. Selama ini, Tarun merasa senang karena hampir setiap bulan Sari selalu mengirimkan uang untuknya. Sari juga pernah berjanji, kelak kalau tabungannya sudah banyak, ia ingin berangkat ke tanah suci, bertiga.
“Duh, gusti.” Tarun mendesah.
Sepasang bening perlahan tumpah dari matanya. Tarun tak sanggup lagi menahan kesedihan yang semakin lama semakin menusuk ulu hatinya.
“Apa aku telah salah mendidiknya selama ini, Sutihah?” Suara Tarun hampir tercekat di tenggorokan. Sutihah semakin sesenggukan.
Malam sudah larut benar. Tetapi sedikit pun Tarun tak terlihat mengantuk.
“Kau ingat ucapanku, ya. Selama kau tidak jujur, hidupmu tak akan berkah, bisa-bisa kau celaka,” Tarun tiba-tiba terkenang ucapan Dullah, pamannya. Waktu itu Sari masih kecil. Kebutuhan hidup semakin hari semakin membengkak. Tarun sering mencampur sari nira itu dengan air dan pemanis buatan. Sesekali ia juga menjual tuak dari nira yang difermentasi.
“Ini teknik dagang, Man. Bila tak pintar, aku tak akan dapat banyak laba,” jawab Tarun.
“Semoga kau baik-baik saja,” imbuh Dullah sambil menggeleng tak senang, sebelum membanting pintu, dan pulang.
***
“Benar, Run,” kata Sarmidin, tetangganya yang baru pulang dari merantau suatu hari, “anakmu jadi pemandu karaoke,” lanjutnya.
“Kalau hanya pemandu, apa salahnya?” balas Tarun.
“Biasanya,” tambah Sarmidin, nada suaranya dilirihkan seraya kepala mendekat ke telinga Tarun, “pemandu karaoke itu juga bisa diajak ngamar berdua.”
Deg! Jantung Tarun nyaris lepas. Matanya panas. Untung saja Sarmidin merupakan teman karibnya yang disegani, kalau tidak, mungkin Tarun sudah meninju wajahnya.
Dan sejak hari itu hati Tarun dilanda sedih. Sebuah penyesalan timbul tenggelam di benaknya.
***
“Pulanglah, Nak!” Suara Tarun lirih ketika meminta Sari untuk pulang. Kebetulan sekali, beberapa hari setelah ia mendapat cerita tentang pekerjaan anaknya di kota, Sari tiba-tiba menghubunginya.
“Ada apa, Pak? Kalian baik-baik saja, kan?” Sari sedikit cemas.
“Kami baik-baik saja, Nak. Kami hanya rindu.”
“Sari belum bisa pulang, masih banyak kerjaan di kota.”
“Jadi, kapan kamu bisa pulang, Nak?” Sutihah mengambil alih.
“Paling bulan depan, Bu.”
Beberapa menit kemudian Sari memutus sambungan telepon, ia pamit hendak menyelesaikan beberapa pekerjaan.
Langit siang itu cerah sekali, tapi air mata Tarun deras mengucur. Ia begitu sedih mendengar suara Sari, anak yang begitu ia banggakan.
Tarun mulai berpikir. Seharusnya, ia biarkan saja anaknya tumbuh di tanah kelahirannya ini, menjadi penyadap nira atau bertani seperti para tetangga lainnya, dan Tarun tidak perlu khawatir kelak Sari harus menjadi apa. (*)
Sidoarjo, 23 Maret 2022
*FARUQI UMAR, kelahiran Sumenep, 09 April 1993. Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Raudlah-Najiyah, Bragung, Guluk-Guluk, Sumenep. Cerpen-cerpennya tersebar di pelbagai media, seperti Harian Republika, Suara Merdeka, Solopos, Radar Banyuwangi, Radar Bromo dll.